Headline

DPR klaim proses penjaringan calon tunggal hakim MK usulan dewan dilakukan transparan.

Banyak Hakim Terkena OTT, Ketua MA Didesak Mundur

Christian Dior Simbolon
14/3/2018 20:36
Banyak Hakim Terkena OTT, Ketua MA Didesak Mundur
(Ilustrasi)

KEPERCAYAAN publik terhadap Mahkamah Agung secara perlahan mulai tergerus, akibat seringnya aparatur peradilan terkena OTT KPK.

Menurut anggota Koalisi Pemantau Peradilan Muhammad Isnur, hal tersebut menunjukkan tetap tumbuh suburnya perilaku koruptif di kalangan aparatur peradilan.

"Ini juga mengindikasikan bahwa masih banyak oknum pengadilan yang berani melancarkan aksi koruptifnya, karena masih menganggap apa yang terjadi sebatas apes atau kesialan. Semakin jelas bahwa rangkaian pengungkapan ini mengindikasikan ada kesalahan secara sistemik dan lemahnya sistem dan pengawasan dari pucuk pimpinan," ujar Isnur di Jakarta, Rabu (14/3).

Contoh paling anyar ketika operasi tangkap tangan (OTT) KPK menimpa Hakim Pengadilan Negeri Tangerang Wahyu Widya Nurfitri dan panitera pengganti Tuti Atika, Senin (12/4). Keduanya diduga menerima suap dalam pengurusan perkara perdata yang akan disidangkan di PN Tangerang.

Penangkapan terhadap dua aparatur peradilan itu, menurut Isnur, menunjukkan kelalaian pimpinan MA dalam membina bawahannya. Karena itu, Koalisi Pemantau Peradilan meminta Ketua MA Hatta Ali mengundurkan diri sebagai bentuk pertanggungjawaban.

"Di masa kepemimpinan Hatta Ali, kepercayaan publik terhadap MA justru semakin menurun karena banyaknya hakim dan panitera yang ditangkap oleh KPK semenjak 2 tahun terakhir. Hal yang wajar jika masyarakat meminta Hatta Ali mundur sebagai Ketua MA karena gagal memimpin MA," ujar Ketua Bidang Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) itu.

Selain YLBHI, Koalisi Pemantau Peradilan juga beranggotakan Masyarakat Pemantau Peradilan Indonesia (MaPPI) FH UI, Indonesia Legal Roundtable (ILR), Pusat Bantuan Hukum dan HAM Indonesia (PBHI), dan Indonesia Corruption Watch (ICW).

Dihubungi terpisah, juru bicara Komisi Yudisial (KY) Farid Wajdi mengatakan, berulangnya kasus suap yang melibatkan hakim dan panitera salah satunya karena reformasi yang digelar MA selama ini masih cenderung fokus pada aspek formal.

"Tapi tidak banyak agenda program penguatan integritas. Di sisi lain, MA juga risih diawasi lembaga eksternal, sehingga membangun bunker independensi tapi mengabaikan aspek akuntabilitas," ujarnya.

Lebih jauh, Farid mengatakan, masih terasa nuansa semangat saling melindungi di korps MA. Ia mencontohkan, KY pernah merekomendasikan sanksi enam bulan non palu terhadap seorang hakim di sebuah pengadilan tinggi namun hingga kini tidak pernah dijalankan.

"Karena sanksi dianggap terlalu berat. Pun laporan lain terbukti, sama-sama dilaporkan, baik itu oleh KY dan Bawas MA, tapi sanksi Bawas lebih ringan dari KY," ujarnya.

Agar kasus OTT tak berulang, Farid menyarankan agar MA memperhatikan sejumah hal dalam pembinaan hakim. Pertama, proses seleksi hakim mesti selektif dengan menelusuri rekam jejaknya, semisal keluarga, sekolah, dan pergaulan. Kedua, pembinaan dan pengawasan terhadap perilaku hakim dilakukan setiap saat.

"Pun senantiasa mengingatkan bahwa profesi hakim adalah mulia sehingga harus dijaga semua tindakannya, baik terkait integritas atau etika. Terakhir, pemberian sanksi tanpa diskriminasi sesuai dengan pelanggaran yang dilakukan," tandasnya. (OL-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Eko Suprihatno
Berita Lainnya