Headline

Dalam suratnya, Presiden AS Donald Trump menyatakan masih membuka ruang negosiasi.

Fokus

Tidak semua efek samping yang timbul dari sebuah tindakan medis langsung berhubungan dengan malapraktik.

Kualitas Hidup Perempuan di Masa Pandemi

Razali Ritonga Pemerhati Fenomena Sosial- Kependudukan, Alumnus Georgetown University, AS, dan Lemhannas RI angkatan ke-46
31/12/2021 05:00
Kualitas Hidup Perempuan di Masa Pandemi
(Ilustrasi)

PENCAPAIAN pembangunan manusia di Tanah Air kian kukuh berada di kategori tinggi. Laporan UNDP (2020) menunjukkan Indonesia
berada di peringkat ke-107 dari 189 negara dengan nilai indeks sebesar 0,718.

Namun, pencapaian pada kategori tinggi itu sayangnya hanya berlaku bagi laki-laki, sementara pembangunan manusia untuk perempuan masih berada di kelompok menengah bawah. Adapun nilai indeks untuk perempuan sebesar 0,694, atau di bawah nilai 0,70 sebagai batas bawah pembangunan manusia kategori tinggi. Sedangkan nilai indeks pembangunan manusia untuk laki-laki sebesar 0,738.

Ditengarai, dampak pandemi covid-19 yang telah berlangsung  hampir dua tahun mendistorsi kualitas hidup perempuan. Publikasi PBB The Impact of Covid-19 on Women (9/4/2020) menyebutkan bahwa perempuan menghadapi dampak terberat akibat covid-19, baik secara domestik maupun dalam pasar kerja.

Secara domestik, perempuan menghadapi menurunnya pendapatan rumah tangga, namun di sisi lain dituntut dapat menyiapkan kebutuhan keluarga, seperti konsumsi pangan, perawatan anak, dan pekerjaan rumah tangga. Sementara itu, dalam pasar kerja, pekerja perempuan menghadapi risiko PHK dan pengurangan jam kerja, serta kebangkrutan bagi mereka yang berusaha di sektor informal.


Kesenjangan kapabilitas

Ditengarai, faktor lebih rendahnya kapabilitas perempuan jika dibandingkan dengan laki-laki menyebabkan perempuan menghadapi risiko lebih berat akibat dampak covid-19. Lebih rendahnya kapabilitas perempuan pada gilirannya menyebabkan posisi tawar (bargaining position) perempuan baik secara domestik maupun pasar kerja menjadi rendah. Dalam konteks ini, ada dua dimensi penting yang mendasari aspek kapabilitas, yaitu umur panjang dan sehat, serta pendidikan dan pengetahuan.

Dalam dimensi umur panjang dan sehat sebenarnya perempuan memiliki keunggulan dibandingkan dengan laki-laki. Keunggulan itu, antara lain direpresentasikan dengan umur harapan hidup perempuan yang lebih tinggi dibandingkan dengan umur harapan hidup laki-laki. Tercatat, di Tanah Air umur harapan hidup perempuan 74,0 tahun, sedangkan umur harapan hidup lakilaki 69,6 tahun (UN, 2020).

Namun, sayangnya, meski perempuan berumur lebih panjang, namun sebagian dalam kondisi kurang sehat, termanifestasi dari perempuan yang mengalami anemia dan berisiko tinggi mengalami kematian saat hamil dan pascamelahirkan. Indonesia termasuk salah satu negara di kelompok tinggi angka kematian ibu.

Derajat kesehatan perempuan pada pada masa pandemi covid-19 bahkan terancam kian menurun akibat mengalami hambatan pemeriksaan kesehatan, terutama saat hamil dan pascamelahirkan. Disadari memang di masa pandemi kunjungan ke layanan kesehatan tidak mudah dilakukan. Survei UNICEF di 77 negara menunjukkan bahwa hampir 68% dari 77 negara itu mengalami disrupsi pemeriksaan kesehatan. Akibat kurangnya pemeriksaan secara rutin bagi ibu hamil menyebabkan risiko tinggi kehilangan bayi yang dikandung, melahirkan prematur, dan kematian ibu (UNICEF, 2020).

Selain akibat kondisi kesehatan yang kurang optimal, rendahnya kapabilitas perempuan juga diakibatkan oleh derajat pendidikan yang lebih rendah dibandingkan dengan laki-laki. Hal ini tercermin dari rata-rata lama sekolah (mean years of schooling/MYS) perempuan yang lebih rendah (7,8 tahun) dibandingkan dengan MYS laki-laki (8,6 tahun) (UN, 2020).

Pencapaian pendidikan pada perempuan pada masa pandemi ini terancam melambat. Pengalaman menunjukkan bahwa ketika bencana
terjadi perempuan kerap menjadi korban pertama baru disusul laki-laki. Pada masa pandemi saat ini, perempuan terpaksa putus sekolah karena faktor kesulitan ekonomi rumah tangga.

Bahkan orangtua kerap mendorong anak perempuannya untuk segera menikah yang ditengarai untuk meringankan beban ekonomi keluarga. Maraknya perkawinan anak di Tanah Air merupakan bagian dari fenomena global yang menunjukkan peningkatan yang mengkhawatirkan di masa pandemi. Laporan UNICEF (2021) menyebutkan terjadi penambahan perkawinan anak secara global sebayak 10 juta orang akibat dampak pandemi.

Secara faktual, maraknya perkawinan anak pada masa pandemi menyebabkan kemunduran dalam pencegahannya selama sepuluh tahun terakhir. Pada tataran global, dalam satu dekade terakhir terjadi penurunan kasus perkawinan anak sebanyak 15%, atau 1 di antara 4 anak menjadi 1 di antara 5 anak perempuan yang melangsungkan perkawinan.

Dengan kapabilitas rendah akibat kondisi kesehatan kurang optimal dan pendidikan lebih rendah mengakibatkan posisi tawar perempuan dalam pasar kerja menjadi rendah. Perempuan terpaksa bekerja pada status pekerjaan dengan upah rendah, terutama di sektor perdagangan dan jasa, atau pendapatan rendah yang berusaha di sektor informal.

Menurut World Economic Forum/WEF (2019), untuk setiap US$1 upah atau pendapatan laki-laki, perempuan hanya menerima upah atau pendapatan 54 sen dolar AS. Lebih jauh, WEF memperkirakan perlu waktu 202 tahun agar tercapai kesetaraan pendapatan untuk perempuan dan laki-laki.

Berdasarkan kriteria standar hidup layak dengan ukuran purchasing power parity/PPP 2017, pendapatan per kapita perempuan US$7.902, sedangkan pendapatan per kapita laki-laki hampir dua kali lipatnya, yaitu US$14,902 (UN, 2020). Secara faktual, standar hidup layak bagi perempuan yang rendah merupakan dimensi terparah penyebab pembangunan manusia untuk perempuan tertinggal dibandingkan laki-laki.

Sejatinya, kontribusi perempuan untuk menambah pendapatan rumah tangga, terutama pada perempuan yang berstatus single parent, suami tidak bekerja atau berpendapatan rendah, dan/atau memiliki banyak tanggungan amat diperlukan agar kehidupan di masa pandemi tidak terpuruk. Khususnya pada perempuan, faktor pendapatan itu amat menentukan kualitas hidupnya baik dari sisi pembiayaan kesehatan maupun pendidikan.

Secara faktual, hal itu sepatutnya menjadi perhatian serius bagi bagi ketiga pilar sekaligus, yaitu pemerintah, dunia usaha dan masyarakat. Meski semuanya kini tengah disibukkan dalam penanganan covid-19 sepatutnya jangan sampai mengurangi perhatian terhadap perempuan, terutama dalam soal kesehatan, pendidikan, dan pasar kerja.

Bahkan, perhatian terhadap perempuan menurut badan PBB (2020) dapat mempercepat pemulihan ekonomi di tengah masyarakat,  terutama dalam geliat sektor informal dan UMKM, serta peningkatan konsumsi rumah tangga untuk peningkatan kesempatan kerja dan pertumbuhan ekonomi.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya