Headline

Saat ini sudah memasuki fase persiapan kontrak awal penyelenggaraan haji 2026.

Dampak Berantai Voucer Pangan

Khudori Anggota Pokja Ahli Dewan Ketahanan Pangan Pusat, pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia
15/9/2016 00:30
Dampak Berantai Voucer Pangan
(ANTARA FOTO/Aditya Pradana Putra)

PEMERINTAH berencana mengganti program beras untuk rakyat miskin (raskin) dengan voucer pangan. Pada tahap awal, voucer pangan akan diuji coba di 44 kota pada 2017 dengan jumlah penerima 1,2 juta kepala keluarga miskin. Nilai voucer berkisar Rp108.000-Rp110.000 per orang per bulan, setara nilai beras subsidi raskin. Voucer bisa digunakan membeli aneka bahan pokok, yaitu beras, gula, minyak goreng, dan telur, di ritel elektronik warung gotong royong (e-Warong) yang digagas Kemensos (Media Indonesia, 29/8/2016). Diharapkan, rakyat kurang mampu memiliki lebih banyak pilihan dalam mengakses nutrisi. Bukan hanya sumber karbohidrat, melainkan juga protein. Program raskin memang belum lepas dari masalah. KPK meminta pemerintah mendesain ulang program raskin. KPK menemukan enam tidak tepat: sasaran, jumlah, mutu, waktu, harga, dan administrasi. KPK bahkan mencium ada indikasi jaringan kartel penyaluran raskin. Raskin yang seharusnya diterima rumah tangga sasaran justru dijual ke pengepul. Ironisnya, beras yang berada di tangan pengepul itu akhirnya dijual lagi ke rumah tangga sasaran. Beras berputar-putar (beras mumet) sehingga kualitasnya merosot. Survei penyaluran (BPS, 2013) menemukan raskin dinikmati 31,23 juta rumah tangga atau dua kali lipat dari sasaran (15,5 juta rumah tangga). Lapisan 1 atau termiskin penerima raskin hanya 9,41 juta (75%) dari 12,5 juta rumah tangga. Rata-rata mereka menerima 13,79 kg beras per bulan atau 92% dari seharusnya (15 kg). Tiga juta rumah tangga penerima raskin sisanya ada di lapisan 2. Kenyataannya, di lapisan ini penerima raskin berjumlah 8,4 juta rumah tangga atau 66,27% dari jumlah rumah dengan jatah 13,31 kg. Ironisnya, lapisan 3-5 yang seharusnya tidak kebagian justru mendapatkan raskin: 6,85 juta rumah tangga atau 54,25% dari rumah tangga lapisan 3; 4,88 juta rumah tangga (38,6%) dari lapisan 4; dan 1,71 juta rumah tangga (13,63%) dari lapisan 5. Apakah kemudian raskin digantikan voucer pangan? Voucer boleh jadi lebih tepat sasaran. Namun, mengganti beras dengan uang membuat tujuan program raskin meleset. Tujuan raskin ialah transfer energi untuk meningkatkan kualitas nutrisi, kesehatan, pendidikan, dan produktivitas SDM. Selama setahun rumah tangga sasaran mendapat 15 kg beras per bulan dengan menebus Rp1.600/kg. Dengan bantuan itu, 40%-60% total kebutuhan beras bulanan keluarga miskin dan rawan pangan bisa dipenuhi.

Lewat subsidi ini kelompok miskin bisa mempertahankan tingkat konsumsi energi dan protein. Mereka tidak mengurangi biaya pendidikan dan kesehatan untuk dialihkan ke pangan. Jika raskin tidak ada, saat harga beras naik, warga miskin harus menyunat pos kesehatan dan pendidikan dialihkan ke pangan karena 65%-70% pengeluaran warga miskin tersedot buat pangan. Saat ini jumlah penduduk defisit energi (kurang kalori) 30 juta jiwa. Balita stunting mencapai 37,2% dan kekurangan gizi 19,6% (5,7% di antaranya gizi buruk). Penggantian beras dengan voucer berpeluang memperparah kelaparan. Duit dalam voucer diambil tunai seperti kasus KJP, lalu uang dibelikan rokok dan pulsa. Manfaat penting lain raskin ialah untuk menjaga stabilitas harga gabah/beras dan pengendali inflasi yang biasa disebut indirect income transfer. Beras program raskin dibeli dari produksi petani kecil yang rentan fluktuasi harga saat panen raya. Pembelian produksi petani oleh Bulog lewat harga yang ditetapkan pemerintah (baca: harga pembelian pemerintah/HPP) merupakan perlindungan kepada petani kecil agar mereka mendapatkan insentif. Sebaliknya, penyaluran raskin merupakan bentuk perlindungan konsumen. Ketika harga beras naik, daya beli mereka tak tergerus, termasuk ketika inflasi meledak. Ini karena penyaluran raskin menjangkau sasaran luas dari desa hingga kota. Volumenya besar (2,8 juta ton atau 10% dari kebutuhan) dan ditebus murah, Rp1.600/kg. Jadi, ada kaitan kuat antara program kesejahteraan petani melalui pembelian pemerintah dan pemberian subsidi beras murah lewat raskin pada kelompok miskin dan rawan pangan. Apabila bantuan beras diganti uang, sementara skema peran Bulog dalam voucer pangan belum jelas, bisa jadi tidak ada lagi kewajiban Bulog membeli gabah/beras petani untuk memenuhi pagu raskin. Akibatnya, tidak ada lagi instrumen stabilisasi harga gabah/petani. Akibatnya, harga gabah/beras rentan fluktuasi. Ujung-ujungnya, inflasi akan sulit dikendalikan karena beras penyumbang terbesar inflasi. Selain itu, hilang sudah mekanisme penyerapan gabah/beras domestik terbesar oleh Bulog. Bukan mustahil, cadangan beras pemerintah akan sepenuhnya dipenuhi dari impor. Padahal, produksi beras domestik memadai. Sampai saat ini harga beras domestik masih lebih mahal daripada beras impor. Karena itu, tidak terhindarkan bila ada pikiran nakal; penggantian beras dengan uang untuk memuluskan impor beras? Pengalihan raskin menjadi voucer pangan secara tidak langsung merupakan pengalihan tanggung jawab pemerintah kepada 'pasar' dalam arti sesungguhnya, yakni para pedagang tradisional. Situasi mutakhir menunjukkan kecenderungan harga beras terus meningkat serta terjadi pergeseran struktur pasar beras dari persaingan sempurna. Siapa yang akan diberi tanggung jawab menyediakan beras? Beras ialah satu-satunya pangan yang pengelolaan stok, cadangan, harga, dan ekspor-impornya diserahkan kepada Bulog. Beras merupakan portofolio bisnis terbesar Bulog. Bahkan, pelbagai infrastruktur BUMN ini, dari gudang, penggilingan, hingga yang lain, semua terkait beras. Ketika beras diganti uang, apa keterlibatan Bulog dalam pasokan/penyaluran beras. Jika Bulog tidak dilibatkan, ini sama saja membonsai Bulog pelan-pelan. Ini yang perlu dijawab pemerintah agar tidak muncul tudingan bahwa sistem voucer hanya akal-akalan untuk meliberalisasi pasar beras. Wilayah Indonesia amat luas, mencakup 72.944 desa, dengan infrastruktur dan topografi beragam. Dengan jaringan yang luas, selama ini Bulog mengirim raskin ke 58 ribu titik distribusi. Mempertimbangkan kondisi desa yang beragam, sistem online e-Warong sepertinya lebih cocok untuk wilayah perkotaan, sedangkan wilayah perdesaan perlu sistem lain. Tidak terbayangkan Kemensos harus mendirikan e-Warong di seluruh wilayah Indonesia. Selain itu, untuk mencegah dampak buruk perubahan ini, sejak awal Bulog harus terlibat baik dalam penyediaan maupun distribusi beras dan-–bila mungkin--kebutuhan pokok lainnya. Ini untuk menepis pelbagai prasangka pada voucer pangan.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya