Headline
Pemerintah belum memastikan reshuffle Noel.
RAPAT Paripurna DPR RI menyetujui perubahan kedua Rancangan Undang-Undang Nomor 17 tahun 2014 tentang MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3) menjadi Undang-Undang, meski diwarnai aksi walk out dari Fraksi Partai NasDem dan Fraksi PPP.
Saat ditanyakan persetujuannya, mayoritas anggota dewan yang hadir menyatakan setuju sehingga Wakil Ketua DPR Fadli Zon mengetuk palu tanda perubahan kedua UU MD3 disetujui.
Dalam Rapat Paripurna tersebut, Ketua Badan Legislasi (Baleg) DPR RI Supratman Andi Agtas menyampaikan 14 poin perubahan dalam UU MD3.
Pertama, seperti yang disampaikan Supratman, perubahan di UU MD3 adalah penambahan kursi pimpinan MPR, DPR, dan DPD, serta menambah wakil pimpinan MKD. Kedua, perumusan kewenangan DPR dalam membahas RUU yang berasal dari presiden dan DPR, maupun RUU yang diajukan DPD.
Ketiga, penambahan rumusan mengenai pemanggilan paksa dan penyanderaan terhadap pejabat negara atau masyarakat yang akan melibatkan kepolisian. Keempat, penambahan rumusan mengenai penggunaan hak interpletasi, hak angket, hak menyatakan pendapat, atau hak anggota DPR untuk mengajukan pertanyaan kepada pejabat negara.
Kelima, menghidupkan kembali Badan Akuntabilitas Keuangan Negara. Keenam, penambahan rumusan kewenangan Badan Legislasi dalam penyusunan RUU serta pembuatan laporan kinerja dan inventarisasi masalah di bidang hukum.
Berikutnya, ketujuh, perumusan ulang terkait tugas dan fungsi MKD. Kedelapan, penambahan rumusan kewajiban mengenai laporan hasil pembahasan APBN dalam rapat pimpinan sebelum pengambilan keputusan pada pembicaraan tingkat I.
Kesembilan, penambahan rumusan mekanisme pemanggilan WNI atau WNA yang secara paksa dalam hal tidak memenuhi panggilan panitia angket. Kesepuluh, penguatan hal imunitas anggota DPR dan pengecualian hak imunitas.
Kesebelas, penambahan rumusan wewenang dan tugas DPD dalam memantau dan mengvaluasi rancangan Perda dan Perda. Keduabelas, penambahan rumusan kemandirian DPD dalam penyusunan anggaran. Penambahan rumusan terkait pelaksanaa tugas Badan Keahlian Dewan.
Lalu, ketigabelas, penambahan rumusan jumlah dan mekanisme pemilihan pimpinan MPR, DPR, dan Alat Kelengkapan Dewan hasil pemilu tahun 2014. Dan Keempatbelas, ketentuan mengenai mekanisme pimpinan MPR, DPR, serta Alat Kelengkapan Dewan (AKD) setelah pemilu tahun 2019.
Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Yasonna Laoly mengatakan perubahan kedua UU MD3 sangat penting dalam upaya penguatan lembaga legislatif dalam melaksanakan tugas dan fungsi pengawasan dalam sistem politik Indonesia.
Dia mengatakan penyempurnaan jumlah Pimpinan MPR dan DPR mencerminkan perolehan suara partai politik yang diraih dalam Pemilu sehingga merepresentasikan rakyat.
Ketua Fraksi PPP, Reni Marlinawati dalam sidang menyatakan RUU MD3 terdapat kecacatan hukum, terutama dalam mekanisme pemilihan pimpinan MPR.
"Itu jelas melanggar putusan MK Nomor 117 tahun 2009 yang memaknai frasa ditentukan dengan dipilih, bukan ditunjuk. Kami diawal menyampaikan bahwa Fraksi PPP menemukan beberapa persoalan mendasar secara konstitusional dalam perubahan kedua atas UU MD3. Maka kami memohon untuk ditunda dan dilakukan pembicaraan lebih lanjut," ujarnya.
Ketua Fraksi Partai NasDem, Johnny G Plate menilai perlu ada revisi UU MD3 tapi revisinya harus dilakukan secara komprehensif dan substantif. Dia menilai, revisi UU MD3 saat ini penuh dengan nuansa politis. Sebab menonjolkan perebutan jatah pimpinan.
"Revisi yang terjadi yang dilakukan ini terlalu nuansa pragmatisme dan kepentingan kelompok yang ditonjolkan merebut jatah pimpinan," ujarnya.
NasDem juga merasa pasal 180 a dalam revisi UU MD3 mengambil alih kewenangan fraksi. Karena setiap postur Anggaran Pendapatan Belanja Nasional (APBN) di Badan Anggaran yang tadinya bisa langsung diputuskan fraksi kini harus dikonsultasikan terlebih dahulu ke pimpinan DPR.
"Khawatir ini menjadi preseden yang buruk dimana semua AKD termasuk badan-badan lainnya nanti terlebih dahulu di konsultasikan dengan pimpinan DPR RI. Ini hak kemandirian fraksi dicaplok. Ini bahaya terbentuknya oligarki kekuasaan di pimpinan DPR RI," ungkapnya.
Selain itu, pihaknya juga merasa perlu kajian lebih mengenai hak imunitas anggota DPR yang terdapat di revisi UU MD3. Agar tak disalahgunakan untuk perlindungan diri.
"Bukan ini digunakan untuk sebagai payung untuk usaha-usaha lain di luar pelaksanaan tugasnya termasuk untuk membela diri, termasuk untuk menutup kritik atau antikritik. Nah ini harus dibicarakan, terus didiskusikan secara lebih mendalam, lebih komprehensif, lebih menyeluruh agar hak imunitas yang diberikan kadang anggota DPR itu digunakan dengan baik," pungkasnya.
Namun, permintaan kedua fraksi tersebut tidak disetujui oleh mayoritas fraksi DPR lainnya. Sehingga, para anggota kedua fraksi itu memutuskan walk out meninggalkan ruang sidang paripurna. Semetara RUU MD3 tetap disahkan menjadi undang-undang oleh DPR RI.(OL-3)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved