Headline
Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.
Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.
Warga bahu-membahu mengubah kotoran ternak menjadi sumber pendapatan
KAPOLRI Jenderal Tito Karnavian mengatakan Jemaah Ansharut Daulah (JAD) menjadi ancaman terbesar di Tanah Air. Perkembangan kelompok itu mendapat perhatian serius Mabes Polri.
“Karena mereka sudah mempunyai struktur di delapan provinsi dan beberapa daerah lainnya,” kata Tito saat menyampaikan orasi ilmiah pengukuhan dirinya sebagai guru besar bidang ilmu kepolisian studi strategis kajian kontraterorisme di Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian (STIK), Jakarta, kemarin.
Tito pun mengakui perkembangan gerakan radikal di Indonesia didukung situasi dalam negeri saat transisi kekuasaan dari semiotoriter menjadi demokrasi liberal hasil reformasi 1998. Secara umum, perkembangan terorisme di Indonesia dapat dibagi menjadi dua gelombang.
Gelombang pertama dari 1999 sampai 2014 dengan aktor utama Al Jamaah Al Islamiyah (JI) yang berhubungan dengan Al-Qaeda. Gelombang kedua terjadi sejak 2014 sampai sekarang dengan munculnya JAD yang terhubung dengan Islamic State (IS).
Kelompok itu juga memiliki hubungan dengan berbagai elemen di Suriah sebagai melting pot Filipina, Malaysia, dan Singapura. Mereka juga terlibat dalam serangkaian aksi.
Setidaknya, selama 2010 sampai 2017 telah terjadi 130 aksi teror di Indonesia. Polri mampu menangkap 896 terduga teroris, 126 orang di antaranya meninggal.
Sebanyak 674 orang diajukan ke sidang pengadilan dan 96 di antaranya dilepas. Sementara itu, 34 polisi meninggal dan 78 lainnya luka-luka.
“Sejak 2014, ancaman terorisme lainnya muncul di Indonesia sebagai akibat dari perkembangan teknologi informasi dan komunikasi dengan munculnya lone wolf atau self radicalism yang penyebarannya tidak mempunyai batas (borderless) dan berafiliasi ke ISIS,” ujar dia.
Menurut Kapolri, lone wolf ialah fenomena teroris yang beroperasi sendirian. Teror juga dapat terjadi di mana saja, kapan saja, dan dilakukan siapa saja dengan motif yang terkadang tidak jelas. Pelaku mendapat pengaruh ideologi radikal melalui internet ataupun media sosial.
“Melalui internet pula mereka mendapatkan pelatihan serta mempelajari cara membuat bom, bahkan bom dengan bahan radioaktif,” jelas dia.
Aksi-aksi itu lebih didorong aspek ideologis. Pelaku ingin melaksanakan jihad yang dianggap fardu ain atau wajib bagi setiap muslim untuk menegakkan syariat, serta dorongan politis untuk mengambil alih kekuasaan.
“Harapan mereka dengan ikut melaksanakan aksi tersebut maka kewajiban jihad mereka telah terlaksana, dan memberi contoh bagi yang lain untuk melakukan jihad yang sama. Bola salju dapat bergulir sehingga aksi military-foco ini dapat meluas dan ditiru yang lain menjadi gerakan besar melawan pemerintah,” beber dia.
Perkaya ilmu
Setelah Tito dikukuhkan sebagai guru besar, Kepala Biro Penerangan Masyarakat (Karopenmas) Divisi Humas Polri Rikwanto berharap ke depannya pemikiran-pemikiran sang Jenderal bisa memperkaya ilmu kepolisian dan dapat diaplikasikan untuk memberantas terorisme. (Ant/MTVN/P-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved