Headline
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
Sebagian besar pemandu di Gunung Rinjadi belum besertifikat.
UJI materi terkait syarat ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) yang diatur dalam Pasal 222 UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu ke Mahkamah Konstitusi dinilai tidak bakal melanggar azas nebis in idem atau perkara yang sama tidak bisa diadili dua kali.
Demikian dikatakan Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, ketika dihubungi Media Indonesia, Rabu (20/6). Titi merupakan satu dari 12 pemohon yang berencana mengajukan uji materi pasal tersebut.
Permohonan judicial review yang pernah dimohonkan belasan aktivis pemilu dan akademisi pada Juni lalu, itu telah ditolak MK. "Namun, permohonan kami terdahulu itu secara substansi maupun argumen hukum sama sekali belum dibahas oleh MK," katanya.
Dengan demikian, lanjut dia, pengajuan permohonan serupa dipandang masih relevan. Apalagi MK dalam putusannya dinilai hanya mengatakan permohonan tidak dapat diterima dan tanpa mempertimbangkan argumentasi hukum.
Menurut dia, putusan MK itu diduga terkait permohonan dengan materi serupa yang lebih dulu diajukan Partai Idaman dan akhirnya ditolak. "Bisa dikatakan didalam putusan MK atas Partai Idaman yang membuat kemudian permohonan kami tidak dapat diterima sama sekali dan tidak mempertimbangkan argumentasi atau pertimbangan hukum yang kami ajukan."
Selain itu, sambung dia, para aktivis pemilu dan akademisi yang diwakili oleh kuasa hukum Integrity (Indrayana Center for Government, Constitution, and Society) juga akan membawa batu uji atau syarat-syarat konstitusional lain yang berbeda dari permohonan sebelumnya.
"Misalnya, degradasi azas kedaulatan rakyat melalui penerapan ambang batas pencalonan presiden. Bagaimana kemudian hak rakyat untuk berdaulat di dalam memilih presiden itu dilimitasi dari hulu ketika proses pencalonan dengan pemberlakuan ambang batas pencalonan yang merujuk hasil pemilu sebelumnya," kata dia.
Para pemohon, terang dia, memandang bahwa apabila ambang batas pencapresan merujuk Pasal 6A ayat (2) UUD 1945 maka hal itu tidak bisa disebut sebagai open legal policy melainkan closed legal policy. Artinya, politik hukum yang tidak bisa diterjemahkan lain daripada yang dikehendaki Pasal 6A ayat (2) tersebut, terutama ketika pemilu diselenggarakan secara serentak.
"Ketika pemilu serentak maka kita harus diberikan jaminan yang setara pada semua parpol bahwa mereka bisa mengajukan calon baik sendiri-sendiri maupun dengan gabungan. Norma itu adalah closed legal policy yang mengatur syarat pencalonan presiden. Dia tidak bisa diterjemahkan berbeda dengan menambahkan ambang batas pencapresan," pungkasnya. (Gol)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved