Headline
Istana minta Polri jaga situasi kondusif.
BESAR pasak daripada tiang. Peribahasa tersebut dinilai cocok untuk menggambarkan alasan di balik pemotongan beberapa pos dalam APBN 2016. Meski pada 28 Juni 2016 lalu UU Pengampunan Pajak disahkan DPR sebagai salah satu upaya pemerintah untuk meningkatkan pendapatan negara dari pajak, tampaknya masih belum menjadi jaminan akan mencapai target penerimaan pajak hingga akhir 2016 nanti. Ada yang menganggap UU Pengampunan Pajak seperti menjebak karena kurangnya pemahaman atas aturan yang berlaku. Sosialisasi amnesti pajak yang dilakukan pemerintah saat ini perlu diimbangi dengan rasa ingin tahu dan kesadaran masyarakat terhadap pajak. Beberapa kalangan masyarakat menunjukkan keresahan bahwa amnesti pajak menguntungkan pengemplang pajak dengan tidak adanya penegakan hukum. Bahkan, baru-baru ini ada yang mengkritisi amnesti pajak dengan menggunakan hashtag setop bayar pajak di media sosial.
Awal Agustus 2016, seusai sidang kabinet paripurna di Kantor Presiden, Jakarta, dalam keterangan persnya, Menteri Keuangan Sri Mulyani menyampaikan rencana penghematan dan pemangkasan anggaran di beberapa pos dalam APBN. Terkait dengan pelaksanaan UU Pengampunan Pajak, dengan melihat kondisi di lapangan, ia memprediksi akan terjadi kekurangan penerimaan pajak sekitar Rp219 triliun dari target Rp1.539,2 triliun. Inilah salah satu alasan yang membuat penghematan dan pemangkasan anggaran sulit untuk tidak dilakukan. Jumat lalu, secara resmi Presiden Joko Widodo melalui Instruksi Presiden No 8/2016 tertanggal 26 Agustus 2016 menginstruksikan 85 kementerian/lembaga (K/L) untuk melakukan langkah-langkah penghematan dalam rangka pelaksanaan APBN-P Tahun Anggaran 2016 yang mencapai total Rp64,712 triliun. Apabila pemotongan anggaran tidak dilakukan, bukan tidak mungkin utang negara akan bertambah yang tentunya semakin membebani APBN pada tahun-tahun mendatang. Hal itu membuktikan penerimaan negara dari pajak berdampak langsung terhadap penyelenggaraan negara dan pembangunan nasional yang telah direncanakan.
Kontribusi warga negara
Pajak menjadi faktor penting bagi keuangan suatu negara dalam menjamin pembangunan nasionalnya. Sistem pajak yang efektif akan mampu menarik suatu negara keluar dari ketergantungan terhadap bantuan luar dan SDA. Sulit bagi perekonomian suatu negara untuk bertahan dan berkembang tanpa adanya pajak. Uni Emirat Arab sebagai salah satu negara dengan pendapatan per kapita tertinggi juga menerapkan pajak meskipun pajak yang dikenakan bukan berupa pajak penghasilan pribadi, melainkan pajak yang tinggi untuk alkohol, yakni 50%, dengan tambahan 30% untuk pembeli alkohol. Di Indonesia, pajak sebagai salah satu sumber penerimaan negara yang digunakan untuk membiayai dan menjalankan setiap program-program pemerintah untuk keperluan negara. Hal tersebut tersirat dalam UUD Negara RI Tahun 1945 amendemen IV dalam Bab VII Hal Keuangan Pasal 23A.
Dalam UU No 16/2009 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan, pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan UU, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. Wajib pajak yang dimaksud dalam UU itu adalah orang pribadi atau badan, meliputi pembayar pajak, pemotong pajak, dan pemungut pajak, yang mempunyai hak dan kewajiban perpajakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan. Adanya penerimaan pajak dapat membiayai pembangunan bangsa, meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan masyarakat, yang pada gilirannya akan mewujudkan kondisi ketahanan nasional yang tangguh serta mendorong pencapaian cita-cita bangsa Indonesia sebagaimana tertuang Pembukaan UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
Kepentingan bersama
Berdasarkan data Kementerian Keuangan 2015, tingkat kepatuhan wajib pajak Indonesia masih rendah. Hal tersebut dapat terlihat dari rasio penerimaan pajak terhadap produk domestik bruto yang masih di bawah 11%, padahal idealnya rasio pajak Indonesia sudah mencapai 14%. Rendahnya rasio pajak di Indonesia salah satunya akibat keengganan oknum-oknum wajib pajak dalam melaporkan harta mereka secara jujur sehingga memiliki andil dalam faktor penghambat pembangunan bangsa. Hal itu juga menunjukkan rendahnya kesadaran warga negara sebagai wajib pajak. Di Indonesia, salah satu kewajiban warga negara ialah membayar pajak. Dalam UUD 1945 Pasal 23A tertulis jelas bahwa pajak digunakan untuk keperluan negara. Implementasi pasal tersebut dapat dilihat dalam penetapan APBN 2016, telah ditetapkan target pendapatan negara dari pajak (termasuk kepabeanan dan cukai) sebesar Rp1.546,7 triliun atau 84,8% dari total target pendapatan negara Rp1.822,5 triliun.
Untuk pendapatan negara nonpajak mengambil porsi 15% dan hibah sebesar 1%. Dengan demikian, 73,8% dari Rp2.095,7 triliun total belanja negara 2016 akan dibiayai dari penerimaan pajak. Porsi besar pajak dalam pendapatan negara juga dapat dilihat dari data realisasi APBN 2015 Kemenkeu, yaitu Rp1.240,4 triliun, atau 82% dari total pendapatan negara Rp1.504,5 triliun. Begitu juga pada realisasi APBN 2014, 73% dari total realisasi pendapatan negara diperoleh dari penerimaan pajak. Kisaran persentase pajak dalam APBN yang berada di atas 70% dari total penerimaan negara menggambarkan pentingnya pajak untuk membiayai pembangunan nasional di berbagai sektor baik di pusat maupun daerah. Pembangunan dan perbaikan infrastruktur, pengembangan SDM, dan untuk kepentingan negara lainnya. Dengan kata lain, selama negara ini masih berdiri tegak maka pembangunan akan terus dilakukan dan pajak dibutuhkan untuk menjadi tiang besar penopang kebutuhan negara. Kontribusi yang diberikan warga negara tentunya membutuhkan timbal balik dari pemerintah. Adanya jaminan bahwa pemanfaatan pendapatan negara digunakan sebesar-besarnya kepentingan rakyat seperti akses pendidikan dan kesehatan yang merata. Ketersediaan lapangan pekerjaan dan hal lainnya yang berujung pada terlaksananya tujuan pembentukan Pemerintah Negara Indonesia oleh para pendiri bangsa seperti yang tercantum dalam Pembukaan UUD NRI 1945. Karena itu, taat membayar dan mengelola pajak ialah hal mutlak untuk mendukung keberhasilan pembangunan nasional.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved