Headline

Pansus belum pastikan potensi pemakzulan bupati.

Budaya Toleransi Redam Ujaran Kebencian

Dero Iqbal Mahendra
03/3/2018 08:30
Budaya Toleransi Redam Ujaran Kebencian
(Sumber: Polri/Kominfo/Grafis: Caksono)

IBARAT cendawan di musim hujan. Itulah ujaran kebencian (hate speech) dan hoaks (kabar bohong) mewabah di tahun politik menjelang Pilkada 2018 dan Pilpres 2019.

Langkah kepolisian ­untuk menegakkan hukum ­terhadap dua hal itu ternyata tidak menyurutkan upaya sebagian kalangan untuk ­memproduksinya.

Guru Besar Hukum Pidana Universitas Krisnadwipayana, Jakarta, Indriyanto Seno Adji berpendapat bahwa fenomena tersebut marak karena situasi latar tahun politik yang sedang berjalan. “Kultur hate speech memang muncul karena ada semacam penciptaan kondisi yang berlatar belakang politik,” terang Indriyanto saat dihubungi, kemarin.

Tak hanya ujaran kebencian yang marak di tahun politik, kata Indriyanto, hoaks dengan tujuan demoralisasi juga mencuat. Hoaks itu, imbuhnya, menyebarkan sentimen agama non-Islam ataupun etnik nonpribumi.

Menurut dia, untuk menghentikan ujaran kebencian ialah dengan memahami antara freedom of speech (kebebasan berbicara) dan hate speech. “Harus juga dilakukan (untuk menyetopnya) secara paralel yakni pengembangan budaya toleransi sebagai ­basis prevensi dan pendekatan represif (penegakan hukum),” tukas mantan komisioner KPK itu.

Vonis hukum

Terkait dengan ujaran kebencian, Jon Riah Ukur Gin-ting atau Jonru Ginting divonis 1 tahun 6 bulan penjara dan denda Rp50 juta juta oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur, kemarin. Jonru dinilai terbukti dengan sengaja menyebarkan informasi yang menimbulkan rasa kebencian dan permusuhan berdasarkan SARA di media sosial.

“Menyatakan Jonru Ginting terbukti sah dan meyakinkan melakukan tindak pidana menyebarkan informasi kebencian dan permusuhan SARA,” kata ketua majelis hakim, Antonio Simbolon, membacakan amar putusan di PN Jaktim.

Hakim menilai dakwaan jaksa penuntut umum sebagaimana dalam Pasal 28 ayat (2) jo Pasal 45A ayat (2) UU No 11/2008 sebagaimana diubah dengan UU No 19/2016 tentang Perubahan atas UU No 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik terpenuhi.

Putusan itu lebih ringan daripada tuntutan jaksa yang menuntut agar Jonru dihukum 2 tahun penjara dan denda Rp50 juta. Jaksa dan Jonru pun belum memutuskan apakah menerima atau mengajukan banding.

Di sisi lain, polisi terus memburu pihak-pihak yang terkait dengan Muslim Cyber Army. Polda Jawa Timur menangkap empat orang yang diduga menyebarkan hoaks penyerangan terhadap ulama oleh Partai Komunis Indonesia (PKI) di media sosial. Dari empat tersangka, satu di antaranya ­berafiliasi dengan The Family Muslim Cyber Army atau Family MCA. Keempat tersangka itu ialah MFA, 35, warga Surabaya, JZR, 23, warga Malang, SFY, 37, warga Probolinggo, dan MDR, 40, warga Sumenep.

Hoaks juga menyerang Wakil Ketua DPR Fadli Zon. Dia melaporkan fitnah dan informasi bohong ke Bareskrim Polri, Jakarta, kemarin, yang diduga dilakukan akun ­Twitter kom­poser musik Ananda ­Sukarlan.

Selain Ananda, Fadli juga melaporkan sejumlah akun yang dinilainya membuat informasi bohong, di antaranya akun Lambe Turah. (Mal/Sru/FL/X-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Panji Arimurti
Berita Lainnya