Headline

Saat ini sudah memasuki fase persiapan kontrak awal penyelenggaraan haji 2026.

Pelajaran Arcandra Tahar

Susi Dwi Harijanti Dosen Hukum Kewarganegaran dan Keimigrasian FH Unpad
16/9/2016 00:30
Pelajaran Arcandra Tahar
(ANTARA FOTO/Yudhi Mahatma)

KEWARGANEGARAAN sejatinya ialah ikatan kesetiaan. Kewarganegaraan seharusnya tidak semata-mata diartikan sebagai 'keterikatan' atau connectedness yang lebih menampakkan pragmatisme. Jika lebih mengedepankan pendekatan pragmatisme, tidak aneh apabila kewarganegaraan dijadikan sebagai 'komoditas ekonomi' ataupun 'komoditas politik' seperti yang sudah terjadi di banyak negara. Bagi negara Indonesia yang memperoleh kemerdekaan melawan penjajahan, rezim kewarganegaraan dibangun sebagai bagian proses dekolonisasi dan nation building. Tidak mengherankan bila isu nasionalisme dan kesetiaan lebih kental. Kasus Arcandra Tahar memberikan pelajaran penting. Pergantian Arcandra yang baru menjabat menteri selama 20 hari mengejutkan masyarakat. Alasannya, yang bersangkutan WNA karena memegang paspor Amerika Serikat. Selang beberapa hari, ada pembelaan kuat dari pemerintah yang menyatakan Arcandra masih WNI. Bahkan, datang dukungan dari berbagai kalangan yang mendesak Presiden dapat mengajukan percepatan memperoleh kewarganegaraan Indonesia melalui DPR ataupun mengeluarkan diskresi. Keputusan akhir, menteri hukum dan HAM telah mengeluarkan SK yang menyatakan Arcandra adalah WNI.

Politik hukum kewarganegaraan
Kebijakan kewarganegaraan Indonesia dapat dilihat dari sejumlah asas yang ada dalam UU No 12/2006 tentang Kewarganegaraan RI. Ada beberapa asas utama, yaitu kewarganegaraan tunggal, kewarganegaraan ganda terbatas, dan anti-apatride (tanpa kewarganegaraan). Ius sanguinis menjadi asas utama penetapan kewarganegaraan. Namun, ius soli juga digunakan untuk menghindarkan terjadinya keadaan tanpa kewarganegaraan. Politik hukum baru berupa kewarganegaraan ganda terbatas terutama ditujukan untuk melindungi anak-anak yang lahir dari pernikahan campuran. Asas itu merupakan asas perkecualian. Hal itu sekaligus menampakkan kesejajaran antara dasar yuridis dan sosiologis mengenai pentingnya perlindungan anak dan perempuan di bidang kewarganegaraan. Asas-asas penting lainnya meliputi asas kepentingan nasional, asas perlindungan maksimal, asas keterbukaan, serta asas persamaan di dalam hukum dan pemerintahan. Asas kebenaran substantif dalam prosedur pewarganegaraan, asas nondiskriminatif, asas penghormatan terhadap hak asasi manusia dan warga negara, serta asas publisitas dalam hal memperoleh dan kehilangan kewarganegaraan Indonesia. Sesungguhnya jika dibaca lebih teliti, penjelasan secara eksplisit membedakan asas-asas yang berlaku untuk WNI dan yang berhubungan dengan warga negara pada umumnya. Asas perlindungan maksimal dan asas persamaan di dalam hukum dan pemerintahan ialah asas-asas yang diperuntukkan khusus bagi WNI.

Persoalan kehilangan kewarganegaraan

Arcandra pemegang paspor Indonesia yang dikeluarkan di Houston, 28 Februari 2012, dan berlaku hingga 28 Februari 2017. Pada April 2012, ia memiliki paspor AS yang berlaku hingga April 2022. Saat naturalisasinya disetujui, Arcandra diduga tidak mengajukan permohonan melepaskan kewarganegaraan Indonesia.Ketika mengangkat sumpah jabatan sebagai menteri ESDM pada 12 Agustus 2016, Arcandra kehilangan kewarganegaraan AS berdasarkan ketentuan UU Kewarganegaraan dan Keimigrasian AS (Pasal 349 huruf a 4). Atas dasar itu, dikeluarkan Certificate of Loss of Nationality of the United States pada 15 Agustus 2016. Pernyataan serupa dikeluarkan Kedutaan Besar AS pada 31 Agustus 2016. Itulah yang menyebabkan Arcandra menjadi stateless atau tanpa kewarganegaraan.
UU No 12/2006 mengatur beberapa cara kehilangan kewarganegaraan Indonesia melalui Pasal 23 huruf a sampai dengan i. Arcandra ditengarai kehilangan kewarganegaraan karena Pasal 23 a, yaitu menerima kewarganegaraan negara lain atas kemauannya sendiri. Atau dengan kata lain, mengajukan naturalisasi. Setelah permohonannya disetujui, ia mengangkat sumpah setia dan mendapatkan paspor. Kedua alasan terakhir ini menyebabkannya kehilangan kewarganegaraan Indonesia. Menariknya, Pasal 23 huruf i menyatakan kehilangan karena bertempat tinggal berturut-turut selama 5 tahun dan tidak pernah melapor tidak serta-merta berlaku jika kehilangan kewarganegaraan tersebut menjadikannya stateless. Artinya, asas anti-stateless dapat dilihat dari ketentuan tersebut.

Kelemahan
Pemerintah telah menetapkan Arcandra sebagai WNI atas dasar asas perlindungan maksimal dan asas anti-apatride atau anti-stateless. Apakah dasar itu dapat dibenarkan? Di atas telah disebutkan, asas perlindungan maksimal hanya berlaku bagi WNI, sedangkan Arcandra bukan WNI. Bagaimana dengan alasan yang kedua, yaitu anti-apatride? Argumentasi kedua ini menimbulkan kerumitan tersendiri. Menurut saya, asas anti-apatride tidak dapat digunakan untuk semua kasus, tetapi untuk kasus-kasus yang berkenaan dengan kehilangan kewarganegaraan karena hal-hal yang tidak bersifat ketatanegaraan sebagaimana diatur dalam Pasal 23 huruf i. Atau dapat juga digunakan untuk kasus-kasus yang berkaitan dengan anak dan perempuan karena pada dasarnya UU Kewarganegaraan memberikan perlindungan lebih kuat terhadap anak dan perempuan. Dengan kata lain, penggunaan asas anti-apatride bersifat selektif. Anehnya, PP No 2/2007 justru memperluas penggunaan asas anti-apatride ini melalui Pasal 31 ayat (2) yang memberikan dasar hukum penggunaan asas itu tidak terbatas pada kehilangan karena bertempat tinggal, tetapi juga karena permohonan atau perkawinan. Dengan demikian, pada kasus Arcandra, argumen atas dasar anti-apatride sangat lemah bahkan bertentangan dengan UU karena UU secara spesifik menentukan asas itu hanya untuk kehilangan berdasarkan Pasal 23 i. Jika argumentasi itu yang dikedepankan, dapat diduga akan muncul Arcandra-Arcandra lain yang menuntut perlakuan yang sama (equal treatment).Kelemahan lain berkenaan dengan mekanisme pelaporan. Pasal 32 ayat (2) dan (3) PP No 2/2007 sangat mengandalkan peran pimpinan instansi tingkat pusat atau daerah serta anggota masyarakat untuk menyampaikan laporan apabila mengetahui seseorang telah kehilangan kewarganegaraan Indonesia. Artinya, selama tidak ada laporan, tidak akan pernah diketahui seseorang memiliki lebih dari satu kewarganegaraan. Apalagi jika tidak disertai aturan mengenai kewajiban melaporkan dari orang yang melakukan naturalisasi. Inilah yang ditengarai menjadi sebab menteri tidak segera mengumumkan kehilangan kewarganegaraan Arcandra di berita negara. Masalah kewarganegaraan tunduk pada rezim hukum administrasi negara. Karena itu, sangat terbuka kemungkinan para pejabat administrasi negara melakukan tindakan-tindakan atas dasar kebijakan atau diskresi. Sayangnya, UU Kewarganegaraan tidak cukup menyediakan 'kerangka pembatas'. Hal itu terbukti dari sejumlah ketentuan UU yang dilanggar PP pelaksanaan. Seharusnya, sudah saatnya pemerintah melakukan evaluasi komprehensif terhadap rezim hukum kewarganegaraan Indonesia. Beberapa isu penting perlu dianalisis lebih mendalam, termasuk dwikewarganegaraan; perjanjian bilateral dengan negara lain untuk mengurangi statelessness ataupun masalah-masalah kewarganegaraan lainnya. Perlu harmonisasi antara UU Kewarganegaraan dan UU Keimigrasian beserta seluruh peraturan pelaksanaannya dan berbagai instrumen hukum internasional yang berkaitan dengan kewarganegaraan.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya