Headline
Pemerintah belum memastikan reshuffle Noel.
PERKEMBANGAN terorisme selama 15 tahun terakhir menurut Direktur Pusat Studi Agama dan Demokrasi (PSAD) Paramadina, Ihsan Ali Fauzi dinilainya menurun dan amatir. Hal ini bisa dilihat dari beberapa serangan bom yang terjadi bom tidak berkerja sesuai dengan yang direncanakan.
"Sejak 2010 hingga bom Sarinah puluhan upaya bom tidak ada satu pun bom yang bekerja sesuai yang diinginkan bahkan akhirnya menjadi bunuh diri," ujarnya, Kamis (17/5).
Namun saat ini upaya menyebar paham radikal dengan memanfaatkan media sosial. Tidak hanya itu sikap intoleransi dan tidak saling menghargai semakin menambah luas masuknya paham radikal hingga mempengaruhi sikap seseorang yang berujung melakukan aksi teror.
"Narasi di media sosial juga tidak kalah berbahanya karena itu bisa membentuk tindakan kekerasan. Dan masalah terbesar adalah intoleransi. Jadi sikap intoleransi harus diperhatikan karena terkait dengan terorisme, bukan radikal dulu teroris kemudian," tegasnya.
Dia mengungkapkan pemerintah masih memiliki celah dalam aturan khususnya aspek pencegahan. Di sisi lain masalah usang terkait buruknya sistem pemenjaraan serta sistem pengawasan mantan narapidana terorisme, masih jauh dari harapan.
Sedangkan aksi pengrekrutan terorisme semakin menghawatirkan salah satunya mempersulit deteksi dan radikalslisasi berbasis cinta, kepercayaan serta berani berkorban yang ditujukan kepada anggota keluarga.
"Kita masih menghadapi masalah penjara yang overpopulasi. Lalu program untuk para deportees, peran kemensos masih terbatas. Inilah yang harusnya unsur penting memutus mata rantai terorisme," ungkapnya.
Sementara itu mantan napi teroris Ali Fauzi menuturkan perekrutan keluarga terorisme sudah lama terjadi. Keterlibatan dirinya dalam jaringan terorisme membawanya pada dendam dan kebencian tiada akhir.
"Bagaimana saya membuktikan kepada saudara kalau saya loyal, mau berkorban sehingga ada pengakuan," ujarnya.
Ali menambahkan paham radikal aeperti yang dilakukan pelaku bom gereja Surabaya tidak dilakukan sekejab mata, tapi melalui proses panjang dan memakan waktu lama.
"Radikalisasi sejak dini. Mereka tahu tentu ada perpisahan itu bagian dari ideologi. Luruskan niat dan selanjutnya seperti itu saat orang beragama overdosis," tandasnya.
Dia menambahkan program deradikalisasi tidak bisa hanya ditujukan dengan menanamkan rasa nasionalisme atau mengekspos sikap ekstrimis ke dalam interpretasi lain dari kalimat yang ada dalam kitab suci.
"Mereka haeus membahas bagaimana keluarga secara keseluruhan, tapi sering diindoktrinasi menjadi percaya bahwa siapa pun di luar IS adalah musuh," tutupnya. (A-5)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved