Headline
AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.
Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.
MAYORITAS fraksi di DPR mendorong masuknya frasa 'motif ideologi, atau politik atau gangguan keamanan' ke definisi terorisme ketika mereka membahas Revisi UU Nomor 15/2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme bersama pemerintah di Gedung DPR, Jakarta, kemarin.
Sebailknya pemerintah berkukuh frasa tersebut tidak masuk ke definisi, tetapi cukup di dalam penjelasan.
Anggota Fraksi PAN, Muslim Ayub, mempertanyakan niat pemerintah yang berkeras tidak memasukkan frasa 'motif ideologi, atau politik atau gangguan keamanan' ke definisi terorisme. "Saya khawatir menjadi pasal karet karena tidak jelas. Frasa tersebut wajib masuk. Teroris jelas mengancam ideologi dan kedaulatan negara, kenapa pemerintah keberatan?" kata Muslim.
Kepala Badan Pembinaan Hukum Nasional Kemenkum dan HAM, Enny Nurbaningsih, menjelaskan dalam rumus-an sebelumnya pemerintah satu suara soal definisi terorisme. Namun, parlemen menawarkan alternatif kedua untuk mengakomodasi perkembangan di dalam rapat (lihat grafik).
"Bagi pemerintah, teroris itu siapa pun yang menimbulkan suasana teror dan rasa takut yang bersifat meluas sudah disebut sebagai teroris. Terkait alternatif (definisi kedua), kami minta dibawa ke rapat kerja agar tidak menghambat proses sinkronisasi," ujar Enny di Gedung DPR, Jakarta.
Dibahas lagi
Hari ini, Tim Perumus RUU Antiterorisme akan membahas dua alternatif definisi tersebut bersama Menteri Hukum dan HAM Yasonna H Laoly.
Hingga berita ini diturun-kan, dari 10 fraksi di parlemen, delapan fraksi menyatakan setuju dengan alternatif definisi kedua, yaitu Partai Golkar, Partai Gerindra, Partai Demokrat, PPP, PKS, Partai NasDem, Partai Hanura, dan PAN. Dua fraksi lain, yaitu PDIP dan PKB, sepakat dengan definisi pertama.
Anggota Fraksi PDIP, Risa Mariska, menetapkan pihaknya memandang definisi pertama merupakan rangkuman core crime dari Pasal 6 dan Pasal 7 UU Terorisme. "Sehingga kami sepakat (definisi) alternatif pertama."
Anggota dewan dari Fraksi Partai Demokrat, Darizal Basir, menilai definisi menjadi penting karena menentukan cara negara bertindak, membuat jelas dan tegas agar tidak mudah menuduh subversif. "Pemerintah belum dapat membedakan mana tindakan teroris dan kriminal biasa. Jangan sampai dengan revisi UU ini penegak hukum mudah mengkriminalisasikan seseorang sebagai teroris. Belum tentu suatu aksi kejahatan itu perbuatan terorisme. Kami ingin definisi ini dilengkapi agar seseorang tidak mudah dicap teroris," ungkap Darizal.
Ketua Pansus RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dari Fraksi Partai Gerindra, Muhammad Syafi'i, mengakui definisi kedua telah menyatakan siapa yang disebut sebagai teroris dan siapa yang bukan. "Di negara mana terorisme yang tidak membawa misi politik dan ideologi? Tidak ada. Jika hukum belum memberikan batasan siapa itu teroris, dengan dasar apa seseorang itu ditetapkan sebagai teroris?" tegas Syafi'i. (Nov/Ant/X-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved