Headline
Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.
Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.
PEMERINTAH menutup Bank Dagang Nasional Indonesia (BDNI) pada Agustus 1998 guna mengembalikan kepercayaan publik. Sebab, pada saat itu, Indonesia tengah dilanda krisis ekonomi sehingga terjadi hiperinflasi.
"Pemerintah perlu melakukan langkah-langkah guna memulihkan kepercayaan masyarakat dan internasional," kata mantan Menteri Keuangan Bambang Subianto dalam sidang kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) dengan terdakwa mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Indonesia (BPPN) Syafruddin Arsyad Tumenggung di Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta, Rabu (6/6).
BDNI menjadi satu dari sederet bank yang ditutup karena beberapa alasan, menurut Bambang. Pertama karena sebanyak 80% dana publik digunakan untuk membiayai grup, kedua karena kondisi modal yang menyentuh titik negatif atau minus, dan terakhir karena lingkungan yang tidak lagi mendukung.
"Dengan ditutupnya bank yang jelek, masyarakat jadi percaya bahwa bank yang tidak ditutup ya masih bagus kondisi keuangannya," ujarnya.
Setelah melakukan penutupan, prosedur selanjutnya, menurut Bambang, adalah pemerintah melakukan penghitungan aset dan kewajiban utang yang dimiliki BDNI. Nilai dari selisih keduanya menjadi nilai yang harus ditanggung pemerintah dan menjadi nilai utang bagi BDNI.
Sementara itu, pada 2004, nilai utang BDNI diketahui sebesar Rp4,8 triliun. Tetapi, utang tersebut baru dibayarkan sebanyak Rp1,1 triliun.
Arsyad selaku kepala BPPN justru mengeluarkan surat keterangan lunas (SKL) atas utang BDNI yang masih tersisa sebesar Rp3,7 triliun. Akibatnya, negara dirugikan sebesar Rp4,8 triliun. (OL-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved