Headline

BANGSA ini punya pengalaman sejarah sangat pahit dan traumatis perihal kekerasan massal, kerusuhan sipil, dan pelanggaran hak asasi manusia

Menguji Solidaritas Masyarakat Multietnik

Fikarwin Zuska Dosen Departemen Antropologi FISIP USU Medan
30/8/2016 00:30
Menguji Solidaritas Masyarakat Multietnik
(ANTARA FOTO/Septianda Perdana)

PADA 28 Agustus 2016, bertepatan dengan Minggu, saat umat kristiani sedang menunaikan ibadah di gereja Katolik Santo Yosep di Jalan Dr Mansyur No 75 Medan, tiba-tiba datang seseorang dengan bom di dalam ranselnya. Ia masuk ke gereja dan menghampiri pastor. Tindakan bom bunuh diri itu melukai lengan kiri sang pastor serta pelaku bom itu. Tidak ada korban jiwa dalam teror yang dilakukan seorang yang kemudian diamankan pihak berwajib dan diketahui dari KTP bernama Ivan Armadi Hasugian, kelahiran 1998, bertempat tinggal dekat lokasi kejadian. Ini mengingatkan kita pada aksi beruntun pada 2000 ketika terjadi pengeboman di Gereja GKPI kompleks Pamen Padang Bulan Medan, disusul pengeboman di beberapa gereja lainnya. Sasaran pengeboman jelas, yaitu rumah ibadah dan rumah pendeta. Tampak bahwa misi pelaku mengganggu soliditas hubungan antarkelompok agama di Kota Medan. Medan dikenal sebagai kota multietnik yang memiliki hubungan antarkelompok paling solid. Tulisan ini akan coba menjelaskan apa yang membuat hubungan antaretnik masih tetap solid di Kota Medan.

Kota multietnik
Identitas 'etnik' menurut Bertrand (2012:1) merujuk pada kelompok yang didefinisikan menurut ciri asal usul yang meliputi kriteria budaya, bahasa, agama, atau ras.
Hubungan antaretnik, dengan demikian, tidak lain adalah hubungan antara kelompok yang mengidentifikasi diri mereka berbeda dari yang lain menurut salah satu ciri tersebut atau lebih (Berttrand 2012). Boleh jadi kelompok budaya, bahasa, suku, daerah asal, agama, dan lain-lain. Geertz (1992) menamai ikatan-ikatan itu sebagai ikatan primordial yang di dalamnya terdapat sentimen-sentimen primordial.Isaacs (1993) mengilustrasikan betapa kuat dan emosionalnya ikatan-ikatan di dalam kelompok ini. Kota Medan dihuni banyak sekali kelompok etnik. Selain kelompok etnik tuan rumah Melayu-Deli, Kota Medan dibanjiri kelompok etnik yang berasal dari seputar Sumatra Utara, yaitu Karo, Pakpak, Simalungun, Toba, dan Mandailing dengan keyakinan atau agama tersendiri: Islam, Kristen, Katolik, Hindu, Pemena, Malim dan lainnya. Ditambah lagi pendatang dari Provinsi Aceh. Orang Jawa-Deli dan atau putra Jawa kelahiran Sumatra (pujakesuma) tergolong sebagai kelompok dengan populasi terbesar di Medan. Begitu juga dengan kelompok Minangkabau dan Tionghoa yang termasuk kelompok dengan jumlah populas cukup berarti daripada keturunan India (Tamil dan Punjab) serta Arab. Sunda, Ambon, Manado, Lampung, dan lain-lain cukup banyak, tetapi tidak besar. Hubungan antarkelompok etnik ini berlangsung kondusif, harmonis, dan solid.

Gangguan

Hubungan antarkelompok etnik pernah terganggu di Kota Medan. Gangguan yang sangat besar ialah ketika terjadi revolusi-sosial yang merupakan bagian dari perang kemerdekaan, yang menyasar korbannya aristokrat Melayu, Simalungun, dan Karo 1946 (Reid, 2011). Lalu peristiwa G30S 1965, dan terakhir demonstrasi menjelang jatuhnya rezim Orba Mei 1998. Di luar peristiwa berkenaan dengan 'peralihan rezim nasional' itu, Medan termasuk wilayah multietnik yang relatif tenang. Peristiwa yang sempat 'mengkhawatirkan' terganggunya kerukunan hubungan antaretnik ialah ketika (2012) Masjid Al-Ikhlas di Jl Timor dirobohkan developer. Belakangan masjid dibangun kembali sehingga demonstrasi-demonstrasi menuntut masjid dibangun kembali kini berhenti sudah.

Soliditas hubungan antaretnik
Konflik fisik antarkelompok etnik di Kota Medan nyaris tidak pernah terjadi. Walaupun perkelahian antara individu warga kelompok etnik bisa terjadi, perkelahian itu tidak dapat memicu terjadinya perkelahian antarkelompok etnik. Konflik-konflik individual selalu dilokalisasi, dikunci, orang Medan menjadi konflik individual saja; bukan suku, bukan agama, bukan daerah asal, dan semacamnya. Ini terjadi karena orang-orang di Medan tidak mau membawa-bawa atau tidak rela dibawa-bawa kelompok etniknya dibenturkan dengan kelompok etnik yang lain. Bagi Orang Medan, kelompok-kelompok primordial, yang dimiliki setiap orang, itu berguna sebagai kekuatan penyeimbang dalam negosiasi antarindividu, dalam perundingan antarkelompok dalam kehidupan sehari-hari. Selain itu, komposisi penduduk berdasarkan suku di kota Medan, jumlahnya masing-masing (di dalam persepsi warga) relatif berimbang. Hal ini membuat para pihak saling menyegani dan selalu berusaha untuk menghindari pertikaian. Kecuali karena alasan saling menghormat, faktor lain yang kontributif terhadap keharmonisan antarkelompok etnik di Kota Medan ialah keberadaan Melayu. Melayu dapat dipandang sebagai wadah atau tempat yang bersifat kultural. Semua suku dapat ditampung dan diakomodasi di dalamnya. Fungsi yang dimainkan Melayu sama dengan fungsi yang dimainkan agama Islam. Islam dalam hal ini berperan sebagai wadah yang bisa menampung berbagai kelompok suku di bawah panji Islam.

DNT dan Tarombo
Loyalitas umat Islam yang besar kepada Islam akibat kepentingan-kepentingan individual umatnya tidak dapat direspons dengan cara-cara negatif oleh kelompok Kristen yang juga beragam suku: Toba, Karo, Pakpak, Simalungun, Nias, Angkola, Sipirok, dan Mandailing (kelompok-kelompok suku yang juga menjadi basis sosial umat Islam). Faktor tarombo menjadi salah satu faktor yang menghambat munculnya gerakan tandingan. Toba yang begitu setia pada ikatan genealogisnya meyakini satuan-satuan suku yang disebut terakhir itu seluruhnya sebagai Batak; dan itu semua berasal dari satu nenek moyang yang sama. Sesuai dengan tarombo (silsilah Batak), mereka bersaudara dan tidak jarang diperkuat pula oleh ikatan dalihan na tolu; suatu ikatan yang terbangun karena perkawinan dan keturunan. Basyral Hamidy Harahap (2008) mengatakan orang Toba (Par Utara), sedemikian bersemangat, tidak ragu menyebut Orang Nias pun ialah Batak Nias. Ini berarti bahwa walaupun berbeda agama, tarombo dan DNT menyebabkan mereka berkerabat dan tidak boleh bercerai-berai dalam pergaulan. Demi menghormati saudara-saudaranya yang muslim, orang Batak Kristen menyediakan secara khusus di rumahnya seperangkat alat makan yang dipastikan tidak pernah terkena bahan makanan yang diharamkan Islam. Ini sebuah toleransi yang tak terhingga nilainya bagi perdamaian dan kerukunan antaretnik di Medan dan Sumatra Utara. Konsep serupa DNT dan tarombo dimiliki Karo, Pakpak, Simalungun, Angkola, Sipirok, dan Mandailing. Sistem ini, dalam praktiknya, bisa juga mempertautkan orang-orang yang berbeda agama dan suku. Dalam arena-arena kekerabatan seperti ini, kontestasi antarpihak (suku) tidak mengarah pada perbedaan agama. Di dalam konteks ini solidaritas kekerabatan dan kesamaan-kesamaan budaya lebih dikedepankan. Dengan demikian, pengalaman hidup berlain-lainan etnik di kalangan masyarakat Kota Medan sudah menjadi praksis dan bukan lagi sekadar norma. Oleh sebab itu, apabila sempat terjadi bentrok lintas agama di Sumut, sungguh ini merupakan kehancuran kerabat; sebuah lembaga yang sangat dihormati dan kesetiaan kepadanya sangat tinggi. Melihat pengalaman ketika provokator tidak berhasil membenturkan kelompok berbeda agama dalam beberapa percobaan di Medan, individu boleh berkelahi fisik dan berbuat apa pun; risiko tanggung sendiri. Kelompok primordial bukanlah serdadu yang dapat diandalkan ke front pertempuran, membawa badik, dan bambu runcing untuk membantu individu. Kelompok primordial ialah alat tempur strategis di meja perundingan.

Tidak untuk berdarah-darah. Orang Medan sejak kecil telah menyadari konflik individu harus diselesaikan individu itu sendiri. Inilah beberapa alasan mengapa masyarakat multietnik Kota Medan tidak mudah diprovokasi provokator untuk dibenturkan satu sama lain. Akan tetapi, kewaspadaan harus selalu dijaga karena soliditas hubungan ini tidaklah permanen, membatu. Hubungan ini bersifat cair, bisa berubah, bergantung pada keadaan dan kepentingan. Sampai hari ini, apa pun yang dilakukan untuk membenturkan kelompok-kelompok etnik yang ada, sepanjang kelompok itu tidak berubah menjadi sombong dan demonstratif, konflik fisik masih dapat dicegah dan dihindari. Semoga Medan tetap rukun dan solid, menjadi contoh bagi kota yang penduduknya berbilang etnik.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya