Headline
Senjata ketiga pemerataan kesejahteraan diluncurkan.
Tarif impor 19% membuat harga barang Indonesia jadi lebih mahal di AS.
KEBERAGAMAN yang menjadi warisan tradisi masyarakat Indonesia seharusnya dipandang sebagai anugerah Tuhan yang harus disyukuri. Hal itu ditegaskan Presiden Joko Widodo pada 12 November lalu ketika menghadiri Silaturahim Nasional Ulama Rakyat 'Doa untuk Keselamatan Bangsa' di Ancol, Jakarta. Tanpa pengakuan akan kebinekaan dalam semangat kesetaraan dan penghargaan, bangsa Indonesia akan hancur berkeping-keping. Untuk mengatasi bahaya perpecahan, pemahaman yang benar tentang kemajemukan dan penghargaan atasnya perlu terus dikomunikasikan kepada masyarakat luas, terutama kepada generasi muda.
Tiga model keberagaman
Seorang pemikir politik abad ke-20, Isaiah Berlin (1909-1997), mengemukakan tiga model konsep keberagaman atau pluralisme. Pertama, konsep keberagaman digunakan dalam perspektif netral untuk menggambarkan kondisi masyarakat yang bineka dan terdiferensiasi. Di sini keberagaman ialah buah dari kebebasan berpikir dan berpendapat yang dijunjung tinggi dalam masyarakat demokratis. Setiap warga bebas memilih dan menentukan pandangan hidup, pekerjaan, atau pandangan politik sesuai dengan seleranya.
Dalam konteks ini kemajemukan sebagai deskripsi keberagaman sosial yang faktis merupakan esensi sebuah masyarakat demokratis. Kedua, keberagaman atau pluralisme dipandang sebagai sebuah nilai positif. Pluralisme tidak diartikan secara deskriptif sebagai gambaran masyarakat heterogen, tetapi secara normatif diinterpretasi sebagai basis nilai sebuah kehidupan bersama. Justru karena setiap orang boleh bebas berpikir, bertindak, dan percaya, bisa muncul apa yang dinamakan sebuah masyarakat liberal di saat manusia dapat hidup berdampingan secara damai.
Artinya, pluralisme memastikan ikatan sosial dan ditafsir sebagai garansi kohesi sosial. Ketiga, keberagaman mendapat konotasi negatif. Keberagaman atau pluralisme dipandang sebagai bahaya untuk kesatuan sosial. Alasannya, Keanekaragaman pada pelbagai bidang (ideologi, politik, budaya, dll) menghancurkan kohesi sosial. Pluralisme ditafsir sebagai gejala lemahnya norma sosial atau ungkapan hilangnya norma kolektif. Pluralisme merupakan simtom raibnya solidaritas sosial masyarakat kompleks.
Egoisme, alienasi budaya, dan krisis solidaritas sering dikeluhkan. Akar dari kritik dan penolakan terhadap pluralisme di sini ialah ketidakadilan sosial dan jurang yang semakin melebar di antara kelas-kelas sosial. Karena itu, penghargaan terhadap pluralisme sebagai jaminan atas kebebasan asasi manusia mengandaikan terwujudnya prinsip keadilan sosial.
Individualisme vs komunalisme
Dalam masyarakat plural seperti Indonesia, proses individualisasi dan tuntutan komunitas selalu berada dalam tegangan. Di satu sisi, pengakuan akan hak sipil politik sebagai buah dari reformasi telah melahirkan tuntutan otonomi dan penentuan diri yang semakin kuat dan meluas. Warga ingin membuat keputusan tentang hidupnya kendati keputusan itu berseberangan dengan tuntutan common sense dan komunitas. Di sisi lain, manusia selalu merupakan bagian dari sebuah komunitas bahasa, kultural, sejarah, politis, dan normatif.
Jika dalam perspektif ini sebuah masyarakat tidak lagi menunjukkan kesatuan komuniter, masyarakat tersebut berada dalam bahaya kehancuran atau sebuah kehidupan bersama yang damai terancam. Dalam konteks ketegangan ini, perlu dibangun relasi yang sehat antara pengakuan akan pluralisme dan proses formasi komunitas. Indonesia sebagai bagian dari masyarakat modern yang ikut berpartisipasi dalam tatanan masyarakat global harus dibangun atas dasar nilai kebebasan dan kesetaraan yang bersifat universal.
Namun, perlu disadari juga bahwa kedua nilai dasar itu sering tidak berjalan harmonis dan bahkan dalam masyarakat plural sering berseberangan satu sama lain. Jika terdapat tendensi harmonisasi nilai-nilai tersebut secara absolut, masyarakat tersebut sudah berada di ambang bahaya totaliterisme (Bdk Isaiah Berlin, 1988, hlm 16). Karena itu, setiap masyarakat majemuk niscaya sangat bergantung pada diskursus-diskursus publik tentang penerapan nilai-nilai tersebut dalam persoalan-persoalan sosio-politik yang konkret.
Perdebatan publik tentang aplikasi nilai-nilai kolektif tersebut dalam situasi konkret dapat menciptakan kohesi sosial. Ruang kosong yang tak diisi komunikasi dan konsolidasi politik akan berubah menjadi lokus aksi-aksi kekerasan dan intoleran. Tanpa pengakuan akan kebinekaan atau prinsip pluralisme, sebuah masyarakat akan terjebak dalam bahaya imperalisme budaya dan relativisme kultural. Imperalisme budaya berusaha meminggirkan, menindas, atau bahkan memusnahkan budaya lain.
Sementara itu, relativisme budaya memandang semua budaya termasuk budaya kekerasan dan intoleran sama saja. Agar kelompok-kelompok sosial hidup berdampingan dengan damai dan tidak saling menghancurkan atau bersikap indiferen, setiap kelompok etnik atau agama minimal membiarkan yang lain hidup. Sikap 'membiarkan' tentu harus dikembangkan menjadi sikap aktif mendorong yang lain untuk hidup dalam identitasnya agar kualitas hidup bersama dalam masyarakat mejemuk menjadi lebih baik.
Dua alasan
Mengapa harus menghargai kemajemukan atau prinsip kebinekaan? Pengakuan akan kebinekaan sekurang-kurangnya memiliki dua alasan, yakni alasan pragmatis dan epistemologis. Secara pragmatis, bakat dan pengembangan diri manusia hanya mungkin terwujud dalam suasana kebebasan dan pengakuan akan ruang-ruang berekspresi. Kebebasan itu menciptakan kemajemukan. Tanpa kebebasan berpikir, tak mungkin terjadi perkembangan dalam bidang ilmu pengetahuan, tekonologi, dan peradaban manusia. Karena itu, mimpi akan masa depan Indonesia yang makmur dan sejahtera tak mungkin tanpa iklim kebebasan dan pengakuan akan kebinekaan.
Penghargaan terhadap kemajemukan juga memiliki titik pijak logis atau epistemologis. Filsuf Jerman abad modern, Immanuel Kant, berpandangan lawan dari pluralisme bukan sebuah masyarakat homogen, melainkan subjek egois yang hanya puas dengan dirinya sendiri dan tidak komunikatif. Seorang egois biasanya menjadikan pandangannya sebagai kriteria kebenaran satu-satunya dan dipaksakan kepada orang atau kelompok lain. Subjek egois dapat disematkan pada kelompok radikal yang menegasikan komunikasi dan eksistensi yang lain.
Seorang pluralis membangun komunikasi dengan yang lain guna mencari kebenaran yang dirumuskan sebagai sebuah konsensus rasional. Kritik Kant atas egoisme merupakan landasan etis bagi pengakuan akan pluralisme agama, sosial, dan kultural. Pendasaran ini merujuk kepada prinsip dasar keadilan, yakni hak yang sama dari semua atas kebebasan untuk menjalankan hidup secara otonom.
Namun, hak itu tidak membenarkan adanya pluralisme absolut. Juga masyarakat plural membutuhkan kesatuan politis yang dirajut dalam komunitas bahasa, sejarah, dan hukum yang sama. Rajutan kolektif ini dirumuskan dalam hukum yang adil yang memberi jaminan agar lawan tidak menjadi musuh, persaingan tidak berubah menjadi perang saudara.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved