Headline

Pemerintah belum memastikan reshuffle Noel.

Intoleransi Usik Demokrasi

AAD NOVRIWAN [email protected]
28/4/2017 05:30
Intoleransi Usik Demokrasi
(Usman Kansong, Direktur Pemberitaan Media Indonesia, sekaligus penulis buku Jurnalisme Keberagaman. MI/Furqon Ulya Himawan)

PERS mengalami hambatan dalam menyokong konsolidasi demokrasi ketika berhadapan dengan kasus-kasus yang mengusik kebe­ragaman. Intimidasi dan ketakutan kerap membayangi. Demikian disampaikan Usman Kansong, penulis buku Jurnalisme Keberagaman, pada bedah buku yang dipandu Padli Ramdan, di Universitas Malahayati, Bandar Lampung, Lampung, Kamis (27/4).

“Pers terkadang belum bisa ikut serta dalam konsolidasi demokrasi. Hal itu disebabkan pers masih takut dan khawatir apabila didemo kelompok intoleran,” ungkap Usman. Bedah buku Jurnalisme Keberagaman yang dibuka Gubernur Lampung M Ridho Ficardo tersebut menghadirkan dua penanggap, yakni Rektor Universitas Malahayati Muhammad Kadafi dan dosen UIN Raden Intan Lampung Khomsarial. Turut hadir Kapolda Lampung Irjen Sudjarno.

Dipaparkan Usman, inti dari jurnalisme keberagaman ialah membela korban dan kelompok marginal, mengedepankan jurnalisme damai, dan berperspektif gender. Buku yang dia buat berangkat dari kekhawatirannya terhadap para jurnalis dalam hal meliput keberagaman. Ketakutan pers terhadap kelompok intoleran diperburuk dengan perilaku sebagian jurnalis yang dirasa lebih memercayai media sosial ketimbang fakta yang terjadi di lapangan.

Kelemahan itu turut memberi jalan pada politik identitas yang berkembang belakangan ini. Menurut wartawan senior Media Indonesia tersebut, politik identitas semestinya tidak menjadi persoalan yang begitu ditakutkan jika tidak menjelma menjadi politik superioritas yang mengintimidasi. Usman menerangkan jurnalisme keberagaman didasari jurnalisme damai dalam nuansa perbedaan dan lebih mengedepankan hak-hak asasi manusia. “Pers digunakan untuk melembagakan keberagaman hingga tercipta suasana yang lebih kondusif sehingga ada pembelaan terhadap perbedaan.”

Gubernur Lampung M Ridho Ficardo dalam sambut­annya menilai situasi kebinekaan di Indonesia terus mengalami ujian. Dalam konteks jurnalisme keberagaman, saat ini politik identitas lebih dominan. Ridho menekankan media harus tampil sebagai perekat keberagaman dan menjadi pilar dalam rangka menjaga demokrasi dan Negara Kesatuan Republik Indonesia sesuai dengan amanat pendiri bangsa. “Saya berharap melalui bedah buku ini, kesadaran berdemokrasi kita lebih baik.”

Diabaikan
Persoalan keberagaman mengemuka dalam sebuah diskusi di Kantor Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Jakarta, kemarin. Para pembicara menilai hak-hak penghayat kepercayaan dan masyarakat adat masih diabaikan. Peneliti CRCS Universitas Gadjah Mada (UGM) Samsul Ma’arif mengungkapkan saat ini terdapat hampir 200 organisasi dan kelompok penghayat yang diakui negara. Namun, mereka tidak mendapat pemenuhan hak yang setara dengan penganut agama lainnya.
“Di beberapa tempat, pasangan penghayat itu masih ada yang tidak diakui pernikahannya oleh negara,” ujar Samsul. (Deo/P-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Dedy P
Berita Lainnya