KATA bijak Patrick Spencer Johnson (1938-2017) sering dikutip terkait dengan integritas dan kejujuran. Dokter sekaligus penulis Amerika Serikat itu mengatakan, "Integritas adalah menceritakan kebenaran pada diri sendiri; kejujuran menceritakan kebenaran kepada orang lain."
Integritas dan kejujuran kian langka ditemukan di ruang publik. Disebut langka karena orang doyan melepas tanggung jawab. Tidak berani mempertanggungjawabkan atas apa yang sudah dilakukan dengan melemparkan tanggung jawab kepada orang lain.
Orang yang menanggung kesalahan yang tidak diperbuatnya disebut kambing hitam. Menurut kamus, kambing hitam ialah orang yang dalam suatu peristiwa sebenarnya tidak bersalah, tetapi dipersalahkan atau dijadikan tumpuan kesalahan.
Siapa dan apa kambing hitam itu berkorelasi dengan sistem pemerintahan. Dalam pemerintahan otoriter, orang dijadikan kambing hitam karena ia bisa dibungkamkan. Orang yang dikambinghitamkan takut buka suara karena mendapat ancaman.
Mencari orang sebagai kambing hitam di masa pemerintahan demokratis susah-susah gampang. Susah karena pada era demokrasi, bicara itu sebagai hak asasi. Orang yang disalahkan itu bisa membela diri di media sosial.
Sepandai-pandainya membungkus kesalahan, kebenaran akan menampakkan dirinya. Kata Ismail Haniyeh, mantan PM Palestina, "Banyak orang menganggap kebenaran bisa ditutupi. Namun, seiring waktu, kebenaran akan muncul dengan sendirinya."
Salah ketik menjadi kambing hitam paling ampuh. Komputer yang disalahkan, padahal kesalahan itu ada pada penulisnya atau pihak yang bertanggung jawab atas konten yang ditulis.
Salah ketik alias saltik biasanya terkait dengan kesalahan tipografi, salah menulis huruf. Kesalahan ini tentu saja bukan kesengajaan. Bagaimana kalau kesalahan itu satu kalimat atau salah substansi, apakah masih bisa disebut sebagai saltik?
Salah ketik disebut Sekda DKI Jakarta Saefullah saat mengklarifikasi polemik soal dugaan pemalsuan rekomendasi Tim Ahli Cagar Budaya (TACB) dalam surat balasan Gubernur Anies Baswedan kepada Mensesneg Pratikno.
Saefullah membantah ada pemalsuan rekomendasi TACB untuk penyelenggaraan Formula E di Monas. "Jadi ada kesalahan ketik itu kemarin tertulis TACB (Tim Ahli Cagar Budaya) ya, seharusnya TSP (Tim Sidang Pemugaran)," kata Saefullah di Balai Kota DKI Jakarta, Jumat (14/2).
Pemprov DKI sudah mengoreksi apa yang disebut sebagai salah ketik itu. Mengoreksi dengan menyebut yang memberi rekomendasi ialah Tim Sidang Pemugaran (TSP) DKI dan bukan TACB DKI.
Kesalahan terkait dengan kontroversi Pasal 170 RUU Cipta Kerja juga divoniskan kepada salah ketik. Dalam draf Omnibus Law Cipta Kerja itu disebutkan bahwa pemerintah bisa mengubah undang-undang melalui peraturan pemerintah (PP).
"Dalam rangka percepatan pelaksanaan kebijakan strategis cipta kerja sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1), berdasarkan undang-undang ini pemerintah pusat berwenang mengubah ketentuan dalam undang-undang ini dan/atau mengubah ketentuan dalam undang-undang yang tidak diubah dalam undang-undang ini," demikian bunyi Pasal 170 ayat (1). "Perubahan ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah," demikian bunyi Pasal 170 ayat (2).
Undang-undang hanya bisa diubah dengan undang-undang atau peraturan pemerintah pengganti undang-undang. Undang-undang tidak bisa digantikan oleh peraturan pemerintah. Karena itulah, Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan Mahfud MD penyebut Pasal 170 itu sebagai salah ketik. "Ya salah ketik sebenarnya," ujar Mahfud di Kompleks Istana Kepresidenan, Selasa (18/2).
Apakah salah ketik dalam RUU Cipta Kerja itu akan diikuti dengan perbaikan? Draf RUU Cipta Kerja sudah disampaikan kepada DPR untuk kemudian dibahas bersama pemerintah. Kesalahan ketik ataupun kesalahan substansial dalam sebuah draf RUU terbuka untuk dikoreksi. Selama ini, hampir tidak ada rancangan undang-undang yang berasal dari pemerintah tanpa perombakan oleh DPR.
Jujur diakui, seperti yang diungkapkan Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), upaya untuk memformulasikan omnibus law dalam sistem perundang-undangan seharusnya berangkat dari permasalahan hiperregulasi yang terjadi di Indonesia. Terlalu banyak regulasi yang tumpang-tindih satu sama lain.
RUU Cipta Kerja harus dibahas dengan cermat. Jangan sampai dijumpai salah ketik, apalagi salah substansi setelah diundangkan. Saltik itu manusiawi, tetapi mengakui kesalahan jauh lebih mulia.