Headline
AS ikut campur, Iran menyatakan siap tutup Selat Hormuz.
Tren kebakaran di Jakarta menunjukkan dinamika yang cukup signifikan.
REVISI Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2003 tentang Tindak Pidana Terorisme dibutuhkan untuk memperbaiki sisi lemah payung hukum pemberantasan terorisme. Akan tetapi, UU hasil revisi itu seharusnya benar-benar menciptakan rasa aman dan nyaman dalam kerangka berdemokrasi yang sehat.
"Negara memang membutuhkan alat aksi yang efektif demi kepentingan keamanan nasional. Saya berharap para wakil rakyat yang membahas rancangan UU selalu mengedepankan nilai-nilai demokrasi, hak asasi manusia, kebebasan warga sipil, dan rule of law," ungkap Direktur Institute For Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi saat dihubungi Media Indonesia di Jakarta, Senin (14/5).
Dia mencontohkan perbaikan yang perlu dilakukan antara lain mengenai kewenangan penindak-an dini dengan penangkapan. Dan, penggunaan pendekatan kese-jahteraan sosial sebagai upaya rehabilitasi dan moderasi atau yang dikenal dengan deradikalisasi.
Menurut Fahmi, perdebatan klausul itu menyangkut hukum acara pidana. "Seperti, berapa lama penahanan tanpa alat bukti permulaan yang cukup dan kapan penyadapan bisa dilakukan? Terkait kesejahteraan, siapa yang bertanggung jawab? UU lain mengatur urusan rehabilitasi dan kesejahteraan merupakan tanggung jawab Kementerian Sosial, termasuk terhadap mantan narapidana."
Belum lagi, tambah Fahmi, siapa lembaga yang berwenang menahan? "Polri, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT), Badan Intelijen Negara (BIN), TNI, atau ada porsi kewenangan masing-masing? Juga langkah lain seperti penyadapan dan misi rahasia," kata dia.
Payung hukum, jelas dia, harus mengantisipasi kemungkinan terburuk dan tidak memberi celah malapraktik. "Bagaimana jika rezim berganti kemudian UU itu digunakan untuk soal politik kekuasaan? Dengan kewenangan luar biasa, semua rezim berpotensi abuse dan menggunakan instrumen ini untuk menghabisi lawan politik atau meredam aksi yang dinilai merongrong kekuasaan. Seperti pada praktik antisubversif di masa lalu."
Perppu
Di lain sisi, pengamat intelijen dan militer, Connie Rahakundini Bakrie menyatakan sikap Presiden Joko Widodo sudah sangat baik berniat menerbitkan perppu, karena UU tentang pemberantasan teroris tidak kunjung tuntas.
Namun, dalam kondisi genting saat ini, kepala negara tidak boleh membuka ruang pro-kontra dan bersikap lama. Oleh karena itu, penerbitan inpres jalan yang tepat sebagai sikap tegas.
"Negara saat ini sedang dalam kondisi gawat. Saya mendukung keputusan Presiden Joko Widodo untuk menerbitkan perppu, namun itu membutuhkan waktu lama jadi sebaiknya dengan inpres. Pasalnya, perppu juga membuka ruang pro-kontra," terang Connie di Jakarta. kemarin. Menurut dia, pengendalian kondisi harus cepat dengan melibatkan TNI dan Polri menyisir semua pihak yang mungkin melancarkan teror sampai menumpas semua otak maupun dalangnya. (Cah/X-6)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved