KOMISI Pemberantasan Korupsi (KPK) mau tidak mau, suka tidak suka, harus diakui masih menjadi benteng terakhir dalam membasmi korupsi. Apalagi, kinerja Polri dan Kejaksaan Agung belum kunjung mendapat kepercayaan 100% dari publik. Sayangnya, benteng yang telah menginjak usia 12 tahun tersebut tak henti-hentinya mendapat gempuran sepanjang 2015 ini.
Walhasil, pemberantasan korupsi yang diamanatkan reformasi kepada KPK menjadi terganggu dan para koruptor bertepuk tangan kegirangan. Lembaga antirasywah yang didukung 'rakyat enggak jelas' mengutip ucapan mantan Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan (Menko Polhukam) Tedjo Edhy Purdijatno lebih banyak menghabiskan energi melawan upaya pelemahan alih-alih menuntaskan tumpukan kasus korupsi kakap.
Masyarakat mungkin masih mengingat imbas penetapan calon tunggal Kapolri Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka oleh KPK pada 13 Januari lalu. Gonjang-ganjing sontak menyeruak di saat tahun 2015 masih berusia muda. Bak gayung bersambut, dua pemimpin KPK, Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, dijadikan tersangka oleh kepolisian.
Kasus yang menjerat keduanya di mata publik terkesan mengada-ada dan berbau amis. Presiden Joko Widodo, orang yang menetapkan Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri, akhirnya ke luar dari belakang layar. Ia menelurkan langkah-langkah penyelamatan untuk menuntaskan drama bertajuk cecak versus buaya jilid II. Selesai satu masalah, badai selanjutnya tiba. KPK digoyang upaya pengebirian lewat revisi UU No 30/2002.
Pemerintah dan DPR secara bergantian mengusulkan pembentukan lembaga pengawas yang dicurigai ingin membatasi kewenangan penindakan KPK. Lagi-lagi publik disuguhi tontonan tidak lucu dengan alur yang menjungkirbalikkan nalar. Pernah suatu kali, Menkum dan HAM Yasonna Laoly mengaku pemerintah terdesak oleh DPR. Namun, DPR berkilah usulan revisi tersebut merupakan inisiatif murni dari pemerintah.
Tahun 2015 sebentar lagi berganti. Bangsa ini akan memasuki tahun baru dalam hitungan jam. Masyarakat tentunya tidak perlu lagi disuguhi tontonan garing yang malah mengganggu upaya menumpas korupsi. Kuncinya tentu di pemerintah dan DPR. Eksekutif dan legislatif harus mendukung KPK tidak hanya dari belakang, tetapi juga dari semua lini.
Jika tidak, mereka akan berhadapan dengan opini publik yang selalu siaga mengatakan 'KPK, you'll never walk alone!'. Di sisi lain, KPK yang dimotori Agus Rahardjo juga tidak boleh berpangku tangan. Agus dan para sekondannya jangan malah asyik masyuk dengan program pencegahan yang memakan 80% anggaran KPK. Bila itu terjadi, KPK dikhawatirkan malah 'You'll never walk again!'