Headline

Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.

Fokus

Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan

Memberantas Anggaran Siluman

Tasroh, Ahli Pengadaan Barang-Jasa Pemkab Banyumas, Alumnus Ritsumeikan Asia Pacific University, Jepang
28/2/2015 00:00
Memberantas Anggaran Siluman
(ANTARA/Ahmad Subaidi)
PERSETERUAN antara Gubernur DKI Jakarta Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) dan DPRD DKI Jakarta sebenarnya merefleksikan hubungan governance yang buruk. Kisruh itu konon berawal dari prosedur pembahasan APBD DKI Jakarta 2015 yang semestinya dibahas tuntas bersama antara eksekutif-legislatif daerah, justru akhirnya hanya dibahas secara terbatas di level eksekutif.

Di sisi lain, menurut Gubernur Ahok, sebenarnya pembahasan APBD 2015 sudah bolak-balik dibahas dengan anggota DPRD hingga berbulan-bulan. Namun, lagi-lagi, kata 'sepakat' masih menjadi barang langka lantaran ketika diselisik lebih jauh, ternyata banyak 'anggaran siluman' yang sengaja dititipkan ke berbagai Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD) oleh para wakil rakyat DKI. Tak tanggung-tanggung 'anggaran siluman' tersebut mencapai Rp12,1 triliun (Media Indonesia, 26/2).

Entah siapa yang benar dalam hal ini, yang jelas modus 'anggaran siluman' itu sebenarnya juga banyak terjadi di banyak daerah bahkan terjadi pula di level pemerintah pusat. Eksekutif yang notabene memiliki kuasa pengguna anggaran publik melalui APBN/D harus bekerja bersama dengan wakil rakyat dalam pembahasan desain APBN/D dengan cara-cara yang benar, jujur, dan akuntabel, yakni dilarang keras melakukan kolusi untuk dan atas nama pembahasan bersama, seperti banyak terjadi selama ini.

Harus diakui regulasi terkait desain dan penggunaan anggaran hingga evaluasi anggaran publik berdasarkan regulasi yang kini diakui sebagai rujukan dan payung hukum yang berlaku nasional, seperti UU No 17/2003 tentang Keuangan Negara, yakni tiap daerah/penyelenggara tata kelola keuangan publik semestinya diubah tidak menjadikan peran wakil rakyat sebagai pengawasan dan pengendalian anggaran publik yang bersifat final dan tunggal. Hal ini semata-mata dilakukan untuk menyelamatkan masa depan anggaran publik agar benar-benar dibahas, didesain, dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya 'kepentingan, kebutuhan dan harapan' publik, bukan sekadar atas nama 'publik' belaka.

Memang tujuan suci diselenggarakannya sistem 'pembahasan bersama' antara eksekutif dan legislatif dalam desain anggaran publik sejatinya untuk mencegah sedini mungkin aneka perilaku busuk dalam proses pembahan alokasi dan penggunaan anggaran publik. Namun, perkembangan belakangan ini, keterlibatan segenap wakil rakyat dalam pembahasan dan pemberian persetujuan anggaran publik tidaklah tanpa biaya dan anggaran 'khusus'.

Data LSM Fitra (2013) menunjukkan bahwa 80% eksekutif harus tunduk pada kehendak 'politik anggaran' legislatif lantaran tanpa perilaku 'tunduk bin patuh', bukan tidak mungkin semua agenda eksekutif akan dibatalkan sepihak jika kehendak para wakil rakyat di parlemen itu tidak dipenuhi. Sudah menjadi rahasia umum selama ini bahwa kewenangan legislatif yang cenderung liar dalam desain anggaran publik, secara langsung telah menyandera kewenangan eksekutif sehingga banyak eksekutif (pusat-daerah) yang lebih 'nyaman dan aman' untuk kolusi dengan legislatif. Akibatnya, 'aroma' anggaran publik pun kian jauh dari spirit memperjuangkan aspirasi dan kehendak rakyat seutuhnya, lantaran jika diselisik lebih jauh, banyak alokasi dan penggunaan anggaran publik yang justru masuk 'kantong gendurwi' (meminjam istilah budayawan Indra Trenggono) yang antara lain sebagai bentuk 'suap terkontrol' untuk melicinkan persetujuan anggaran publik. Jadi, 'kedamaian' dan 'keamanan' dalam desain/pembahasan APBN/D sering bukanlah mencerminkan kejujuran dan profesionalisme dalam pembahasan anggaran publik, tetapi lebih karena 'suap terkontrol' yang dapat disepakati para pihak. Pada titik inilah anggaran siluman harus diwaspadai!

Dengan demikian, mudah ditebak bahwa kisruh antara Gubernur Ahok dan DPRD DKI Jakarta hakikatnya bukanlah seperti yang dibahas para wakil rakyat DKI, tetapi karena upaya Gubernur Ahok hendak menerapkan prinsip-prinsip good governance dalam desain APBD DKI, termasuk berupaya serius membenahi 'politik (busuk) anggaran' yang selama ini banyak menjadi media 'kolusi' oleh berbagai pihak yang mengatasnamakan kehendak rakyat.

Diberantas tuntas
Perilaku busuk dengan mengatasnamakan 'rakyat' model demikian harus diberantas tuntas kini dan ke depan. Apa yang dilakukan Gubernur Ahok semestinya didukung penuh oleh warga DKI Jakarta sekaligus menjadi inspirasi perjuangan eksekutif di daerah lain, bahkan di level pusat, untuk bersama-sama memberantas tuntas model-model perilaku 'pengerat anggaran' yang sudah dianggap wajar di banyak tempat. Karena bukan tidak mungkin modus-modus pengerat anggaran melalui anggaran siluman terbukti menjadi penghambat utama realisasi pembangunan dan layanan publik. Faktanya dari hasil evaluasi BPK (2013), misalnya, ada 35% anggaran publik yang justru tidak produktif, tetapi setiap tahun selalu meningkat secara signifikan.

Pakar keuangan negara dari Jepang, Hiro Mayashi dalam Public Budgetting Foes (2006), anggaran negara/publik menjadi sumber hidup banyak pihak, termasuk eksekutif-legislatif bahkan yudikatif. Atas dasar hal tersebut dalam penentuan besaran alokasi dan penggunaan anggaran, siapa yang paling 'berkuasa' maka merekalah yang akan mendominasi ke mana, untuk apa, dan kepada siapa anggaran dialirkan. Dalam konteks ini 'banyak pesan politik' anggaran yang dengan mudah dibelokkan dengan berbagai dalih serta 'dititipkan' dengan berbagai alasan.

Untuk alasan tersebut, proses pembahasan alokasi dan penggunaan anggaran publik di negara-negara maju seperti Jepang, selalu melibatkan 'publik' terseleksi, yakni diuji secara independen oleh para ahli yang otonom dalam memberikan penilaian anggaran. Para pakar di berbagai bidang dan penegak hukum negara dihadirkan sepenuhnya sejak desain dan evaluasi anggaran publik yang berfungsi sebagai evaluator sekaligus pengendali utama desain anggaran publik.

Keterlibatan 'publik' dan kalangan profesional spesialis desain anggaran publik dapat menjadi pencegahan utama misalokasi dan mispenggunaan anggaran lebih dini, sekaligus mencegah terjadinya 'transaksi bisnis politik anggaran' yang selama ini terus terjadi. Para pakar dan ahli anggaran dihadirkan untuk mengkaji rasionalitas dan kalkulasi akuntansi keuangan negara yang lebih akademik dan jujur-objektif. Sementara kehadiran aparat penegak hukum negara dimaksudkan sebagai upaya memberikan bekal pengetahuan hukum dan sanksi-sanksi hukum yang bakal dialami para pihak jika di kemudian hari melakukan tindakan-tindakan 'pelanggaran hukum' dalam alokasi dan penggunaan anggaran publik.

Mencermati kondisi kekinian tak hanya sedang terjadi di DKI Jakarta, tetapi juga sedang dialami banyak eksekutif di daerah lain, untuk mencari jalan tengah kisruh anggaran, di samping regulasi keuangan negara harus direvisi terkait sejauh mana keterlibatan legislatif dalam pembahasan anggaran bersama eksekutif, pemerintah pusat melalui kementerian terkait harus mampu menghadirkan 'penengah' yang profesional dan independen (termasuk kehadiran aparat penegak hukum), untuk menguji sekaligus menjadi 'mediator' dalam menyelesaikan kisruh anggaran publik. Dengan cara demikian, publik menjadi paham sebenarnya siapa yang jujur menyampaikan pendapat terkait pembahasan anggaran tersebut, sekaligus menjadi pelajaran berharga bagi daerah/lembaga lain dalam persoalan pembahasan anggaran. Di saat bersamaan, komunikasi politik yang bersih dan jujur harus terus dibangun para pihak, bukan dalam rangka sekadar 'sepakat' dan 'damai' semu yang dikehendaki, tetapi komunikasi anggaran yang tulus, anti KKN.

Oleh karena itu, sebelum kisruh anggaran di DKI Jakarta menjadi destruktif yang hanya akan merugikan kepentingan rakyat sekaligus menginspirasi daerah lain melakukan hal serupa, hemat penulis, publik harus turut mengawal/mengawasi secara tuntas, dan bukan justru digiring ke dalam blok-blokan politik yang hanya akan merusak hubungan kerja eksekutif-legislatif. Karena bagaimanapun, buruknya hubungan kerja eksekutif-legislatif akan berdampak buruk pada kinerja pemerintahan itu, dan akibatnya banyak agenda pembangunan dan layanan publik yang terbengkelai karena masing-masing sibuk dengan agenda sendiri-sendiri.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya