Headline

Presiden sebut negara butuh kepolisian tangguh, unggul, bersih, dan dicintai rakyat.

Fokus

Puncak gunung-gunung di Jawa Tengah menyimpan kekayaan dan keindahan alam yang luar biasa.

Ambisi Tinggi Pendanaan Perubahan Iklim

Masyita Crystallin Staf Khusus Menkeu bidang Fiskal dan Makroekonomi Sherpa dalam Koalisi Menteri Keuangan untuk Perubahan Iklim
18/2/2022 05:10
Ambisi Tinggi Pendanaan Perubahan Iklim
(Ilustrasi)

MINGGU ini, perhelatan G-20 diselenggarakan di Jakarta dengan Indonesia sebagai pemegang presidensi. Selama empat hari, negara-negara G-20 berkumpul sebagai bagian dari finance track, yaitu pertemuan tingkat Deputi Bank Sentral (FCBD) dan pertemuan para menteri keuangan dan Gubernur Bank Sentral (FMCBG).

Isu perubahan iklim menjadi salah satu isu penting dalam G-20, terutama dalam kelompok kerja keuangan berkelanjutan (sustainable working group) yang membahas bagaimana negara-negara G-20 dapat berkontribusi dalam pencapaian Perjanjian Paris. Salah satu isu yang paling utama dalam pencapaian itu tentu terkait pendanaan untuk mencapai nol-bersih (net zero).

Pencapaian nol-bersih semakin menemukan titik terang pasca-COP 26 di Glasgow. Kini, dunia masih dalam fase menuju pemanasan 2,4 derajat Celsius di atas era praindustri. Ini merupakan keberhasilan bersama karena enam tahun lalu pemanasan global dilansir pada 3,7 derajat. Namun, pencapaian ini belumlah cukup sebab tiap 1 derajat di atas 1,5 ialah ancaman bagi keberlanjutan planet dan kehidupan. Sementara itu, jendela kesempatan untuk mengurangi pemanasan global ini akan tertutup dan kita berkejaran dengan waktu untuk secara global melakukan upaya bersama.

Satu hal penting dari pencapaian emisi nol-bersih ialah memastikan transisi menuju rendah karbon yang adil dan terjangkau. Untuk itu, isu pembiayaan hijau menjadi faktor kunci berjalannya transisi. Berbagai upaya penggalangan dana hijau dilakukan di skala global. Salah satunya ialah Persekutuan Glasgow untuk Nol-Bersih (GFANZ) yang berhasil menggalang peran sektor swasta untuk membiayai agenda transisi emisi nol-bersih di negara berkembang hingga US$130 triliun. Demikian halnya Aliansi Energi Global untuk Manusia dan Planet (GEAPP) yang menjanjikan US$100 miliar bagi pembiayaan infrastruktur energi bersih dan pekerjaan yang terdampak transisi ini. Tak ketinggalan, pembentukan dana adaptasi baru sebesar US$351,6 juta juga disambut baik oleh masyarakat internasional.

 

Ambisi dan kesenjangan 

Masyarakat internasional berharap Indonesia dapat mencapai ambisi dan 'angsuran' iklim tersebut. Sebagai salah satu negara penyandang predikat paru-paru dunia, keberhasilan Indonesia dalam agenda perubahan iklim menjadi bagian integral kesuksesan Perjanjian Paris. Penerbitan pendanaan inovatif green sukuk, pemberian berbagai insentif untuk menarik minat sektor swasta terhadap sektor ekonomi hijau, serta dikeluarkannya Peraturan Presiden No 98/2021 tentang Nilai Ekonomi Karbon menjadi komitmen keseriusan Indonesia. Hal itu menjadi pembuka peluang signifikan bagi pemanfaatan sumber-sumber baru pembiayaan iklim internasional, baik dari sektor publik maupun swasta dan baik secara sukarela maupun wajib.

Dinamika Glasgow membuka peluang lebar peningkatan ambisi iklim secara kontinu di Indonesia. Dengan terdefinisikannya pasar karbon internasional pada Pasal 6 Perjanjian Paris, potensi Indonesia menjadi lebih terbuka sebagai salah satu destinasi pasar terbesar negara lain--termasuk sektor swasta--dalam merealisasikan target penurunan emisi mereka. Terlebih lagi dengan inisiatif GFANZ, pendanaan catalytic antara swasta dan publik berpeluang lebih besar untuk terwujud.

Dengan demikian--sebagai salah satu negara yang berpotensi paling terimbas perubahan iklim--Indonesia tentu menyambut baik pendekatan kreatif dan antisipatif masyarakat internasional dalam pembiayaan agenda iklim. Namun, di Glasgow, terlepas dari semua capaian yang ada, tidak luput terkuak kekecewaan besar dari kelompok negara berkembang. Komitmen pembiayaan iklim oleh masyarakat internasional masih lemah dan masih senjang antara harapan dan kenyataan.

Dana anual US$100 miliar yang dijanjikan guna membantu negara berkembang dalam membiayai mitigasi dan adaptasi yang kiranya jatuh tempo pada 2020 kini dimundurkan tenggat diskusinya menjadi 2025. Belum lagi isu monitoring dan evaluasi target pendanaan ini perlu diperjelas untuk memastikan pencapaian target bersama yang akuntabel dan transparan.

Diskusi mobilisasi dana tersebut diharapkan tak sekadar terealisasi lebih cepat, tetapi juga lebih inklusif, akuntabel, dan transparan serta mencakup spektrum pandangan dan masukan yang lebih luas. Negara-negara maju juga diharapkan dapat lebih memahami kendala-kendala di lapangan. Maka dari itu, sangat penting bagi negara maju dan negara berkembang untuk bekerja sama dengan erat, baik dalam menentukan proyek-proyek potensial, memastikan kelayakan pembiayaan termasuk fasilitas untuk de-risking seperti penjaminan, maupun mengembangkan sistem monitoring dan evaluasi yang jelas dan realistis.

Sebagai negara dengan bauran energi, pembangkit listrik, dan devisa ekspor yang masih sangat bergantung terhadap bahan bakar fosil, keberhasilan transisi energi Indonesia butuh komitmen keuangan yang tak kecil. Proses memensiundinikan PLTU tentu akan membutuhkan pendanaan dari bank swasta, organisasi multilateral, dan/atau hibah dari negara lain, baik untuk akuisisi maupun penghentian waktu operasi lebih dini.

Keberhasilan proses ini vital ditentukan diakuinya aktivitas transisi ekonomi hijau dalam taksonomi ekonomi hijau. Pengambilalihan PLTU batu bara untuk penghentian operasi lebih dini, misalnya, bukan investasi di bidang energi fosil, melainkan diperlukan dalam transisi energi sehingga perlu dipandang sebagai transisi ekonomi hijau. Malangnya masih terdapat gap; lanskap pendanaan perubahan iklim internasional saat ini belum mengakui proses akuisisi-transisi yang sebenarnya esensial dalam mendukung perubahan struktur ekonomi dan bauran energi Indonesia ke depan.

Mengapa hal ini penting? Dengan diakuinya aktivitas transisi seperti transisi energi ini sebagai bagian dari transisi hijau, akses terhadap pendanaan untuk aktivitas ini menjadi terbuka. Alih-alih mendapat akses dana perubahan iklim, kealpaan dunia melihat aktivitas ini sebagai aktivitas transisi justru dapat menghambat akses ke pendanaan.

Oleh karena itu, pada momentum kepemimpinan G-20 Indonesia, inisiatif kolektif untuk menutup jurang tersebut patut disuarakan lebih lantang. Indonesia, dengan menggalang suara negara berkembang lainnya, harus menyerukan kepada negara-negara maju untuk menutup kesenjangan komitmen pendanaan iklim yang telah dijanjikan. Di saat bersamaan, menuntut kepastian aturan main dan mekanisme pemberian greenmium (premium untuk proyek hijau) agar negara-negara berkembang dapat lebih mudah mengakses pendanaan internasional tersebut.

Keinginan Indonesia untuk menjadi negara berpenghasilan tinggi (high-income country) pada 2045 perlu diiringi dengan kepemimpinan yang memastikan keberhasilan mencapai pembangunan berkelanjutan, termasuk di dalamnya transisi menuju emisi nol-bersih secara adil dan terjangkau. Jendela kebijakan tak akan membuka selamanya. Oleh sebab itu, momentum Presidensi G-20 ataupun koalisi menteri-menteri keuangan untuk aksi iklim (coalition of finance ministers for climate action) sudah sepantasnya menjadi mimbar Indonesia untuk asah, asih, asuh, dan sung tuladha kepada negara-negara berkembang lain serta memimpin mereka di garis terdepan dengan beraspirasi dan secara aktif membentuk pandangan dunia perihal transisi ekonomi hijau. Dunia membutuhkan Indonesia.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik