Headline
Pemerintah tegaskan KPK pakai aturan sendiri.
BEBERAPA waktu lalu, Frances Haugen, mantan karyawan Facebook, bersaksi di depan Subkomite Senat Amerika bahwa Facebook membahayakan anak-anak, memicu perpecahan, dan melemahkan demokrasi. Ia berharap Senat Amerika Serikat bisa memperketat regulasi tentang Facebook.
Kritik Haugen sebenarnya merefleksikan kekhawatiran banyak orang tentang efek negatif dari media sosial. Pada 2019, muncul film dokumenter The Social Dilemma yang menggambarkan bahwa media sosial membuat masyarakat begitu terpolarisasi dan terbelah. Menariknya, film tersebut dibintangi dan diproduksi orang-orang yang sebelumnya berada di balik pendirian dan pengembangan raksasa media sosial, seperti Facebook, Twitter, Instagram, dan lain-lain.
Efek polarisasi akibat media sosial juga telah berimbas pada masyarakat Indonesia yang terpolarisasi dengan adanya dua pemilu besar pada 2014 dan 2019. Polarisasi masyarakat akibat pemilu difasilitasi media sosial yang penuh dengan kebencian dan prasangka.
Polarisasi dan perpecahan itu tentu menodai spirit persatuan dan kebinekaan yang dibangun para pendiri bangsa. Bhinneka Tunggal Ika sebagai semboyan bangsa Indonesia seolah telah dikubur dalam-dalam ketika para tokoh agama justru sibuk bersilat lidah untuk menjatuhkan kelompok lain. Pengkhianatan terhadap nilai-nilai kebinekaan ini sejatinya ialah pengkhianatan terhadap bangsa sekaligus agama.
Kebinekaan
Jika Indonesia memiliki semboyan Bhinneka Tunggal Ika, Islam memiliki Al-Hujurat ayat 13. Ayat tersebut dengan begitu tegas membenarkan prinsip kebinekaan bahwa Tuhan menciptakan manusia berbeda suku, ras, bangsa, hingga keyakinan merupakan agar manusia saling mengenal dan memahami. Islam melarang perpecahan, bukan perbedaan karena perbedaan merupakan sebuah keniscayaan.
Menurut Sukidi, seorang pembaru Islam penerus Cak Nur, umat Islam harus meneguhkan visi baru Islam. Selain visi tentang kebinekaan, visi baru Islam yang ia gelorakan tersebut ialah visi persatuan, kesetaraan, kebebasan, dan kemanusiaan.
Kita hendaknya belajar dari sebagian negara mayoritas muslim yang gagal menjadi sebuah negara. Secara umum, salah satu faktor terpenting yang membuat sebuah negara menjadi negara gagal ialah tidak adanya persatuan di tengah-tengah masyarakat. Harga yang harus dibayar dari sebuah konflik begitu mahal hingga menyebabkan sebuah negara menjadi negara gagal.
Maka itu, jika Indonesia tidak mau masuk ke jurang kegagalan, masyarakat Indonesia harus kembali meneguhkan komitmen persatuan. Di saat yang sama, umat Islam di Indonesia sebagai mayoritas juga harus meneguhkan komitmen persatuan. Pengkhianatan terhadap persatuan ialah pengkhiatan terhadap bangsa Indonesia sekaligus pengkhiatan terhadap Tuhan karena Tuhan telah begitu tegas memerintahkan umatnya untuk bersatu. Karena itu, nalar-nalar kebencian dan prasangka buruk yang masih berkecamuk di dalam alam pikiran umat Islam harus segera diusir jauh-jauh. Segala perbedaan yang runcing dan tajam di tengah umat harus disikapi dengan dewasa.
Musuh kita bukanlah sesama anak bangsa. Musuh kita merupakan sifat merasa paling suci, tinggi hati, kebencian, dan prasangka buruk terhadap orang lain. Dengan segenap sifat-sifat itu, tentu rasanya sulit mewujudkan persatuan yang utuh untuk mewujudkan Indonesia yang maju.
Islam merupakan agama yang mengandung nilai-nilai kesetaraan. Tuhan tidak membedakan manusia atas warna kulit, ras, etnis, dan suku. Orang yang mulia di mata Tuhan ialah orang yang paling bertakwa. Sementara itu, yang bisa menilai ketakwaan hanyalah Tuhan semata.
Maka itu, kita harus menjaga diri kita agar tidak merasa paling suci dan bersikap rendah hati. Kita tidak bisa mengatakan orang lain sebagai orang yang salah atau tersesat. Setiap orang tidak boleh memutlakkan pikirannya sendiri karena yang mutlak hanyalah Tuhan.
Islam juga merupakan agama yang menjunjung tinggi kebebasan, termasuk kebebasan untuk memilih keyakinan. Islam tidak sedikit pun memaksa siapa pun untuk memeluk agama Islam. Islam membebaskan setiap orang untuk memegang keyakinannya sendiri. Sejatinya, segala bentuk tindakan permusuhan terhadap kelompok minoritas yang selama ini dianggap sebagai kelompok heretic ialah tindakan yang dilarang. Perusakan terhadap tempat ibadah umat Syiah, Ahmadiyah, atau yang lainnya merupakan tindakan yang melawan konstitusi sekaligus melawan ajaran Islam itu sendiri.
Kita bisa belajar dari Eropa yang telah mengalami perang agama berdarah selama ratusan tahun. Perang tersebut disebabkan adanya keyakinan bahwa umat beragama lain merupakan pelaku bidah yang harus bertaubat atau dimusnahkan. Karena itu, tokoh-tokoh yang menjunjung tinggi kebebasan melarikan diri ke Amerika dan mendirikan negara Amerika Serikat.
Pelajaran tersebut seharusnya begitu berarti bagi masyarakat di Indonesia. Jika masyarakat Indonesia terus-menerus mengobarkan kebencian kepada kelompok beragama yang lain, yang terjadi ialah pengkhianatan terhadap nilai-nilai kebebasan itu sendiri.
Penghargaan terhadap nilai kebebasan berarti penghargaan terhadap nilai kemanusiaan karena jika kita membebaskan seseorang untuk memeluk agama apa pun, berarti kita mengakui orang tersebut sebagai manusia merdeka yang berhak menentukan pilihan hidupnya sendiri. Sebaliknya, jika kita tidak memberikan kebebasan kepada orang lain untuk memeluk keyakinannya, berarti kita telah mengebiri nilai kemanusiaan yang inheren di dalam diri orang tersebut.
Visi baru Islam ialah penghayatan kembali nilai-nilai kebinekaan, persatuan, kesetaraan, kebebasan, dan kemanusiaan yang secara tegas ada di dalam agama Islam. Pengkhianatan terhadap lima visi tersebut berarti pengkhianatan terhadap konstitusi bangsa sekaligus pengkhianatan terhadap Tuhan. Maka itu, sudah saatnya media sosial kita isi dengan narasi-narasi yang meneduhkan, menyatukan, menyetarakan, membebaskan, dan memanusiakan manusia.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved