Headline
DPR klaim proses penjaringan calon tunggal hakim MK usulan dewan dilakukan transparan.
DPR klaim proses penjaringan calon tunggal hakim MK usulan dewan dilakukan transparan.
DEFINISI yang rigid terhadap terorisme akan mempersulit penegak hukum dalam mengusut kasus terorisme.
"Mengingat kejahatan luar biasa ini kompleks dan terus berkembang. Selain itu, pembuktian motif juga tidak mudah dalam hukum formil," kata pengajar tamu terkait terorisme di Cranfield University, Inggris, Anton Aliabbas saat dihubungi Media Indonesia, Kamis (24/5).
Dia menambahkan, maraknya ‘lone wolf’ berkontribusi peliknya pembuktian motif politik. Sebab, bisa saja karena faktor ketidaksukaan atau kebencian terhadap sebuah identitas kemudian diwujudkan dengan aksi kekerasan.
Sebagai contoh, pembuktian kasus pengeboman di Amerika Serikat (AS) pada 1978-1995 yang dilakukan Theodore John Kaczynski atau Unabomber yang membutuhkan waktu yang cukup lama.
Anton mengaku tidak heran dengan alotnya pendefinisian terorisme dalam revisi Undang-Undang Antiterorisme. Sebab, jelas dia, definisi terorisme dalam konteks akademik memang tidak tunggal. "Ada banyak ahli yang menawarkan definisi mengenai terorisme."
Adapun dari sisi praktis, lanjut dia, tidak ada kesepakatan dari negara-negara di dunia mengenai definisi tunggal terorisme. "PBB sendiri hingga kini belum menawarkan definisi baku perihal terorisme," papar kandidat doktor bidang pertahanan dan keamanan dari Cranfield University.
Dia menjelaskan, terorisme adalah sebuah fenomena yang kompleks dan terus berkembang seiring waktu sehingga sulit untuk membuat definisi baku.
Selain itu, terorisme berkelindan erat dengan politik. "Mengingat terorisme overlap dengan jenis konflik yang bernuansa politik lain seperti perang, insurgensi, dan kerusuhan sehingga tidak mudah untuk membuat aturan rigid mengenai terorisme. Contoh nyata adalah ketika pemerintah pada 2003 berupaya memasukkan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) sebagai organisasi teroris, namun gagal," papar dia.
Anton menambahkan, definisi kaku mengenai terorisme akan berpotensi memunculkan kriminalisasi dan legitimasi bagi penguasa menekan lawan politik. Tindakan kekerasan yang digunakan dalam terorisme, sambung dia, tidak mempunyai karakteristik pembeda dengan aksi kriminal lain.
Selain itu, lanjut Anton, terorisme memiliki karakter semi klandestin dan kerahasiaan tinggi. "Bagaimana kita bisa membuat definisi baku yang efektif mengenai sebuah fenomena yang gelap?" tukas dia.
Akan tetapi, sambung dia, definisi yang tidak rigid terhadap terorisme perlu dibarengi dengan pengawasan terhadap penegak hukum untuk mencegah kriminalisasi.
"Sejauh ini, ada poin yang harus diapresiasi ke DPR. Misalnya ada pengaturan penyadapan, perlindungan terhadap korban terorisme, penghapusan pasal Guantanamo, serta perpanjangan Penahanan yang diatur harus dengan izin dari Kejaksaan Agung," papar dia. (A-5)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved