Headline
AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.
Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.
KARENA dinilai tidak memiliki kedudukan hukum mengajukan uji materi Pasal 227 dan Pasal 229 UU Pemilu, permohonan Martinus Butarbutar dan Risof Mario ditolak Mahkamah Konstitusi (MK).
Demikian amar putusan MK yang dibacakan Ketua Majelis Hakim Konstitusi Anwar Usman di Gedung MK Jakarta, kemarin.
"Berdasarkan penilaian fakta dan hukum seperti diuraikan, kesimpulan Mahkamah menyatakan pemohon tidak mempunyai kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo," kata Anwar.
Anwar mengemukakan dalam dalil permohonannya para, baik Martinus maupun Risof, menganggap bahwa Pasal 227 dan Pasal 229 UU Pemilu merugikan hak konstitusional pemohon karena tidak menyertakan DPD dalam penentuan capres dan cawapres.
Selanjutnya, pemohon berpendapat jika UU Pemilu hanya memberikan syarat seba-gaimana tertuang dalam Pasal 169, Pasal 227, dan Pasal 229 UU Pemilu, siapa pun bisa menjadi presiden bukan berdasarkan kedaulatan rakyat, melainkan berdasarkan kedaulatan partai politik. Dalam sidang perba-ikan permohonan, Martinus dan Risof juga mengajukan adanya putusan sela atau provisi sebelum MK menjatuhkan putusan akhir uji materi UU Pemilu.
Akan tetapi, Mahkamah berpendirian para pemohon bukan merupakan pihak yang dirugikan atas berlakunya ketentuan tersebut (a quo). Pasalnya, pemohon dalam perkara a quo bukan merupakan anggota DPD, melainkan perseorangan warga negara yang bukan subjek hukum atau pemegang hak konstitusional sebagaimana diatur dalam Pasal 22D UUD 1945.
Selain itu, Mahkamah juga berpendapat bahwa para pe-mohon tidak dapat membuktikan dan menjelaskan kerugian yang dialami akibat berlakunya ketentuan itu.
"Melihat substansi norma dalam kedua pasal a quo menjadi terang bahwa para pemohon tidak mampu membuktikan hak atau kewenangan konstitusional mereka yang terlanggar atau dirugikan aki-bat berlakunya norma Pasal 227 dan Pasal 229 UU Pemilu," lanjut Anwar.
Saat menanggapi amar putusan, Martinus menyatakan penilaian MK hanya melihat kedudukan rakyat dalam pengertian formal. Padahal, setiap warga diberi hak konstitusi untuk mempersoalkan UU Pemilu dan tidak perlu menjadi anggota DPD.
"Saya hormati keputusan ini. Namun, ini saya melihat pengertian rakyat menurut MK itu ialah rakyat formal. Jadi, kami yang bukan apa-apa ini bukan rakyat. Apakah harus jadi anggota DPD baru bisa meminta DPD dilibatkan dalam penentuan capres/cawapres?" ujar Martinus.
Dalam perkara dengan nomor 33/PUU-XVI/2018 tersebut pemohon mengemukakan DPD ialah utusan daerah yang diakui konstitusi dan mewakili rakyat di daerah itu. Pemohon berpendapat, jika UU Pemilu hanya memberikan syarat sebagaimana tertuang dalam Pasal 169, Pasal 227, dan Pasal 229 UU Pemilu, siapa saja bisa menjadi presiden tidak berda-sarkan kedaulatan rakyat, te-tapi berdasarkan kedaulatan partai politik. (Ant/X-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved