Headline

. AS kembali memundurkan waktu pemberlakuan tarif resiprokal menjadi 1 Agustus.

Fokus

Penurunan permukaan tanah di Jakarta terus menjadi ancaman serius.

Kompetensi Guru dan Disrupsi Digitalisasi Pendidikan

Yosefina Rosdiana Su Dosen Unika Santu Paulus Ruteng Mahasiswa S-3 Universitas Negeri Semarang
26/11/2021 05:00
Kompetensi Guru dan Disrupsi Digitalisasi Pendidikan
(MI/Seno)

PANDEMI covid-19 semakin menguatkan diskursus digital transformation dan urgensinya di lingkungan pendidikan. Penerapan social distancing selama masa pandemi bak blessing in disguise telah menjadi titik tolak perjumpaan yang intim antara aktivitas dunia pendidikan dan teknologi dalam skala yang masif dan holistis. Peningkatkan konektivitas berbagai praktik pendidikan dengan teknologi kini menjadi spirit yang menjiwai transformasi sistem pendidikan yang bermuara pada digitalisasi pendidikan. Sebagai tokoh sentral dalam pendidikan, apa yang bisa diupayakan agar kompetensi guru hari ini bersinergi dengan disrupsi digitalisasi pendidikan? Gagasan ini menjadi tema utama yang dibagikan melalui tulisan ini.

 

Transformasi sistem pendidikan

Mewujudkan Indonesia Emas pada 2045 mendorong semua pihak untuk melakukan revolusi dalam berbagai bidang, terutama dalam pembangunan sumber daya manusia (SDM). Mimpi ini menempatkan pendidikan sebagai faktor determinan yang akan menentukan sejauh mana bangsa ini dapat berlari dan bersaing secara global untuk mewujudkan Indonesia yang maju, sejahtera, berdaulat, dan bermartabat. Menariknya, dunia pendidikan hari ini sedang ditantang untuk melakukan digital transformation dalam berbagai aspeknya sebagai implikasi dari revolusi Industri 4.0 yang memengaruhi berbagai kebijakan dalam skala global.

Literasi digital di lingkungan sekolah menjadi salah satu upaya yang marak dikampanyekan dalam mempersiapkan digitalisasi pendidikan. Pada dasarnya, implementasi konsep literasi digital dalam lingkungan pendidikan ditandai dengan pengembangan berbagai program, termasuk kurikulum dan perangkat pembelajaran yang terintegrasi dengan perangkat-perangkat teknologi digital (Tim GLN Kemendikbud, 2017). Untuk mendukung literasi digital, pemerintah secara konsisten mengupayakan pemerataan pembangunan infrastruktur digital hingga ke pelosok negeri agar lebih banyak sekolah memiliki akses internet ataupun perangkat teknologi digital lainnya. Pada 2020, Pusdatin Kemendikbud merilis 19% atau 42.159 sekolah terdata belum mendapatkan akses internet, sedangkan 81% (175.365 sekolah) di seluruh Indonesia kini telah dilengkapi dengan infrastruktur penunjang digitalisasi pendidikan.

Selain itu, Kemendikbud-Ristek juga telah melakukan berbagai terobosan konstruktif melalui peluncuran sejumlah platform pembelajaran digital, seperti Rumah Belajar, Guru Berbagi, Guru Belajar, yang memberikan kemudahan kepada guru dalam mengimplementasikan digital learning. Pemerintah juga menyediakan bantuan kuota internet bagi guru untuk memfasilitasi kebutuhan pembelajaran digital. Berbeda dengan platform berbayar yang dikelola pihak swasta, guru diberikan kemudahan untuk mengakses platform-platform tersebut secara gratis.

Dalam konteks pengembangan profesi guru, program-program yang secara substantif berorientasi pada penguatan SDM guru dalam menghadapi digitalisasi pendidikan juga telah diupayakan (contoh: program Guru Penggerak). Sayangnya, program pengembangan profesi guru yang revolusioner ini belum menjangkau guru dalam skala besar. Setiap sekolah mungkin hanya memiliki satu atau dua guru penggerak dengan tuntutan dan tanggung jawab yang riskan. Selain itu, 'kekhususan' ini bisa saja menciptakan kesenjangan lainnya dalam komunitas guru dan pendidik yang dikhawatirkan akan berpengaruh pada produktivitas dan kinerja guru di lingkungan sekolah.

 

Analisis kesenjangan 

Secara empiris, Survei Pemetaan Kondisi Pembelajaran Digital di Indonesia yang diselenggarakan UNICEF mencatat bahwa sampai dengan 2020, masih ada 67% guru dari seluruh Indonesia yang belum memiliki pengetahuan, kemampuan, keterampilan, serta aksesibilitas yang dibutuhkan untuk melaksanakan digital learning. Lebih jauh, UNICEF dalam kajian yang sama juga melaporkan bahwa masih banyak guru di Indonesia yang belum mampu mengintegrasikan substansi kurikulum dan rencana pembelajaran yang berorientasi pada digitalisasi pendidikan.

Kompetensi yang dikuasai guru hari ini tampaknya belum cukup mampu merespons akselerasi teknologi dalam bidang pendidikan yang semakin jauh melampaui kemampuan guru untuk beradaptasi. Menariknya, data statistik terkait dengan bonus demografi Indonesia menempatkan Gen Z, dengan persentase 27% sebagai generasi yang mendominasi komposisi penduduk hari ini dan seterusnya (Data Sensus BPS, 2020). Data ini menjelaskan bahwa hari ini hingga puluhan tahun ke depan, ruangan-ruangan kelas akan diisi generasi Z yang merupakan native digital generation.

Ryan Jenkins (2017) dalam tulisannya, Four Reasons Generation Z will be the most Different Generation, menyebut generasi ini sebagai boundary-less generation, generasi tanpa batasan yang secara global terkoneksi dengan teknologi dan memiliki karakteristik yang sama sekali berbeda dengan generasi sebelumnya. Ketidakmampuan guru dalam mengintegrasikan pembelajaran dan kurikulum dengan teknologi akan menciptakan kesenjangan kompetensi antara guru dan peserta didik.

 

Transformasi kompetensi guru

Kebijakan yang konstruktif harus diimbangi juga dengan kapasitas pelaksana kebijakan. Digitalisasi pendidikan tidak akan bisa terwujud apabila kompetensi guru yang merupakan mesin utama yang menggerakkan roda pendidikan tidak bersinergi dengan kebutuhan pendidikan digital. UU Nomor 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen menetapkan Kompetensi Pedagogik, Kompetensi Kepribadian, Kompetensi Sosial, dan Kompetensi Profesional sebagai empat (4) kompetensi dasar yang harus dikuasai seorang guru.

Hemat penulis, keempat kompetensi ini harus didukung dengan satu kompetensi penting lainnya, yaitu kompetensi digital. Guru harus 'dipaksa' keluar dari ketakutan ataupun keengganannya untuk melaksanakan pembelajaran yang terintegrasi dengan teknologi. Harus ada regulasi yang mengatur 'keharusan' ini agar kebijakan ini bisa menjangkau setiap guru secara individu dan bukan hanya sekelompok orang. Untuk itu, pemerintah perlu mempertimbangkan untuk menempatkan kompetensi digital sebagai kompetensi wajib yang harus dimiliki guru abad ini selain empat kompetensi dasar (pedagogik, profesional, sosial, dan personal).

Selanjutnya, implementasi kurikulum Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) pada program studi pendidikan dan keguruan idealnya dapat diarahkan pada kegiatan-kegiatan di luar program studi yang secara substansi dapat mendukung pengembangan kompetensi digital para calon guru. Salah satunya ialah dengan menjaring kerja sama dengan perusahaan-perusahaan rintisan/startup yang berbasis pendidikan (cotoh: Ruang Guru, Zenius Education) yang kini lebih dikenal dengan istilah edutech (education and technology) daripada sekadar terlibat dalam kegiatan-kegiatan asistensi mengajar di sekolah. Menciptakan software pembelajaran tentu bukan kompetensi utama para calon guru. Meskipun demikian, pilihan kegiatan MBKM ini akan memberikan pengalaman bagi para calon guru dalam mengembangkan dan mengelola konten-konten tutorial dan pembelajaran daring melalui platform-platform digital yang tersedia sesuai dengan disiplin ilmu masing-masing.

Mengutip apa yang disampaikan Jack Ma, tokoh perekonomian dunia, dalam pertemuan tahunan World Economic Forum pada 2018, tuntutan revolusi industri ialah tantangan besar bagi dunia pendidikan. Dalam hal ini jika praktik pendidikan tidak bersinergi dengan tuntutan revolusi 4.0, jangan kaget kalau 30 tahun ke depan kita akan mengalami kesulitan dalam memperoleh SDM yang mampu berkompetisi secara global.

Guru, pelaku pendidikan, dan peserta didik tak lagi bisa berkilah. Ketidaktersediaan infrastruktur ataupun kendala teknis lainnya tak lagi bisa dijadikan alasan untuk bersembunyi dari ketakutan kita akan teknologi. Perlahan tapi pasti, sistem pendidikan terus bermetamorfosis dari pembelajaran tradisional menuju pembelajaran digital. Selanjutnya, guru harus menjadi tokoh sentral yang mampu menggerakkan cakra pendidikan nasional ke arah yang futuristis dan relevan dengan tuntutan digitalisasi pendidikan.

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik