Headline
Pansus belum pastikan potensi pemakzulan bupati.
HAK angket Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang disetujui dalam rapat paripurna DPR dinilai mengandung kejanggalan. Pasalnya, persetujuan itu terkesan dipaksakan dengan mengabaikan pendapat para anggota dewan yang hadir dalam rapat paripurna.
"Ini dagelan harusnya banyak pertimbangan dan tiba-tiba palu diketok untuk mempercepat keputusan," kata peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) Lucius Karus dalam diskusi di kawasan Menteng, Jakarta, Sabtu (29/4).
Lucius memandang disetujuinya angket KPK tersebut karena ada perbedaan sikap antara Fahri Hamzah dan KPK. Fahri merupakan pimpinan sidang dalam rapat paripurna angket KPK, Jumat (28/4) kemarin.
"Saya kita semua dijelaskan, Fahri punya sikap beda dengan KPK, dan Fahri itu wakil dari pemotor suara-suara yang ingin melemahkan KPK," ucap dia.
Hak angket bergulir karena DPR ingin KPK membuka rekaman berita acara pemeriksaan (BAP) terhadap Miryam S Haryani terkait kasus korupsi kartu tanda penduduk elektronik (KTP-e). Miryam ialah anggota DPR dari Fraksi Hanura. Ia jadi tersangka dalam dugaan kasus pemberian kesaksian palsu terkait perkara KTP-e.
Namun, kata peneliti ICW Donal Fariz, bila mengacu kepada UU KPK, rekaman BAP hanya bisa dibuka di forum pengadilan.
Selain itu, berdasarkan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (KIP) pun sangat jelas hal tersebut masuk dalam pengecualian.
"Tidak masalah informasi itu (rekaman) dibuka tapi dalam forum legitimate, forum itu ya di persidangan," kata dia. (MTVN/OL-2)
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved