Headline
Presiden Prabowo resmikan 80.000 Koperasi Merah Putih di seluruh Indonesia.
Presiden Prabowo resmikan 80.000 Koperasi Merah Putih di seluruh Indonesia.
MAHKAMAH Konstitusi (MK) memutuskan pengelolaan urusan pendidikan menengah (SMA/SMK/sederajat) tetap dipegang pemerintah provinsi. Diketahui, permohonan perkara yang teregistrasi dengan nomor 31/PUU-XIV/2016 tersebut diajukan Bambang Soenarko dkk. Mereka warga Surabaya yang merasa hak konstitusional mereka terlanggar dengan adanya ketentuan Pasal 15 ayat (1) dan ayat (2) UU Pemda. “Pengalihan kewenangan pengelolaan urusan pendidikan menengah yang diberikan kepada pemerintah provinsi yang secara potensial dapat berakibat adanya kerugian hak konstitusional bagi para pemohon, yaitu biaya waktu dan tenaga, jika pelayanan itu tidak dilakukan pemerintah kabupaten/kota tidak beralasan menurut hukum,” kata Ketua MK Arief Hidayat saat membacakan amar putusan terhadap pengujian Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah (UU Pemda) di Gedung MK, Jakarta, Kamis (27/7) lalu.
Salah satu alasan pemohon ialah sudah terdapat daerah-daerah kabupaten/kota yang secara mandiri mampu menjalankan jaminan pendidikan sampai tingkat menengah. Namun, berlakunya pasal a quo membuat pemda kabupaten/kota yang sudah melaksanakan jaminan pendidikan sampai tingkat menengah tidak lagi dapat mengelola pendidikan tingkat menengah tersebut. Dalam putusan tersebut, satu hakim konstitusi memiliki pendapat berbeda, yaitu hakim konstitusi Saldi Isra. Ia menilai kabupaten/kota yang sudah memiliki kemampuan melaksanakan jaminan pendidikan sampai tingkat menengah tetap bisa melaksanakan kewenangan tersebut.
Untuk itu, kata Saldi, pengaturan kewenangan pengalihan pengelolaan pendidikan menengah juga harus melihat kondisi dan keberagaman daerah. “Ketika kewenangan dialihkan, semua akan memulai dari awal dan membutuhkan penataan dalam masa peralihan yang tidak sebentar.”
Blitar gugat
Sepekan sebelumnya, MK juga menolak permohonan serupa yang diajukan Wali Kota Blitar Samanhudi Anwar. Samanhudi mengajukan gugatan ke MK di hari yang sama dengan Pemerintah Kota Surabaya soal ihwal pengambilalihan pengelolaan sekolah menengah atas dan kejuruan oleh pemerintah provinsi. Hal itu diatur dalam UU Nomor 23 Tahun 2014. Uji materi juga dilakukan Pemerintah Kota Surabaya. Secara khusus, uji materi dilakukan terhadap Pasal 1 ayat 3, Pasal 28D ayat 1, Pasal 18 ayat 2. Lalu Pasal 18A ayat 1 dan ayat 2 dan Pasal 28C ayat 2.
Dalam UU Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintah Daerah, disebutkan pemerintah daerah bertanggung jawab terhadap pendidikan setingkat SD/SM, sedangkan pemerintah provinsi bertanggung jawab atas pendidikan setingkat SMA/SMK. Sementara itu, pendidikan tinggi menjadi ranah dan tanggung jawab pemerintah pusat. MK menyebut, dalam UU Pemda, pendidikan masuk klasifikasi urusan pemerintahan yang dibagi dengan pusat, daerah, dan kota. Pembagian itu berdasarkan aspek akuntabilitas, efisiensi, eksternalitas, dan strategis nasional. Pembagian itu, menurut MK, tidak bertentangan dengan UUD 1945.
Menurut Samanhudi, pemerintah daerah telah berinvestasi sangat besar terhadap pembangunan SMA/SMK baik berupa pembangunan infrastruktur maupun operasional sekolah. Selain itu, Pemerintah Blitar telah mengucurkan anggaran tak sedikit untuk memberikan berbagai tunjangan kepada pelajar mulai jenjang SD hingga SMA, seperti sepatu gratis, seragam gratis, buku gratis, alat tulis gratis, bus sekolah gratis, tas gratis, hingga pembebasan pembayaran uang sekolah. Pemkot Blitar menilai pengambilalihan pengelolaan oleh pemprov dinilai tidak tepat karena berlawanan dengan semangat otonomi daerah yang diatur dalam UU Nomor 23/2014. “Ini bukan otoda sebenarnya karena masih ada kebijakan dan kewenangan yang diambil dari pemerintah daerah,” kata Samanhudi beberapa waktu lalu. Wakil Wali Kota (Wawali) Surabaya Wisnu Sakti Buana menanggapi putusan MK yang menolak gugatan yang diajukan Wali Kota Blitar Samanhudi Anwar terkait dengan pengelolaan pendidikan SMA/SMK.
“Sebenarnya dari awal sudah pernah kami sampaikan ke Pemkot Blitar agar yang menggugat warga, bukan pemkot,” kata Wisnu kepada wartawan di Surabaya, Kamis (20/7). Menurut dia, kalau yang melakukan gugatan Pemkot Blitar, bisa dikatakan pemerintah menggugat pemerintah. “Jadi tidak jelas siapa yang dirugikan,” ujarnya. (Ant/Bay/H-1)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved