Headline
AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.
Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.
MENTERI Komunikasi dan Informatika Rudiantara sedang menyiapkan undang-undang untuk menjerat platform media sosial yang terbukti melakukan pembiaran terhadap konten-konten hoaks hingga terorisme dan radikalisme.
"Kami sudah mengirim tim ke Jerman dan Malaysia. Di Jerman itu dikeluarkan undang-undang bagaimana meng-adress masalah hoaks," kata Rudiantara seusai memimpin upacara Hari Kebangkitan Nasional (Harkitnas) di Alun-Alun Utara Yogyakarta, kemarin.
Menurutnya, dengan regulasi tersebut, platform media sosial seperti Facebook, Instagram, Twitter, dan Youtube bisa dikenai sanksi berupa denda atau penalti jika dianggap melakukan pembiaran terhadap penyebaran konten-konten hoaks. "Kami sedang menyiapkan regulasi tersebut di Indonesia untuk meng-adress (platform), bukan orangnya," kata dia.
Ia mengatakan untuk me-nindak pemilik akun atau orang yang mengunggah, Indonesia selama ini telah memiliki UU Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE).
"Platform juga harus bertanggung jawab. Meski kita kejar orangnya, kalau platform tetap melakukan pembiaran, juga tidak selesai," kata dia.
Agar bisa segera efektif diberlakukan, Rudiantara berharap proses pembuatan regulasi itu bisa segera selesai. "Semakin cepat, semakin bagus.''
Rudiantara juga mengaku telah memblokir akun-akun yang tersebar di sejumlah platform media sosial yang memuat konten radikalisme dan terorisme. Hingga Minggu (20/5) malam, sudah ada 2.528 akun yang diblokir dan 19.500 akun yang masih diverifikasi.
"Saya yakin hari ini sudah bertambah lagi, mungkin sudah lebih dari 3.000-an yang diblokir dan akan kami sisir terus," kata Rudiantara.
Prihatin
Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Majelis Ulama Indonesia (MUI) Didin Hafidhuddin prihatin dengan daya baca masyarakat yang rendah sehingga mudah terpancing isu-isu palsu atau hoaks yang banyak bertebaran di media sosial. "Masyarakat kita ini memiliki minat baca, tapi tidak memiliki daya baca," kata Didin saat ditemui seusai menghadiri Rapat Pleno Wantim MUI bertema Solusi utang negara di Kantor MUI Pusat, Jakarta, kemarin.
Dia mengatakan masyarakat memang memiliki minat baca, tetapi hanya pada materi instan seperti konten di media perpesanan Whatsapp.
Menurut Didin, minat baca masyarakat di media sosial itu bisa berjam-jam, tapi tidak memiliki daya membaca buku atau sesuatu yang lebih berat dan bermakna. "Baru satu halaman buku saja sudah capek. Tapi kalau konten media sosial bisa lama, bahkan jam dua malam bangun juga cek Whatsapp saja."
Didin khawatir masyarakat yang daya bacanya rendah sangat mudah terpancing isu-isu hoaks di media sosial.
Dalam banyak kasus, dia menengarai terdapat sejumlah konten medsos cenderung instan, dangkal, dan bahkan kebenarannya sulit dibuktikan serta dipertanggungjawabkan.
Dia khawatir pikiran dari generasi mendatang memiliki otak instan karena terbiasa membaca berita yang sudah jadi, sepenggal-sepenggal, dan sumber beritanya yang tidak bisa dipertanggungjawabkan.
Apalagi, kata dia, terkadang ada konten di medsos merupaka berita tahun yang sudah lewat dan dikemas seolah baru dengan gambar baru, padahal sejatinya sudah usang.
Wakil Ketua MPR Ahmad Basarah mengemukakan dampak buruk informasi yang bertebaran di medsos bisa lebih buruk ketimbang yang disajikan di layar kaca (televisi) sebab semua informasi bisa masuk dengan bebas tanpa ada filternya.
"Yang tidak kalah penting ialah dampak yang ditimbulkan lewat medsos. Apalagi belakangan ini makin mudah diakses lewat gawai. Medsos ini juga punya pengaruh luar biasa pada masa depan anak jika tidak diawasi dengan benar oleh orangtua," kata Basarah. (Ant/P-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved