Headline

Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.

Fokus

Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.

Siapa Inisiator 6 Jam di Yogyakarta

Guntur Soekarno Pemerhati sosial
24/3/2022 05:15
Siapa Inisiator 6 Jam di Yogyakarta
(MI/Duta)

MELALUI Keputusan Presiden (Keppres) No 2 Tahun 2022, tanggal 1 Maret ditetapkan sebagai Hari Penegakan Kedaulatan Negara. Hal tersebut merupakan pelaksanaan prinsip tidak sekali-kali meninggalkan sejarah dari Bung Karno oleh Presiden Joko Widodo. Kita kaum patriotik menyambut baik ketetapan tersebut. Secara prinsip sebagai langkah maju sikap pemerintah terhadap masalah-masalah yang menyangkut sejarah bangsa. 

Sejauh yang penulis tahu dari penuturan-penuturan Bung Karno, Komandan DKP (Detasemen Kawal Pribadi) Mangil Martowidjojo, dan khususnya dari kitab Bung Karno Penyambung Lidah Rakyat yang ditulis Cindy Adams, penulis sedikit banyak mempunyai pandangan yang cukup luas mengenai proses terjadinya Serangan Umum 1 Maret yang terkenal dengan serangan umum 6 jam di Yogyakarta. Ketika itu Yogyakarta sebagai ibu kota negara dapat dikuasai oleh gerilyawan selama lebih kurang 6 jam.

Penulis juga mendapatkan cerita dan informasi langsung dari pelaku-pelaku pertempuran tersebut yang merupakan anak buah Mangil Martowidjojo. Ketika itu beberapa anak buahnya yang sedang tidak bertugas melompat pagar belakang Gedung Agung dan bergabung dengan pasukan-pasukan yang sedang bertempur dengan pasukan Belanda di kawasan alun-alun Yogyakarta. Mereka antara lain Sudijo, Ramelan, Maria Hudaja dan beberapa orang lagi yang penulis lupa namanya, tetapi sangat teringat wajahnya.

Sehubungan dengan adanya keppres tersebut ada beberapa hal menarik yang akan penulis bahas dalam artikel ini. Bahkan beberapa hal yang saat ini masih menjadi polemik di kalangan masyarakat, terutama sejarawan-sejarawan kita. Pertama, siapa sebenarnya penggagas utama dari adanya Serangan 1 Maret yang membuat kolonialis Belanda bertekuk lutut selama 6 jam di Yogyakarta. Apakah Sri Sultan Hamengkubuwono, Sudirman, atau Suharto?

Bila kita berpegang pada penuturan Bung Karno, penggagas utama itu ialah Ngarso Dalem Sri Sultan Hamengkubuwono yang ketika itu selalu mengikuti perkembangan politik internasional melalui radio Belanda (Hilversum). Saat itu dinyatakan bahwa pemerintah RI di Yogyakarta sudah menyerah dan eksistensinya tidak ada lagi. Hal tersebut membuat Sri Sultan Hamengku Buwono mengambil inisiatif agar TNI, gerilyawan, dan Laskar Rakyat melaksanakan serangan umum ke ibu kota Yogyakarta, serta menugaskan Komandan Wehrkreise III Letnan Kolonel Suharto memimpin serangan umum tersebut. Ketika itu, Suharto beserta keluarganya sedang mondok/tinggal di kawasan Keraton Yogyakarta.

Pendapat lain yang ada penggagas utama serangan umum tersebut adalah Panglima Besar Jenderal Sudirman yang saat itu sedang bergerilya di luar Yogyakarta. Ia mengeluarkan Surat Perintah Siasat Nomor 1 Tahun 1948 agar Letkol Suharto melaksanakan serangan umum ke Yogyakarta pada 1 Maret 1949. Dalam hal ini penulis lebih berpegang kepada apa-apa yang diutarakan oleh Bung Karno mengenai siapa penggagas utamanya. Karena sebagai pimpinan gerilya yang selalu berpindah-pindah tempat, sulit untuk Panglima Besar Sudirman mengikuti ataupun mengetahui situasi politik yang berkembang secara internasional.


Hal yang perlu diperbaiki

Walaupun penulis belum pernah membaca secara detail Keppres Nomor 2 Tahun 2022, dari sumber-sumber yang patut dipercaya, terutama rekan-rekan pengamat masalah militer di kelompok PA GMNI, ternyata pada keppres tersebut nama Letkol Suharto sebagai pelaksana serangan umum tidak tercantum di dalamnya. Hal tersebut sangat disayangkan karena menyangkut realitas sejarah. Untuk itu alangkah baiknya bila nama Letkol Suharto dapat termuat di dalam keppres tersebut agar tidak meninggalkan fakta sejarah. Hanya bagaimana caranya terus terang penulis kurang paham karena bukan ahli di bidang hukum.

Biarkanlah pakar-pakar hukum kita yang mencarikan jalan keluar terbaik sehingga keppres tersebut dapat  dipertanggungjawabkan dari sudut sejarah. Hal lain yang perlu disempurnakan adalah pendapat AH Nasution yang kala itu menjabat Panglima Komando Jawa. Menurut Nasution, serangan umum tersebut dilaksanakan oleh Letkol Suharto dengan berpedoman kepada Perintah Siasat Nomor 1 dari Panglima Besar Sudirman. 

Sejauh yang penulis ketahui Perintah Siasat Nomor 1 tersebut di dalamnya berisikan taktik dan strategi yang harus dilaksanakan oleh gerilyawangerilyawan keseluruhan dalam melawan kolonialisme Belanda. Sama sekali tidak menyinggung nama pelaksana serangan umum tersebut. Perintah tersebut adalah berhubungan erat dengan pertemuan Bung Karno dengan Panglima Besar Sudirman ketika kolonialis Belanda mulai merangsek Yogyakarta dari Bandar Udara Maguwo.

Dalam pertemuan tersebut Bung Karno sebagai Panglima Tertinggi Angkatan perang menginstruksikan agar masalah penyelesaian politik diserahkan kepada dirinya yang akan tetap tinggal di ibu kota, dan memerintahkan agar Panglima Besar Sudirman keluar ibu kota untuk melakukan perang gerilya dengan seluruh anak buahnya di hutan-hutan, di lembah-lembah bahkan di desa-desa yang ada. (Cindy Adams, Soekarno: Penyambung Lidah Rakyat)

Hal terakhir yang menurut penulis harus diluruskan adalah penetapan hari penegakan kedaulatan negara seperti yang dimaksud dalam keppres tersebut. Karena menurut penulis Republik Indonesia tidak pernah mengalami jatuh kedaulatan atau menyerahkan kedaulatan sekecil apa pun kepada pihak kolonialis Belanda. Memang benar dan merupakan fakta sejarah bahwa kolonialis Belanda menyatakan kepada dunia kedaulatan RI sudah tumbang, dan tidak diakui lagi oleh pihak Belanda. Oleh sebab itulah Sri Sultan Hamengku Buwono IX mengambil inisiatif agar diadakan serangan umum ke ibu kota Yogyakarta agar dunia sadar bahwa tidak benar kedaulatan Indonesia tumbang dan tidak diakui lagi eksistensinya.

Jadi menurut hemat penulis, revisi atau perbaikan terhadap adanya keppres tersebut perlu dalam rangka pelurusan fakta-fakta sejarah. Tujuannya agar jangan terjadi kontroversi atau ketidaksepahaman di dalam tubuh bangsa Indonesia mengenai proses terjadinya Serangan Umum 1 Maret 1949. Seperti yang sudah penulis utarakan, masalahnya bagaimana cara yang tepat untuk merevisi keppres yang sudah terlanjur diterbitkan.

Seperti juga banyak khalayak masyarakat tidak mengetahui latar belakang mengapa Mayjen Suharto ditunjuk/diangkat oleh Bung Karno menjadi Panglima Mandala dalam rangka persiapan invasi ke Irian Barat. Dari penuturan Bung Karno ketika sedang berpikir keras siapa figur yang paling cocok untuk dijadikan Panglima Mandala, ia bertanya kepada Mangil Martowidjojo terkait hal tersebut. Mangil menjawab mengapa tidak ditunjuk Mayor Jenderal Suharto saja, mengingat kolonialis Belanda paling kecut hati menghadapi Suharto karena perannya yang amat spektakuler ketika memimpin Serangan Umum 1 Maret 1949. Atas saran dan penjelasan Komandan DKP tersebut Bung Karno menyetujui Suharto sebagai Panglima Mandala.

Kini tugas pakar-pakar hukum dan sejarawan-sejarawanlah yang harus dapat mencarikan dan menemukan jalan keluar terbaik, agar revisi keppres tersebut dapat berjalan di atas relnya sehingga Keppres tersebut benar-benar sejalan serasi dengan fakta sejarah.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik