Headline
Tidak ada solusi militer yang bisa atasi konflik Israel-Iran.
Para pelaku usaha logistik baik domestik maupun internasional khawatir peningkatan konflik Timur Tengah.
UPAYA penuntasan kasus pelanggaran HAM berat masa lalu dengan pembentukan dewan kerukunan nasional (DKN) demi rekonsiliasi dinilai sebagai opsi yang paling realistis. Langkah pemerintah melalui Kejaksaan Agung itu diyakini efektif.
"Itu opsi paling realistis dalam pembentukan. Tetapi supaya lebih bisa diterima masyarakat, pihak yang bertanggung jawab bisa menjelaskan kendala yang dihadapi selama ini," kata anggota Komisi III DPR dari Fraksi PPP Arsul Sani.
Pemerintah mengedepankan rekonsiliasi untuk menyelesaikan kasus-kasus HAM masa silam agar tak terus-terusan menguras energi bangsa. Menurut jaksa Agung HM Prasetyo, amat sulit menuntaskan masalah tersebut lewat hukum karena kendala saksi dan bukti.
Arsul meminta Jaksa Agung menjelaskan kesulitan-kesulitan itu kepada publik. "Mereka mengatakan jika penuntasan pelanggaran HAM berat itu tidak maju-maju. Nah itu dijelaskan dari sisi teknis yudisial kesulitannya di mana," terangnya.
"Misalnya kita mulai dari 1965, apa yang mau diproses hukum, orangnya sudah mati semua. Kemudian kasus Tanjung Priok, orangnya juga sudah sepuh semua. Jadi, jajaran Kejaksaan Agung harus bisa menjelaskan secara argumentatif bahwa proses yudisial itu bukan pilihan yang terbaik karena mengalami sejumlah kendala," imbuh Arsul.
Senada, Sekjen Partai NasDem Johnny G Plate setuju dengan pembentukan DKN sebagai instrumen untuk menyelesaikan kasus HAM melalui rekonsiliasi. Semestinya, upaya pemerintah untuk menuntaskan kasus pelanggaran HAM sudah dilakukan sejak lama.
Meski mengedepankan rekonsiliasi, ujar Johnny, pemerintah harus mengungkap aktor di balik berbagai kasus pelanggaran HAM. "Kami setuju (pembentukan DKN), tetapi harus dipastikan yang akan ditangani kasus pelanggaran HAM ini yang mana. Kan ada banyak kasus," ungkapnya.
Dia mengatakan penuntasan kasus HAM saat reformasi 1998 juga menjadi persoalan serius yang harus menjadi perhatian pemerintah. Pemulihan nama baik korban serta pengungkapan dugaan keterlibatan kelompok militer saat itu harus diungkap secara terang benderang.
"Beberapa saksi dan tokoh yang mengetahui siapa saja yang terlibat saat itu sudah bicara. Mereka masih hidup dan harus dimintai keterangan," tukas Johnny.
Sikap Kontras
Bidang Advokasi Kontras Putri Kanisia mempersoalkan pernyataan Jaksa Agung bahwa penyelesaian kasus HAM lewat hukum sulit karena terkendala bukti dan saksi. Dia, misalnya, menyebut kasus penghilangan aktivis pada 1997-1998 yang jelas sudah ada rekomendasi dari Komisi III DPR.
Ada empat rekomendasi pada 2009 itu, yakni pemerintah harus membentuk pengadilan HAM ad hoc soal penghilangan aktivis, pencarian 13 aktivis yang masih hilang, dan pemberian kompensasi terhadap keluarga korban. Lalu, pemerintah mesti meratifikasi konferensi internasional antipenghilangan paksa.
"Sebenarnya dari rekomendasi itu sudah diberikan alat bukti selain juga hasil penelitian projustitia Komnas HAM yang menyatakan ada dugaan pelanggaran HAM berat. Bahkan, Komnas HAM menyebut ada beberapa orang terduga terlibat dalam penghilangan paksa," tegas Putri. (Sru/Opn/X-8)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved