Headline

Revisi data angka kemiskinan nasional menunggu persetujuan Presiden.

Fokus

Keputusan FIFA dianggap lebih berpihak pada nilai komersial ketimbang kualitas kompetisi.

IQ Bangsa Indonesia

Ali Khomsan Guru Besar Fakultas Ekologi Manusia IPB
14/10/2022 05:00
IQ Bangsa Indonesia
(MI/Seno)

IQ bisa jadi merupakan cerminan kualitas pendidikan suatu bangsa. Negara-negara kurang berkembang, dengan tingkat pendidikan rendah, berpotensi menghasilkan rataan IQ yang juga rendah.

Studi tahun 2019 yang dilakukan oleh peneliti Ulster Institute menyebutkan bahwa bangsa dengan IQ tertinggi ialah Jepang (106,48), Taiwan (106,47), dan Singapura (105,89). IQ terendah dijumpai di Sierra Leone, Liberia, dan Nepal, sedangkan IQ orang Indonesia berada di peringkat 130 dari 199 negara. Studi ini layak diperdebatkan menyangkut siapa yang menjadi sampel pengukuran IQ? Untuk Indonesia yang memiliki 37 provinsi, 416 kabupaten, dan 98 kota apakah sebaran sampel dapat dikatakan mewakili populasi? Benarkah, data IQ pada 199 negara tersedia dan dapat dianalisis tanpa menimbulkan bias?

Menurut klasifikasi IQ, apa yang diraih Jepang, Taiwan, dan Singapura hanya sebatas IQ normal (skor IQ 91-110). Tragisnya, studi tim Ulster Institute menempatkan hampir 70 negara dengan IQ kurang dari 80 (IQ rendah/keterbelakangan mental). Hal ini tentu sangat menyakitkan.

Artikel Prof Syamsul Rizal memberikan pandangan kritis tentang pendidikan (Kompas, 1/12/2020). Para siswa dikatakan tidak fokus dalam menuntut ilmu dunia. Terbukti dari hasil PISA (Programme for International Student Assessment), bahwa kemampuan siswa Indonesia hanya sejajar dengan negara-negara miskin dan berkonflik. Negara-negara dengan skor PISA tertinggi untuk kemampuan membaca, matematika, dan sains adalah Tiongkok (skor 555;590;591), Singapura (549;569;551), dan Macau-China (525;558;544). Bagaimana dengan Indonesia? Kita berada pada posisi ke 74 dari 79 negara alias peringkat 6 terbawah dengan skor membaca 371, matematika 379, dan sains 396.

PISA merupakan program untuk mengukur prestasi anak usia 15 tahun pada bidang kemampuan literasi membaca, matematika, dan sains. Penilaian dilakukan oleh PISA tiap tiga tahun sekali. Hasil PISA 2018 menunjukkan adanya problem serius pada pendidikan anak Indonesia.

Indonesia yang membentang dari Sabang sampai Merauke mempunyai variasi etnik yang luar biasa banyak. Di bidang pendidikan, tentunya juga terdapat variasi capaian pembelajaran karena perbedaan kualitas guru, dan perbedaan kualitas sarana-prasarana belajar antarpulau maupun antarprovinsi. Namun, secara keseluruhan, bila hasil PISA selama bertahun-tahun tidak menunjukkan lompatan nilai yang berarti, barangkali kita harus menganalisis ada apa dengan kecerdasan anak Indonesia?

Mungkinkah anak-anak Indonesia kurang cerdas akibat stunting (kurang gizi kronis) semasa kecil? Sangat mungkin. Kurang gizi kronis saat usia balita akan mengganggu perkembangan otak sehingga ketika anak-anak masuk ke usia sekolah daya nalarnya tidak cukup optimal. Itulah sebabnya usia balita juga disebut golden age period. Pertumbuhan fisik mungkin masih bisa dikejar hingga usia 18 tahun, tetapi perkembangan otak yang optimal sulit tergantikan setelah masa balita terlampaui.

 

Produktif dan berkualitas

Dunia pendidikan di Tanah Air memang sangat dinamis. Beberapa tahun lalu kita sempat menyelenggarakan rintisan sekolah bertaraf internasional (RSBI), yang kemudian dihentikan karena berbagai alasan. Kemudian, kita sibuk dengan kebijakan dan implementasi ujian nasional (UN), yang setelah berlangsung beberapa tahun akhirnya juga dihentikan oleh Kemendikbud. Kini pemerintah mencanangkan Merdeka Belajar. Kurikulum Merdeka Belajar merupakan bentuk evaluasi dari Kurikulum 2013. Dikutip dari laman Kemendikbud, Kurikulum Merdeka ialah kurikulum dengan pembelajaran intrakurikuler yang beragam dan konten lebih optimal. Dengan demikian, peserta didik memiliki cukup waktu untuk mendalami konsep dan menguatkan kompetensi.

Bangsa Indonesia tentu berharap bahwa kebijakan pendidikan, termasuk perangkat kurikulumnya mampu menciptakan anak Indonesia untuk menjadi individu yang mandiri, bertanggung jawab, dan memiliki kemampuan analisis yang baik untuk menyongsong tantangan zaman. Bonus demografi tahun 2030, hendaknya kita songsong dengan manusia Indonesia yang produktif dan berkualitas.

Bonus demografi ialah cerminan dari angka rasio ketergantungan atau dependency ratio, yakni rasio antara kelompok usia yang tidak produktif dan yang produktif (usia 15-64 tahun). Saat puncak bonus demografi, yaitu sekitar tahun 2030, angka rasio ketergantungan tersebut mencapai angka terendah, yakni sekitar 44%. Meski memberikan banyak peluang, bonus demografi bisa tidak bernilai apa-apa jika generasi muda kita tidak produktif.

Anak-anak usia sekolah semakin melek teknologi. Ini harus diarahkan sehingga kegemaran menggunakan gadget bukan sekadar untuk bermedsos atau main games. Gadget, bisa menjadi sumber informasi dan teknologi. Hal ini akan menuntun anak-anak kita untuk menjadi lebih terampil. Dengan kemudahan akses internet, siswa tidak perlu lagi mengandalkan sistem hapalan untuk menguasai informasi. Dunia pendidikan, justru harus mendorong agar anak-anak bisa lebih berani mengemukakan pendapat, dan meningkatkan kemampuan analisis mereka. Seperti halnya sistem pendidikan Barat yang selalu merangsang curiousity atau keingintahuan seorang siswa.

Pendidikan harus dapat menghasilkan anak Indonesia yang memiliki kemampuan bekerja sama (teamwork), mampu mengambil keputusan dengan cepat dan tepat, dapat berkomunikasi dengan baik, berpikir kreatif, memiliki jiwa kepemimpinan, serta motivasi yang tinggi. Pendidikan bukan hanya menghasilkan SDM yang siap menjadi pekerja, tetapi SDM yang memiliki jiwa entrepreneurship, berpikir efektif dan efisien, serta lebih dari itu, semua ialah adanya karakter positif (disipilin, kerja keras, jujur) yang melekat kuat dalam dirinya.

Sistem pendidikan yang ideal, akan melahirkan anak yang cerdas secara komplit, bukan sekadar cerdas intelektual tetapi juga cerdas emosional. Kecerdasan yang meningkat didukung karakter positif yang menonjol akan meningkatkan daya saing bangsa. Sehingga kita tidak hanya mengekspor TKI yang minim ketrampilan.

 

Emotional quotient 

Kekayaan sumber daya alam semata, seringkali tidak mampu menyejahterakan rakyat apabila SDM loyo alias tidak berkualitas. Indonesia adalah negara yang sering dijuluki gemah ripah loh jinawi karena alamnya yang subur. Namun, karena SDM kita kurang pendidikan, kurang ketrampilan, dan kurang memiliki karakter positif yang menjadi penciri bangsa maju, maka kita masih harus bergelut dengan kemiskinan dan kebodohan.

Dunia yang semakin kompetitif menuntut individu-individu dengan emotional quotient (EQ) yang tinggi. Pandangan yang menganggap IQ merupakan hal terpenting dalam karier seseorang telah dikoreksi, karena EQ (bukan IQ) dalam kehidupan modern saat ini dianggap lebih dapat memprediksi kesuksesan seseorang.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya