Headline

Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.

Fokus

Warga bahu-membahu mengubah kotoran ternak menjadi sumber pendapatan

Diskriminasi Ahmadiyah karena Beda Paham

Nur/P-1
09/2/2018 09:03
Diskriminasi Ahmadiyah karena Beda Paham
(Sosiolog dari Universitas Ibnu Chaldun Jakarta Musni Umar -- MI/MOHAMAD IRFAN)

SOSIOLOG dari Universitas Ibnu Chaldun Jakarta Musni Umar menilai bahwa diskriminasi yang menimpa komunitas Ahmadiyah bukan akibat berlakunya Undang-Undang Nomor 1/PNPS/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (UU Penodaan Agama). Menurutnya, persoalan yang menimpa komunitas Ahmadiyah tersebut karena adanya perbedaan pemahaman ajaran Islam oleh Ahmadiyah.

"Jika umat Islam marah yang kemudian diekspresikan dengan melakukan hal-hal yang tidak kita inginkan, tujuannya hanya semata-mata untuk membela dan melindungi agama yang mereka imani dan percayai," ucap Musni Umar saat memberikan keterangan sebagai ahli dari pihak terkait, di Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, kemarin.

Para pemohon yang mengajukan permohonan uji materi terhadap UU Penodaan Agama ialah penganut Ahmadiyah. Mereka merasa hak konstitusional mereka terlanggar dengan berlakunya Pasal 1, Pasal 2, Pasal 3 UU Penodaan Agama.

Menurut mereka, Surat Keputusan Bersama Menteri Agama, Jaksa Agung, dan Menteri Dalam Negeri tentang Peringatan dan Perintah kepada Penganut, Anggota, dan/atau Anggota Pengurus Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) dan warga masyarakat (SKB 3 menteri) yang disusun berdasarkan ketiga pasal tersebut merugikan para pemohon. SKB tersebut menetapkan bahwa Ahmadiyah merupakan aliran sesat.

Musni mengatakan pembentukan UU Penodaan Agama merupakan upaya negara untuk memberikan perlindungan terhadap nilai-nilai agama, keamanan dan ketertiban umum. Menurutnya, permintaan pemohon untuk menafsirkan atau membatalkan pasal a quo justru tidak akan menyelesaikan masalah yang menimpa komunitas Ahmadiyah.

"Bahkan kekerasan akan semakin meningkat jika undang-undang itu dicabut atau dibatalkan karena ada kevakuman hukum," ujarnya.

Ahli lainnya, Amidhan Shaberah, pun meminta majelis hakim tidak memberikan penafsiran atau perubahan terhadap pasal a quo dalam UU Penodaan Agama. Menurut Anggota Komnas HAM 2002-2007 itu, jika ada perubahan akan berpotensi menimbulkan kegaduhan yang baru.(Nur/P-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Kardashian
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik