Relawan Berbalik Ancam Demokrasi

Erandhi Hutomo Saputra
08/4/2017 11:00
Relawan Berbalik Ancam Demokrasi
(MI/Ramdani)

KEBERADAAN relawan yang mulai diperhitungkan sejak Pilgub DKI Jakarta 2012 dan Pilpres 2014 dinilai perlu ditinjau ulang.

Pasalnya, relawan yang seharusnya berfungsi memperkuat demokrasi yang bermuara pada peningkatan partisipasi pemilih kini justru menjadi ancaman demokrasi.

Bila dirujuk dari Pilkada DKI Jakarta 2017, relawan dimasuki kepentingan politik identitas beralaskan SARA.

Mereka ikut mempromosikan isu primordial yang sebenarnya merupakan isu para elite.

Demikian poin yang dikemukakan peneliti LIPI Amin Mudzakir dalam diskusi bertajuk Relawan dalam Pusaran Konflik Pilkada DKI Jakarta 2017, di Jakarta, Jumat (7/4).

Menurut Amin, relawan saat ini condong menggunakan isu primordial ketimbang kinerja dalam pilkada DKI.

Hal itu menjatuhkan petahana yang memiliki kinerja memuaskan.

"Polling menunjukkan lebih dari separuh puas dengan Ahok (Basuki Tjahaja Purnama) tetapi tidak akan memilihnya, justru isu-isu yang ditawarkan parpol dan relawan Badja kurang ditanggapi dibanding isu identitas seperti penistaan agama," papar Amin.

Peneliti Populi Center Dimas Ramadhan menilai makna relawan semakin kabur.

Bila dulu relawan mengajak pemilih untuk memilih calon yang ia dukung, saat ini relawan mengajak agar warga tidak memilih calon tertentu.

Ironisnya, relawan tersebut menggunakan alasan SARA dalam memengaruhi masyarakat.

Semua harus bicara

Diyakini isu SARA tidak akan berhenti di pilgub DKI Jakarta saja.

Pasalnya, penggunaan isu tersebut dinilai efektif mendongkrak elektabilitas salah satu calon.

Sebagai komoditas politik, isu SARA juga bakal rawan digunakan pada Pilkada 2018 dan Pemilu Serentak 2019 mendatang.

"Perlu ada langkah konkret. Semua harus bicara, mulai presiden, elite politik, dan lainnya. Tidak boleh ada lagi pakai agama dalam politik," ujar Guru Besar Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta Siti Musdah Mulia dalam diskusi di Kantor Para Syndicate, Jakarta Selatan, kemarin.

Dijelaskan Musdah, isu SARA semakin marak karena terjadi pembiaran terhadap eksistensi kelompok-kelompok intoleran sejak era pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono. Kelompok-kelompok inilah yang digunakan elite-elite politik demi mengejar kekuasaan.

Peneliti senior Lembaga Pengetahuan Indonesia (LIPI) Mochtar Pabottingi memandang kisruh pilgub DKI Jakarta merupakan kemunduran bagi demokrasi di Indonesia. Sepanjang sejarah, menurut dia, belum pernah isu SARA digunakan sedemikian kencang demi memenangi pemilu elektoral.

Padahal, kemenangan yang diraih dengan mengandalkan isu SARA akan memalukan.

"Kemenangan itu baru bisa bagus kalau menang karena integritas dan kompetensi," tegas Mochtar.

Pengamat politik dari Universitas Airlangga, Airlangga Pribadi Kusman, menambahkan penggunaan agama sebagai komoditas bahkan akan menghambat perkembangan politik Islam.

"Yang kita harapkan dan perjuangkan sejak era Nurcholis Majid, Gus Dur, dan era sebelumnya ialah wajah Islam yang menaungi perbedaan dan ikut mengembangkan demokrasi kebinekaan dan antidiskriminasi," tutur Airlangga. (Deo/P-1)



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Editor : Msyaifullah
Berita Lainnya