Headline

Mantan finalis Idola Cilik dan kreator konten juga memilih menikah di KUA.

Fokus

Ketegangan antara Thailand dan Kamboja meningkat drastis sejak insiden perbatasan

Merawat Kerukunan di Papua

Laode Ida, Sosiolog, pengajar di Jurusan Sosiologi UNJ, Ketua Presidium Perhimpunan Indonesia Timur Wakil Ketua DPD RI 2004-2014
21/7/2015 00:00
Merawat Kerukunan di Papua
(Dok MI)
TRAGEDI radikalisme dari salah satu sekte kristiani yang tergabung dalam Gereja Injil di Indonesia (GIDI) terhadap komunitas muslim di Tolikara, Papua, yang sedang ibadah salat Idul Fitri 1436 H (17/7), niscaya telah menyakiti perasaan umat Islam. Soalnya di hari yang dianggap paling agung, saat yang harusnya bersukacita merayakan 'kemenangan' setela  'berperang melawan nafsu duniawi selama sebulan penuh', justru ada kelompok agama lain yang memaksa untuk meniadakan penyelenggaraannya di wilayah tempat tinggal mereka.

Serangan sepihak dengan cara-cara kekerasan fisik itu pun berakibat pada terbakarnya rumah ibadah dan sejumlah kios atau toko tempat mencari nafkah sehari-hari. Maka kaum muslim di daerah ujung timur Indonesia itu pun mengalami pengorbanan ganda, yakni 1) berupa tekanan jiwa/batin yang terpaksa tak bisa menikmati suasana gembira di hari raya yang suci, dan 2) materi yang ludes akibat terbakarnya fasilitas ibadah dan perekonomian mereka.

Bahkan lebih dari itu, situasi psikologis warga muslim itu niscaya akan sangat terganggu, terancam, dan atau terteror karena akan selalu dibayang-bayangi tekanan fisik dari kelompok penganut agama yang tergabung dalam GIDI itu. Tepatnya, peristiwa penyerangan dan pelarangan itu dianggap berpotensi sebagai benih yang menyuburkan semangat disintegrasi sosial di tanah Papua serta akan menjadikan terbelahnya masyarakat, antara masyarakat asli Papua komunitas pendatang dengan identitas agama Islam (devided society). Apalagi kalau ada kekuatan sosio-ideologi-politis, baik yang eksis di Papua maupun bersama dengan jaringan internasionalnya, secara provokatif menyebarkan semangat kebencian terhadap pihak-pihak yang dianggap mengganggu agenda misi mereka, maka suasana keresahan atau instabilitas sosial bukan mustahil akan terus terjadi di masa-masa mendatang.

Meski demikian, bagi saya, potensi damai dan harmoni antarkelompok masyarakat di Papua masih sangat jauh lebih besar ketimbang disharmoni atau disintegrasi. Mengapa? Pertama, orang-orang asli Papua memiliki karakter yang penuh kasih sayang, ingin selalu hidup dalam kedamaian bersama semua orang, menyukai orang-orang (termasuk pendatang) yang hangat dan menyenangkan bagi mereka. Tampilan fisik orang-orang asli Papua barangkali terkesan tidak ramah, apalagi dengan tutur kata yang (oleh komunitas dari budaya tertentu) dianggap kasar. Namun di balik itu, terdapat kandungan mutiara yang indah dalam lubuk hati dan jiwa mereka.

Hanya, ketika yang hadir di tengah-tengah mereka dianggap sebagai ancaman eksistensi diri, budaya, dan masa depan mereka, termasuk seperti dalam bentuk ekstrasi (eksploitasi) sumber daya alam (SDA) oleh kekuatan luar yang hanya menjadikan mereka sebagai penonton, jangan heran jika di antara orang-orang asli Papua akan spontan marah. Apalagi sekarang ini generasi barunya sudah banyak berpendidikan yang diperoleh dari gemblengan di dalam negeri ataupun luar negeri.

Kedua, komunitas GIDI tampaknya merupakan sekte khas dalam komunitas kristiani yang menyebarkan misi di tanah Papua, dengan karakter eksklusif kaku (rigid exclusive) seraya berpandangan bahwa hanya ajarannyalah yang benar. Tidak boleh ada ajaran selainnya, apalagi Islam yang hadir bersamaan dengan para pendatang dari luar tanah Papua, barangkali itu dianggap sebagai ancaman bagi mereka. Singkatnya, sangat jauh perasaan toleransi antariman di dalam diri penganut sekte yang tergabung di GIDI itu.

Nilai-nilai kedamaian
Apakah umumnya orang-orang asli Papua akan terpengaruh oleh pandangan atau ajaran yang ditanamkan di GIDI itu? Jawabannya, saya yakin, 'tidak'. Soalnya, ajaran yang dibawa GIDI itu bertentangan dengan watak dasar orang-orang asli Papua. Harus juga disadari, sebenarnya keberadaan semua agama samawi (atau Ibramiyah) seperti Kristen Protestan, Katolik, dan Islam, pada dasarnya merupakan agamanya para pendatang yang disosialisasikan di dalam dan sebagian dianut oleh masyarakat Papua.

Sebelum datangnya agama-agama samawi itu, masyarakat asli Papua menganut kepercayaan berdasarkan kebiasaan setiap komunitas yang terkait dengan lingkungan atau roh-roh yang diyakini memiliki kekuatan atau daya atur dalam rangka keteraturan hidup di dunia ini (baca juga: Domininggus Pekei, Tinjauan Keyakinan dan Agama Asli Orang Mee di Papua, artikel, 9/2/2013). Namun sekarang ini, setiap warga Papua diperkirakan sudah berada dalam bingkai suatu ajaran agama samawi tertentu, yang menjadi pegangan dan panduan dalam hidup baik untuk pribadi maupun dalam hubungannya dengan masyarakat di sekitarnya, yang pada intinya semua mengajarkan pentingnya hidup dalam kedamaian.

Ajaran itu, sekali lagi, merupakan bagian dari budaya atau pandangan hidup bukan saja bagi orang-orang asli Papua, melainkan juga bagi seluruh elemen bangsa di Nusantara dengan identitas budaya lokal yang berbeda-beda. Ajaran yang dianut masyarakat muslim yang ada di Tolikara dan umumnya di tanah Papua pun pada prinsipnya membawa nilai-nilai kedamaian seperti itu. Mereka (para muslim) itu niscaya menyadari bahwa bukan saatnya lagi menyebarkan misi dengan menggarap warga nonmuslim di Papua menjadi masuk Islam. Kalau itu dilakukan sama halnya dengan memancing di air keruh. Singkatnya, para pendatang di tanah Papua yang kebetulan beragama Islam itu, hemat saya, tak lebih dari 'merantau untuk mencari sesuap nasi', dengan tetap menjalankan kewajiban ajaran agama yang dianutnya.

Siapa sebenarnya yang menjadi biang kerok sehingga memunculkan tindakan kekerasan dengan melarang masyarakat muslim beribadah di Tolikara itu? Jelas, adalah elite di GIDI, yang berhasil memprovokasi jemaatnya untuk bersifat tidak toleran nan ofensif terhadap warga muslim. Mereka itulah yang harusnya jadi target utama pembinaan yang musti dilakukan minimal dua pihak utama secara bersamaan, yakni pemerintah daerah dan kementerian agama, termasuk aparat keamanan, dengan menggunakan cara-cara penyadaran persuasif untuk kembali pada prinsip fundamental agama yang mengajarkan kedamaian dan toleransi. Hal itu tentu tak bisa diorientasikan sebagai proyek sebagaimana yang cenderung terjadi selama ini, tetapi harus menjadi program yang berkelanjutan (sustainable peace programs).

Pihak kedua, tokoh-tokoh lintas agama, harus ditopang pemerintah sehingga bisa secara intens membangun komunikasi, termasuk memberikan sentuhan langsung pada komunitas pengikut (jemaah). Wadah untuk ini sebenarnya sudah ada, yakni Forum Antarumat Beragama (FAUB) yang secara formal sudah ada di setiap daerah di Indonesia ini. Hanya, harus diakui, sangat jarang yang difungsikan, yang mungkin salah satunya di Tolikara, Papua itu. Ini juga merupakan bagian dari tanggung jawab pemerintah untuk mendorong sehingga itu aktif dan fungsional untuk secara berkelanjutan membangun hubungan harmonis antarumat beragama.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya