MAHKAMAH Konstitusi (MK) terus didesak oleh sejumlah pihak dari pemerhati pemilu agar MK tidak mengacu pada Pasal 158 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Wali Kota (UU Pilkada) terkait syarat maksimal selisih 2% suara dalam mengajukan gugatan pilkada.
Ketua MK Arief Hidayat mengatakan pihaknya tetap berjalan sesuai dengan peraturan yang berlaku saat ini, yang tertuang dalam Pasal 158 UU Pilkada dan Peraturan MK Nomor 1 Tahun 2015.
Namun, Arief menegaskan pihaknya tidak hanya akan berpatokan pada selisih suara yang di ketentuan maksimal 2% masuk ke MK, sebab hal tersebut akan diperiksa terlebih dahulu di MK.
Bahkan, dalam prosesnya, Arief mengatakan majelis hakim konstitusi bisa memeriksa permohonan terlebih dahulu dalam persidangan. Bahkan, jika buktinya meyakinkan, meski selisihnya jauh, hakim bisa menelaah.
"Nanti kita lihat buktinya ada atau tidak. Kalau selisih suaranya jauh, tidak ada bukti, ya mana bisa dilanjutkan. Nah, kalau selisih suaranya jauh, bukti ada, lihat dulu buktinya, meyakinkan atau tidak. Yang jelas, MK punya kewenang-an," ujar Arief, kemarin.
Terkait dengan desakan kepada MK agar mencabut atau menyampingkan Pasal 158 UU Pilkasa, Arief mengatakan hal itu tidak bisa MK lakukan tanpa ada permohonan uji materi.
"Yang bikin UU kan lembaga legislatif, kita cuma menjalankan. Kalau keberatan, ya harusnya dari dulu ajukan judicial review, jangan sekarang sudah berjalan lalu protes. Kalau mau, silakan ajukan judicial review, tapi kan berlakunya untuk pemilu berikutnya karena ini tidak berlaku surut," ujar Arief.
Dalam sebuah diskusi yang membahas ketentuan pasal 158, Ketua Perhimpunan Magister Hukum Indonesia Fadli Nasution mengatakan pihaknya pernah mengajukan uji materi terhadap ketentuan itu. Namun, kata Fadli, MK tidak tegas dan serius kenapa permohonannya ditolak.
"Alasan waktu itu karena aturan ini open legal policy, jadi bergantung pada pembuat undang-undang," ujar Fadli dalam diskusi itu.
Antisipasi perkara Praktisi hukum sekaligus advokat yang sering beracara di MK, Andi Syafrani, mengatakan Pasal 158 UU Pilkada pada awalnya untuk mengantisipasi lonjakan gugatan sengketa pilkada pada saat UU Pilkada masih dalam bentuk peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu).
"Dalam perppu itu yang ta-ngani sengketa ialah Mahkamah Agung. Tapi setelah menjadi UU maka kewenangannya dikembalikan lagi ke MK. Tapi si pembuat UU tidak mencabut pasal tersebut," ujar Andi.
Sama seperti desakan lembaga swadaya masyarakat lainnya, Forum Pengacara Konstitusi yang diwakili oleh Heru Widodo dalam kesempatan diskusi tersebut mengatakan bahwa MK jangan hanya sebagai penghitung selisih suara, tapi juga harus bisa masuk ke substansi permasalahan, misalnya ada dugaan kecurangan yang terstruktur, sistematis, dan masif (TSM).
Sebab, menurut Heru, berdasarkan pengalaman yang sudah ada, MK mampu membuktikan adanya kecurang-an yang bersifat TSM dalam pilkada.
"Tahun 2008 dan 2010 MK pernah membuktikan dan mengabulkan permohonan bahwa adanya kecurangan TSM. Sebanyak 43 gugatan MK kabulkan. Di antaranya pilkada Jawa Timur sehingga harus ada pemungutan suara ulang," jelas Heru. (P-4)