Headline

Serangan Israel ke Iran menghantam banyak sasaran, termasuk fasilitas nuklir dan militer.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

Replika Senjata di Karnaval Hanya Jerumuskan Anak ke Dalam Spektrum Kekerasan

Henri Siagian
19/8/2018 15:09
Replika Senjata di Karnaval Hanya Jerumuskan Anak ke Dalam Spektrum Kekerasan
(ANTARA FOTO INASGOC/Andika Wahyu)

PENGGUNAAN replika senjata sebagai alat peraga edukasi dalam aktivitas anak-anak akan semakin menjerumuskan anak-anak ke dalam spektrum kekerasan.

"Meski di lingkungan yang getol mengampanyekan bahaya paham kekerasan ekstrem atau violent extremism dan terorisme, menunjukkan kita sangat permisif terhadap upaya pengenalan kekerasan pada anak-anak," ujar Direktur Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi dalam keterangan tertulis, Minggu (19/8).

Dia mengomentari tayangan video pawai pawai anak-anak TK di Kota Probolinggo, Jawa Timur, yang berpakaian serba hitam dan membawa senjata replika warna hitam. Setelah ditelusuri, ternyata mereka adalah siswi-siswi TK Kartika 569 di bawah binaan Kodim 0820 Probolinggo.

Sehingga, Fahmi mengingatkan agar aparat daerah termasuk polisi tidak menganggap remeh. "Ingat, siapapun yang berada dalam spektrum kekerasan akan selalu berpotensi terpapar. Jika tidak menjadi pelaku, ia berpeluang menjadi korban. Bahkan anak-anak kita," tegas dia.

Fahmi menambahkan, pelibatan anak-anak sebagai pelaku langsung tindak kekerasan ekstrem di Indonesia merupakan hal baru. "Anak-anak lebih mudah dimanipulasi. Apalagi jika orangtua terutama ibunya juga terlibat."

Menurut Fahmi, kemungkinan besar potensi anak setelah dewasa mengikuti jejak orangtua. Meskipun, lanjutnya, bergantung pada perkembangan pola pikir dan pengalaman mereka hingga usia dewasa. Sekolah, guru dan lingkungan pergaulan masih sangat berpeluang mengubah mereka.

Kini, imbuh dia, tercatat tujuh orang anak pelaku terorisme berada di safe house untuk dilindungi dan diikutsertakan ke dalam program deradikalisasi.

Menurutnya, yang harus hilang dari benak anak-anak ini adalah paham kekerasan ekstrem dan kedangkalan pikiran atau banalitas kekerasan. Bukan kemampuan untuk menalar atau berpikir mendalam.

"Jika mereka sudah melalui program itu, apa yang harus diperhatikan agar mereka tak kembali berpaham radikal dan semacamnya? Yang utama adalah pergaulan di sekolah dan relasi sosial di lingkungan mereka. Karena di sana yang paling mudah tampak. Kita lihat contoh di Surabaya. Salah seorang anak pelaku teror ternyata selama ini di sekolahnya menolak ikut upacara bendera. Namun para guru agaknya tak menganggap itu sebagai suatu hal yang perlu dicermati."

Berarti, jelas dia, masyarakat turut berperan besar agar anak-anak itu tidak kembali memiliki paham tersebut. "Jika mereka dikucilkan atau mendapat perlakuan diskriminatif, bukan tidak mungkin kebencian, kedangkalan dan paham kekerasan ekstrem malah lebih kuat daripada orangtua mereka atau siapapun yang menularkan."

Pemerintah, menurut dia, harus memulai dengan menjadi contoh memperlakukan segenap lapisan masyarakat tanpa diskriminasi. Tanpa memupuk kebencian, meminimalisasi kesenjangan (disparitas) dalam praktik layanan dasar seperti kesehatan, pendidikan maupun aktivitas perekonomian.

"Sedihnya, aparatur daerah dan kepolisian nyaris tak punya pemahaman sosiokultural yang cukup untuk memfasilitasi disepakatinya ambang batas ketidaktertiban sosial di satu wilayah." (A-1)
 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Henri Siagian
Berita Lainnya