Headline
Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.
Presiden Trump telah bernegosiasi dengan Presiden Prabowo.
Warga bahu-membahu mengubah kotoran ternak menjadi sumber pendapatan
DEMOKRASI di Indonesia dinilai berada di lampu kuning. Euforia kebebasan atas nama demokrasi kian membuncah.
Kapolri Jenderal Tito Karnavian merisaukan demokrasi di Indonesia yang saat ini cenderung menjauh dari nilai-nilai Pancasila. “Saya melihat sudah mengarah ke liberal. Indikatornya, bagaimana kebebasan berpendapat di muka umum, kebebasan berekspresi, freedom, dibuka terlalu luas, terlalu lebar,” kata Tito pada simposium nasional bertema Bangkit bergerak, pemuda Indonesia majukan bangsa, di Jakarta, kemarin.
Menurut Tito, arah demokrasi seperti itu perlu menjadi perhatian karena lapisan masyarakat kelas bawah masih mendominasi. Ia khawatir kelompok masyarakat itu digunakan sebagai alat untuk mengganggu jalannya pemerintahan.
“Kalau ini dibiarkan, tentu akan terjadi konflik vertikal, yaitu keinginan kelas bawah yang ingin instan mencapai kesejahteraan sehingga siapa pun pemimpinnya akan dituntut. Baru dua tahun, tiga tahun, mereka akan menyalahkan pemimpinnya,” kata Tito.
Mantan Kapolda Metro Jaya itu mengingatkan seharusnya demokrasi pasca-reformasi tetap berpijak pada Pancasila.
“Jangan sampai salah arah setelah reformasi, ini kita lihat terapkan demokrasi. Pertanyaannya, apakah sistem demokrasi saat ini masih berpijak pada Pancasila atau bukan,” ujar Tito.
Di tempat yang sama, Panglima TNI Jenderal Gatot Nurmantyo menegaskan bangsa Indonesia akan tetap utuh dan tidak akan terpecah selama ada Pancasila.
“Karena negara ini penduduknya adalah orang-orang yang sudah tidak bisa terbantahkan lagi. Berdasarkan sejarah dan antropologi budaya adalah kumpulan dari kesatria dan patriot. Jadi, tidak bisa negara lain menghancurkan negara ini selama masih ada Pancasila,” tukas Gatot.
Pancasila sebagai solusi
Direktur The Wahid Institute Yenny Wahid mengatakan perkembangan tole-ransi di Indonesia tengah menghadapi ancaman, khususnya terkait dengan banyaknya kasus radikalisme dan intoleransi.
Berdasarkan survei yang dilakukan The Wahid Institute, tercatat ada 0,4% atau setara 600 ribu jiwa yang pernah melakukan tindakan radikal. Survei juga menyebutkan sekitar 7,7% atau 11 juta orang yang mengaku akan melakukan tindakan radikal jika ada kesempatan.
“Meski ada ancaman, tetap ada potensi solusi, yaitu lebih dari 80% masyarakat Indonesia percaya pada Pancasila dan demokrasi. Jadi, di sinilah modal awal kekuatan kita,” jelasnya.
Terkait dengan demokrasi yang dituding kebablasan, peneliti Pusat Studi Konstitusi (Pusako) Universitas Andalas Padang, Khairul Fahmi, berpandangan demokrasi di Tanah Air sudah berjalan pada rel yang benar. “Cuma memang masyarakat kita yang belum siap menerima,” ujarnya, tadi malam.
Meski demikian, kata dia, secara filosofi, demokrasi memang liberal. “Dalam demokrasi, kebebasan dan kesetaraan individu diakui dan dilindungi konstitusi.”
Menurut Khairul, agar tidak terjebak pada kekacauan akibat bebasnya individu, hukum menjadi pagar. “Hukum harus ditegakkan secara tegas dan menurut cara-cara yang sah. Alat-alat negara juga harus taat hukum,” jelasnya.
Setali tiga uang, pengamat politik Unair Surabaya, Airlangga Pribadi, mengatakan kebebasan tidak bisa dinafikan dalam sistem demokrasi. “Di sinilah negara harus berperan menetapkan hitam-putih aturan hukum yang tepat dalam mengelola kebebasan.” (Dior/X-4)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved