Headline

Indonesia optimistis IEU-CEPA akan mengerek perdagangan hingga Rp975 triliun.

Fokus

Tiga sumber banjir Jakarta, yaitu kiriman air, curah hujan, dan rob.

Dinamika Kemiskinan DKI Jakarta

Abdurrahman Syebubakar Pemerhati demokrasi dan pembangunan manusia, Ketua Dewan Pengurus Institute for Democracy Education (IDe)
08/7/2022 05:05
Dinamika Kemiskinan DKI Jakarta
(MI/Duta)

SELAMA pandemi covid-19, kondisi kesejahteraan rakyat di Indonesia tertekan cukup dalam seiring dengan anjloknya daya beli masyarakat yang dipengaruhi kenaikan harga barang dan jasa. Hal itu diperparah dengan berkurangnya atau hilangnya pendapatan masyarakat akibat pemutusan hubungan kerja sebagai bagian dari efek domino kebijakan pembatasan sosial dalam mengendalikan penyebaran covid-19.

DKI Jakarta sebagai ibu kota negara–-pusat ekonomi politik nasional dan pintu gerbang Indonesia--tak pelak menjadi episenter covid-19 yang memengaruhi mobilitas dan aktivitas warga. Berbagai sektor pembangunan ibu kota terkena dampak serius, terutama sektor ekonomi, kesehatan, dan kondisi kesejahteraan masyarakat, khususnya masyarakat miskin dan rentan miskin.

Seperti terlihat pada grafik, dua tahun sebelum pandemi, tingkat kemiskinan di DKI Jakarta mengalami tren penurunan hingga 3,47% pada 2019. Angka terendah sejak 2012 dan jauh di bawah angka kemiskinan nasional, yang mengantarkan DKI Jakarta menjadi provinsi dengan tingkat kemiskinan paling rendah saat itu.

Hal tersebut tidak saja menandakan tingkat kesejahteraan warga DKI Jakarta lebih tinggi jika dibandingkan dengan daerah-daerah lainnya, tetapi juga menunjukkan kondisi yang semakin baik dari periode 5 tahun sebelumnya antara 2012 dan 2017, dengan jumlah dan proporsi penduduk miskin yang cenderung naik. Kondisi kehidupan warga DKI Jakarta yang berkualitas kendati terdampak pandemi juga terekam secara lebih komprehensif dalam indeks pembangunan manusia (IPM) yang terus meningkat. Skornya mencapai 80,77 pada 2020 yang menjadikan DKI Jakarta sebagai satu-satunya provinsi dengan status capaian IPM yang sangat tinggi (skor 80). Setara dengan kondisi pembangunan manusia negara-negara maju. Pada 2021, IPM DKI Jakarta kembali naik mencapai 81,11 (BPS, 2022).

Menurut Program Pembangunan Perserikatan Bangsa-Bangsa (UNDP), IPM merupakan gabungan indikator penting untuk mengukur tingkat kualitas hidup manusia yang dibentuk tiga dimensi dasar, yaitu umur panjang dan hidup sehat (a long and healthy life), pengetahuan (knowledge), dan standar hidup layak (decent standard of living). Namun, akibat tekanan pandemi, seperti yang terjadi di tingkat nasional dan global, kemiskinan di DKI Jakarta meningkat. Pada September 2020, angka kemiskinan mencapai 4,69% atau naik dari tahun sebelumnya. Kemudian sedikit berkurang pada September 2021, yaitu 4,67% (lihat grafik).

Perlu dicatat, dengan tingkat kemiskinan yang sangat rendah–-di bawah 5%, DKI Jakarta dihadapkan pada tantangan dalam menghapus kerak kemiskinan (hard-core poverty). Kemiskinan yang berada pada titik terendah membuatnya sulit untuk ditangani karena kelompok termiskin berada dalam keadaan yang jauh lebih rumit dari sekadar keterbatasan finansial. Terlebih dalam kondisi krisis akibat pandemi.

Kesenjangan spasial di DKI Jakarta dengan tingkat kemiskinan di Kepulauan Seribu yang mencapai dua digit, menjadi tantangan tersendiri. Capaian IPM Kabupaten Kepulauan Seribu, kendati terus meningkat dari tahun ke tahun, juga masih berada di bawah rerata skor IPM DKI Jakarta, yang sudah sangat tinggi. Tidak hanya itu, bersamaan dengan jumlah penduduk miskin yang sangat rendah, perlu dipastikan bahwa kelompok yang berada sedikit di atas garis kemiskinan tidak akan jatuh miskin. Terlebih dengan adanya pandemi, banyak kelompok rentan miskin mengalami pengurangan, bahkan kehilangan pendapatan.

Dengan demikian, keberhasilan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta menurunkan tingkat kemiskinan yang sudah sangat rendah, terutama sebelum pandemi, patut menjadi sumber pembelajaran dan inspirasi bagi pemerintah pusat dan daerah dalam mengakselerasi penanggulangan kemiskinan di Indonesia. Hal tersebut tidak lepas dari kebijakan dan strategi inovatif yang dijalankan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta melalui platform kolaborasi, melibatkan berbagai pemangku kepentingan, baik dari unsur pemerintah maupun aktor nonpemerintah, di pusat dan daerah.

Pada level mikro, selain terus meningkatkan cakupan penerima manfaat dan kualitas pelaksanaan paket perlindungan sosial reguler, baik yang bersumber dari kas pusat maupun daerah, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta mengembangkan skema perlindungan sosial inklusif dalam bentuk bantuan tunai kepada kelompok masyarakat paling rentan, seperti warga lanjut usia (lansia), anak-anak, perempuan, dan penyandang disabilitas. Kelompok itu juga menikmati secara gratis sejumlah layanan jasa publik dan fasilitas infrastruktur fisik yang nyaman. Pada gilirannya kehidupan mereka yang berkualitas berkontribusi positif terhadap kondisi hidup keluarga dan masyarakat luas.

Perluasan dan reformasi perlindungan sosial di DKI Jakarta dilaksanakan secara paralel dengan pemberian insentif ekonomi bagi sektor riil dan pemberdayaan UMKM. Dari sekitar 1,1 juta UMKM yang ada di Ibu Kota, lebih dari seperempat--hampir 290.000 UMKM--telah tercatat menjadi anggota pelaku usaha binaan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta. Melalui gerakan kolaborasi yang dikemas dalam platform kolaborasi sosial berskala besar (KSBB) guna mempertemukan pemilik sumber daya dengan kebutuhan warga, berbagai inovasi bantuan sosial dan pemberdayaan masyarakat miskin tumbuh di Ibu Kota. Sejak diberlakukan pada 2018, KSBB telah mencakup berbagai sektor, yaitu pangan, UMKM, pendidikan, permukiman, persampahan, dan ketenagakerjaan dengan ratusan kolaborator nonpemerintah serta ratusan ribu keluarga penerima manfaat.

Selain itu, inisiatif kalangan nonpemerintah dalam melindungi dan memberdayakan warga miskin menjamur di Ibu Kota, dari bantuan sosial, peningkatan kapasitas dan dukungan teknis, hingga pemberdayaan ekonomi. Berbagai inisiatif ini datang dari dunia usaha dan filantropi, organisasi masyarakat sipil dan media, serta perguruan tinggi dan lembaga think-tank/riset.

Di tingkat makro, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta cukup mampu menjaga stabilitas makroekonomi dengan mengendalikan inflasi, khususnya harga kebutuhan pokok, sehingga daya beli masyarakat miskin tidak tergerus. Untuk mengakselerasi capaian-capaian di atas dengan tantangan yang tidak ringan, terutama dampak lanjutan pandemi, dibutuhkan kebijakan dan strategi terobosan. Selain memperluas skema perlindungan sosial reguler dan pemberdayaan ekonomi produktif, perlu menyiapkan peta jalan transformasi perlindungan sosial bersasaran berdasarkan ranking kemiskinan menuju sistem perlindungan sosial universal yang mencakup seluruh warga Ibu Kota.

Peta jalan tersebut mencakup perluasan skema perlindungan sosial inklusif berbasis pendekatan siklus hidup (life-cycle approach) untuk menjangkau kelompok termiskin dan paling rentan yang telah dirintis di DKI Jakarta. Perlindungan sosial inklusif, baik dalam bentuk bantuan sosial maupun jaminan kesehatan, membutuhkan integrasi dengan keuangan inklusif, usaha sosial rintisan (social entrepreneurship) dan usaha produktif, serta layanan sosial dasar yang berkualitas yang ditopang inovasi berbasis teknologi.

Untuk menghubungkan berbagai program dan layanan tersebut dengan kebutuhan masyarakat, layanan sosial satu pintu (single window social service) bagi warga miskin dan rentan miskin menjadi kebutuhan mendesak. Layanan itu juga dapat berfungsi sebagai pusat data (data hub), termasuk pemutakhiran data secara reguler yang terhubung dengan basis data kependudukan dan registrasi sosial ekonomi yang sedang dikembangkan pemerintah pusat.

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya