Headline
Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.
Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.
Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.
RENCANA penaikan harga bahan bakar minyak (BBM) telah menjadi isu hangat di negeri ini dalam beberapa pekan terakhir. Pasalnya, pemerintah telah memberikan sinyalemen terkait dengan rencana tersebut akibat dari beban subsidi dan kompensasi energi yang biayanya membengkak di 2022 menembus Rp502 triliun. Kondisi itu jadi alasan utama di balik rencana penaikan harga BBM bersubsidi, pertalite dan solar.
Isu BBM itu telah mendapat beragam reaksi pro dan kontra di masyarakat. Pro-kontra merupakan sikap yang lazim terjadi manakala pemerintah mewacanakan isu tertentu dalam rencana kebijakan. Apalagi, masalah BBM berkenaan dengan hajat hidup orang banyak. Sudah tentu wacana naik-turunnya harga BBM akan secara tidak langsung memengaruhi kondisi sosial ekonomi, termasuk dengan politik.
Dampak yang ditimbulkan memang terbilang luas. Menaikkan harga BBM di waktu yang kurang tepat sangat berpotensi menciptakan gejolak sosial akibat daya beli masyarakat yang melemah sebagai konsekuensi logis kenaikan harga-harga kebutuhan pokok. Itulah sebabnya kebijakan menaikkan harga BBM sangat tidak populis. Alih-alih mendapatkan dukungan, justru yang terjadi malah penolakan.
Karenanya, rencana menaikkan BBM bersubsidi bukan opsi yang tepat di tengah kondisi ekonomi masyarakat yang belum sepenuhnya pulih akibat wabah pandemi covid-19 yang berkepanjangan. Dengan kondisi yang demikian, menjadi penting bagi pemerintah untuk memikirkan kembali rencana kebijakan yang tidak memihak pada rakyat dengan mencari alternatif lain yang tepat.
Koreksi kebijakan
Berdasarkan data Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, BBM jenis pertalite ini masih menjadi primadona untuk dikonsumsi masyarakat. Data realisasi 2021 mencatat, proporsi konsumsi pertalite mencapai 80% di antara BBM jenis-jenis bensin lain, seperti pertamax, pertamax turbo. Tingginya konsumsi masyarakat jelas akan membawa efek inflasi manakala harga BBM bersubsidi dinaikkan.
Secara empiris, tingkat inflasi yang tinggi dapat memperburuk daya beli dan konsumsi di masyarakat. Akibatnya, target pertumbuhan ekonomi yang tinggi dipastikan tidak bisa terealisasi. Maka dari itu, untuk menjaga momentum pencapaian pertumbuhan ekonomi yang tinggi, pemerintah perlu fokus pada penataan distribusi BBM bersubsidi daripada opsi menaikkan harga BBM bersubsidi.
Menurut Menteri Keuangan Sri Mulyani, anggaran subsidi energi yang mencapai ratusan triliun rupiah yang telah digelontorkan pemerintah, pada kenyataannya cenderung dinikmati golongan masyarakat mampu dan superkaya. Sementara itu, masyarakat miskin atau tidak mampu yang menjadi sasaran utama kebijakan BBM bersubsidi, justru tidak menikmati bagian kecilnya.
Dalam konteks BBM bersubsidi jenis pertalite semisal, golongan masyarakat miskin atau tidak mampu, hanya 20% yang menikmati harga subsidi. Sementara itu, 80% dinikmati masyarakat mampu serta 60% dinikmati orang kaya. Kasus itu terjadi dalam konsumsi BBM jenis solar, yakni mayoritas orang-orang yang menikmati harga subsidi ialah golongan mampu.
Artinya, ada problem distribusi yang harus segera diselesaikan pemerintah agar masalah itu tidak berlarut dan berimplikasi terhadap mengorbitnya kebijakan yang inkompatibel dengan kehendak publik karena kondisi ekonomi mereka yang belum sepenuhnya pulih pascapademi. Mengambil keputusan mengenai solusi yang efektif dan tepat, di luar dari wacana kenaikan harga BBM subsidi, menjadi pekerjaan rumah dalam waktu dekat yang diselesaikan agar tidak menimbulkan masalah baru.
Ekses dan redistribusi
BBM jelas menyangkut hajat dan kepentingan orang banyak. Penaikan harga BBM tidak hanya berimplikasi secara langsung terhadap rakyat, tetapi juga sektor usaha mikro, kecil, dan menengah rentan terkena dampaknya. Hal itu tidak terlepas dari komponen biaya bahan bakar tersebut cukup besar sehingga penaikan harga BBM tentu akan berpengaruh pada seluruh sektor usaha masyarakat.
Ada banyak aspek yang harus dipertimbangkan pemerintah terkait dengan rencana menaikkan harga BBM bersubsidi. Jika dalih pemerintah menaikkan harga BBM di tengah fluktuasi harga minyak dunia karena subsidi telah membebani keuangan negara, jelas ini menjadi paradoks. Itu karena saat ini proyek infrastruktur yang sama-sama membebani keuangan negara masih tetap dijalankan.
Berdasarkan data yang disampaikan Kementerian Keuangan, harga BBM subsidi lebih banyak dinikmati golongan masyarakat mampu ketimbang orang miskin. Itu menandakan kalau persoalan dasar di balik beban subsidi atas keuangan negara ada pada pemerintah yang tidak mampu mewujudkan distribusi yang berkeadilan dan efektif.
Tanpa menyelesaikan masalah distribusi BBM bersubsidi dengan tuntas, rencana penaikan harga BBM jenis pertalite dan solar patut ditolak sebagai jihad subsidi karena keputusan tersebut sama halnya menghindari untuk menuntaskan problem redistribusi. Terakhir, otoritas berwenang juga perlu melakukan audit investigasi terhadap masalah membengkaknya anggaran BBM subsidi. Tujuannya, membongkar praktik-praktik invisible hand di balik masalah itu sehingga publik dapat mengetahui apakah anggaran untuk subsidi sudah dijalankan sesuai atau tidak oleh PT Pertamina.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved