Headline
AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.
Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.
PELIBATAN TNI dalam operasi militer selain perang (OMSP) dalam Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 harus dipaparkan secara komprehensif. Tujuannya agar tidak meninggalkan ruang abu-abu terkait dengan keterlibatan TNI dalam OMSP.
Berdasarkan Pasal 7 ayat (2) UU TNI, OMSP termasuk dalam salah satu tugas pokok TNI, yakni mengatasi aksi terorisme dan menjaga objek vital strategis.
Ketua Pusat Studi Politik dan Keamanan Universitas Padjadjaran Bandung Muradi mengusulkan pemerintah bersama DPR membuat rancangan regulasi baru untuk mengatur OMSP.
"Dulu sempat ada wacana membuat RUU Perbantuan TNI, tapi kemudian mampet. Dinamika saat ini membuat RUU Perbantuan TNI menjadi keniscayaan," ujar Muradi ketika dihubungi, kemarin.
Menurutnya, UU tersebut harus memastikan keterlibatan militer di luar kegiatan pertahanan negara tidak melanggar konstitusi, yang sudah dengan jelas memisahkan tugas TNI dan Polri. "Bisa saja dijelaskan lewat perpres. Namun, lebih baik lewat UU agar lebih komprehensif," jelasnya.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Institute for Defense, Security, and Peace Studies Mufti Makarim mengatakan revisi UU Antiterorisme harus didukung dengan pembuatan UU Perbantuan. Itu bertujuan memberi batasan kewenangan dan tanggung jawab dalam penanganan terorisme yang semakin meluas.
Menurut dia, pelibatan TNI dalam pemberantasan terorisme memang telah diatur dalam UU TNI, tetapi perlu didukung dengan UU Perbantuan. "Payung hukum yang jelas diperlukan untuk memberikan kepastian hukum atas kerja sama militer dengan lembaga lain. Pelibatan TNI tidak boleh mengesampingkan semangat criminal justice system," ujarnya.
Samakan persepsi
Ketua DPR Bambang Soesatyo meminta pemerintah secepatnya menyamakan persepsi tentang RUU Tindak Pidana Terorisme serta membahas bersama dengan Pansus DPR.
"Mendorong pemerintah berkomitmen untuk menyelesaikan pembahasan RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme dalam masa sidang V 2018 mengingat RUU tersebut merupakan dasar bagi aparat dalam mengambil sikap memberantas terorisme serta mengantisipasi pergerakan terorisme dan radikalisme," ujarnya di Jakarta, kemarin.
Untuk diketahui, pembahasan RUU Tindak Pidana Terorisme terkendala akibat perbedaan pendapat di pihak pemerintah sehingga beberapa kali dilakukan penundaan pembahasan.
"Saya mendorong penyelesaian dan pembahasan RUU Tindak Pidana Terorisme secara terbuka serta dapat diikuti seluruh masyarakat," tandasnya.
Direktur Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kemenkum dan HAM Widodo Ekatjahjana mengungkapkan pemerintah telah memiliki kesepahaman. "Paling satu kali sidang selesai. Kita juga sudah clear tentang definisi setelah kita dapat masukan," tegas dia. (Nov/Gol/*/P-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved