Headline
Sebaiknya negara mengurus harga barang dulu.
KEPALA Badan Intelijen Negara (BIN) Budi Gunawan mengungkapkan sekitar 39% mahasiswa dari sejumlah perguruan tinggi telah terpapar paham radikal.
"Kondisi itu berdasarkan penelitian BIN pada 2017," kata Budi saat menjadi pembicara kunci dalam Kongres IV BEM Perguruan Tinggi Nahdlatul Ulama (PTNU) Se-Nusantara, di Semarang, Sabtu (28/9.
Dalam menanggapi hal itu, pengamat pendidikan Doni Kusuma menyatakan kurangnya keterampilan berpikir kritis dan logis di kalangan mahasiswa dapat memudahkan mereka terpapar radikalisme. Bila diberikan pengetahuan dasar dan umum mengenai cara berpikir logis, mahasiswa dapat mengritisi pemikiran baru yang ditawarkan.
"Biasanya doktrinasi radikal masuk karena tidak ada daya kritis dari mahasiswa," ujarnya di Jakarta, kemarin.
Menurutnya, dalam menangkal radikalisme, kampus sebagai tempat studi dan pembelajaran perlu menanamkan nilai-nilai luhur kebangsaan dan kebinekaan. "Ini menjadi tugas kampus untuk mengatasinya secara aksdemis."
Perguruan tinggi, imbuhnya, dapat mengembangkan kajian kebinekaan. Misalnya, membangun memori kolektif mahasiswa dan pelajar tentang keutuhan bangsa Indonesia. "Dosen juga perlu memiliki visi kebinekaan," ucapnya.
Menurut Kepala BIN, 15 provinsi di Indonesia menjadi perhatian pergerakan radikalisme. Dari penelitian BIN itu juga diketahui tiga perguruan tinggi di Indonesia mendapat perhatian karena kondisinya bisa menjadi basis penyebaran paham radikal.
Namun, Budi Gunawan tidak mengungkapkan identitas ketiga perguruan tinggi itu. Berdasarkan penelitian tersebut, lanjutnya, juga diketahui peningkatan paham konservatif keagamaan.
Dari survei yang dilakukan diperoleh data 24% mahasiswa dan 23,3% pelajar SMA setuju dengan jihad untuk tegaknya negara Islam. "Kondisi ini mengkhawatirkan karena mengancam keberlangsungan NKRI," katanya.
Keadaan itu, imbuh Budi, diperkuat dengan keterlibatan seorang pemuda lulusan salah satu PTN yang terlibat dalam teror di Jakarta beberapa waktu lalu. "Ini semakin menegaskan bahwa lingkungan kampus sudah menjadi target bagi kelompok radikal untuk memobilisasi calon teroris baru," ujarnya.
Karena itu, ia meminta mahasiswa untuk mampu memilah mana yang baik dan yang buruk. Fenomena radikalisme di kalangan mahasiswa relatif besar dari aspek potensi ancaman. "Jangan sampai mahasiswa diperalat kelompok radikal untuk memecah belah tatanan masyarakat yang kita bangun," tegasnya.
Tidak mudah
Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) M Hamdan Basyar meminta komponen masyarakat tidak mudah langsung menghakimi seseorang terkait atau masuk dalam jaringan terorisme.
"Untuk mendeteksi sese-orang apakah terkait dengan jaringan terorisme atau bukan tidak bisa hanya secara fisik. Bercelana cingkrang bukan berarti teroris. Jadi, jangan mudah langsung menghakimi," katanya.
Ia mengajak semua pemangku kepentingan dan masyarakat untuk mengidentifikasi teroris dengan gerak dan perilakunya.
Menurutnya, perbedaan teroris atau bukan teroris bisa dilihat dari berbagai kriteria dan gerak-geriknya, bukan cuma melihat dengan tampilan fisik. "Biasanya mereka menggunakan identitas palsu," tukasnya pada diskusi terkait dengan penguatan aparatur desa/kelurahan dalam menangkal radikalisme. (Ant/P-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved