Headline

. AS kembali memundurkan waktu pemberlakuan tarif resiprokal menjadi 1 Agustus.

Fokus

Penurunan permukaan tanah di Jakarta terus menjadi ancaman serius.

Ini Pertimbangan Hakim Tolak Praperadilan Mantan Kepala BPPN

Arga Sumantri
02/8/2017 20:43
Ini Pertimbangan Hakim Tolak Praperadilan Mantan Kepala BPPN
(ANTARA)

PENGADILAN Negeri Jakarta Selatan menolak praperadilan Syafruddin Arsyad Temenggung. Ia merupakan tersangka kasus dugaan korupsi penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI).

Ada sejumlah pertimbangan yang membuat hakim tunggal Effendi Mukhtar menolak permohonan praperadilan Syafruddin. Misalnya, terkait gugatan Syafruddin yang menyebut kasus yang menimpanya telah kedaluwarsa.

Hakim tak sependapat. Hakim Effendi menilai, pada kasus ini Syafruddin terancam hukuman mati, seumur hidup, atau pidana 20 tahun penjara. Sebab, KPK menerapkan pada Syafruddin Pasal 2 Ayat (1) atau Pasal 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dalam Undang-Undang No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.

Berdasarkan Pasal 78 ayat 4 KUHAP, tercantum bahwa kasus dengan pasal dimaksud memiliki masa kedaluwarsa 18 tahun. Mengingat kasus BLBI terjadi pada 2004, maka, kata Effendi, masa kedaluwarsa kasus yang menjerat mantan Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) itu baru habis masa berlakunya pada 27 April 2022.

"Penuntutan belum dapat dikatakan kedaluwarsa. Sebagaimana disampaikan ahli tergugat," ungkap Effendi.

Kemudian, kubu Syafruddin juga menyebut kalau Undang-undang Tindak Pidana Korupsi yang ada berlaku surut. Sehingga, KPK dinilai tidak berwenang menangani perkara dugaan korupsi yang menjerat Syafruddin.

Namun, hakim juga tidak sepakat. Hakim menilai UU Tipikor tidak berlaku surut. Hakim meninjaunya berdasarkan tempus delicti alias tinjauan berdasarkan waktu, untuk menentukan apakah suatu undang-undang dapat diterapkan terhadap suatu tindak pidana.

Atas tinjauan itu, hakim menilai KPK sah mengusut kasus BLBI. Sebab, kasus BLBI terjadi pada 2004, dan pada tahun itu pula KPK sudah dibentuk dan mesti menjalankan mandat undang-undang.

"Sehingga permintaan pemohon atas itu tidak beralasan dan harus ditolak," ucap Effendi.

Selanjutnya, terkait gugatan ada tidaknya bukti permulaan cukup yang dimiliki KPK untuk menjerat Syafruddin. Hakim Effendi menilai, KPK telah memenuhi syarat miniman dua alat bukti mengacu Pasal 184 KUHAP.

Hakim Effendi pun menyebut sejumlah bukti yang diberikan KPK. Misal, adanya lebih dari 87 bukti surat yang ditunjukkan KPK. Bukti surat itu terlampir dalam bentuk dokumen yang menunjukkan dugaan tindak pidana korupsi yang dilakukan Syafruddin.

Lalu, KPK juga menyerahkan bukti telah melakukan pemeriksaan terhadap 33 saksi selama mengusut kasus Syafruddin. Misalmya, keterangan Menteri Koordinator Perekonomian era Presiden Megawati Soekarnoputri, Kwik Kian Gie. Ada juga keterangan Rizal Ramli. KPK juga telah menunjukkan bukti adanya proses permintaan keterangan dari Syafruddin pada 2014.

Setelah memerhatikan alat bukti yang disampaikan KPK, hakim Effendi berpendapat kalau prosedur penetapan tersangka telah memenuhi syarat. KPK juga dinilai mampu membuktikan dua alat bukti permulaan yang cukup sesuai Pasal 184 KUHAP.

"Maka penetapan tersangka adalah sah dan berdasar hukum," ujar Effendi.

Oleh karena gugatan alat bukti permulaan cukup itu yang jadi materi pokok perkara praperadilan telah ditolak, maka Hakim Effendi juga memutuskan menolak seluruh gugatan kubu Syafruddin lainnya.

"Maka permintaan terhadap petitum lainnya tidak mengikat dan berkekuatan hukum, harus ditolak seluruhnya," pungkas Effendi. (MTVN/OL-2)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik