Headline

Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.

Fokus

Warga bahu-membahu mengubah kotoran ternak menjadi sumber pendapatan

Demokrasi RI Mengarah ke Liberal

Golda Eksa
15/8/2017 06:03
Demokrasi RI Mengarah ke Liberal
(Panglima TNI Jend. Gatot Nurmantyo (kiri) dan Kapolri Jend. Pol Tito Karnavian menyampaikan orasi kebangsaan dalam Simposium Nasional di Balai Kartini, Jakarta, Senin (14/8). -- MI/Susanto)

DEMOKRASI di Indonesia dinilai berada di lampu kuning. Euforia kebebasan atas nama demokrasi kian membuncah.

Kapolri Jenderal Tito Karnavian merisaukan demokrasi di Indonesia yang saat ini cenderung menjauh dari nilai-nilai Pancasila. “Saya melihat sudah mengarah ke libe­ral. Indikatornya, bagaimana kebebasan berpendapat di muka umum, kebebasan berekspresi, freedom, dibuka terlalu luas, terlalu lebar,” kata Tito pada simposium nasional bertema Bangkit bergerak, pe­muda Indonesia majukan bangsa, di Jakarta, kemarin.

Menurut Tito, arah demokrasi seperti itu perlu menjadi perhatian karena la­pis­­­­­an masyarakat kelas bawah masih men­dominasi. Ia khawatir kelompok masyarakat itu digunakan sebagai alat untuk mengganggu jalannya pemerintahan.

“Kalau ini dibiarkan, tentu akan terjadi konflik vertikal, yaitu keinginan kelas ba­­­wah yang ingin instan mencapai kesejah­teraan sehingga siapa pun pemimpinnya akan dituntut. Baru dua tahun, tiga tahun, mereka akan menyalahkan pemimpinnya,” kata Tito.

Mantan Kapolda Metro Jaya itu mengingatkan seharusnya demokrasi pasca-reformasi tetap berpijak pada Pancasila.

“Jangan sampai salah arah setelah refor­masi, ini kita lihat terapkan demokrasi. Per­tanyaannya, apakah sistem demokrasi saat ini masih berpijak pada Pancasila atau bukan,” ujar Tito.

Di tempat yang sama, Panglima TNI Jen­­deral Gatot Nurmantyo menegaskan bangsa Indonesia akan tetap utuh dan tidak akan terpecah selama ada Pancasila.

“Karena negara ini penduduknya adalah orang-orang yang sudah tidak bisa terbantahkan lagi. Berdasarkan sejarah dan antropologi budaya adalah kumpulan dari kesatria dan patriot. Jadi, tidak bisa negara lain menghancurkan negara ini selama masih ada Pancasila,” tukas Gatot.

Pancasila sebagai solusi
Direktur The Wahid Institu­te Yenny Wa­hid mengatakan perkembangan tole-ransi di Indonesia tengah menghadapi ancaman, khususnya terkait dengan banyaknya kasus radikalisme dan ­intoleransi.

Berdasarkan survei yang dilakukan The Wahid Institute, tercatat ada 0,4% atau setara 600 ribu jiwa yang pernah melakukan tindakan radikal. Survei juga menyebutkan sekitar 7,7% atau 11 juta orang yang mengaku akan melakukan tindakan radikal jika ada kesempatan.

“Meski ada ancaman, tetap ada po­tensi so­lusi, yaitu lebih dari 80% masyarakat In­donesia percaya pada Pancasila dan demokrasi. Jadi, di sinilah modal awal kekuatan kita,” jelasnya.

Terkait dengan demokrasi yang ditu­ding ke­bablasan, peneliti Pusat Studi Kon­­stitusi (Pusako) Universitas Andalas Pa­dang, Khai­rul Fahmi, berpandangan de­­mokrasi di Ta­nah Air sudah berjalan pa­­da rel yang benar. “Cuma memang masyarakat kita yang belum siap menerima,” ujarnya, tadi malam.

Meski demikian, kata dia, secara filosofi, demokrasi memang liberal. “Dalam demokrasi, kebebasan dan kesetaraan individu diakui dan dilindungi konstitusi.”

Menurut Khai­rul, agar tidak terjebak pa­da ke­kacauan akibat bebasnya individu, hukum menjadi pagar. “Hukum harus di­tegakkan secara tegas dan menurut ca­ra-cara yang sah. Alat-alat negara juga ha­rus taat hukum,” jelasnya.

Setali tiga uang, pengamat politik Unair Surabaya, Airlangga Pribadi, mengatakan kebebasan tidak bisa dinafikan dalam sistem demokrasi. “Di sinilah negara harus berperan menetapkan hitam-putih aturan hukum yang tepat dalam mengelola kebebasan.” (Dior/X-4)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik