Headline
. AS kembali memundurkan waktu pemberlakuan tarif resiprokal menjadi 1 Agustus.
. AS kembali memundurkan waktu pemberlakuan tarif resiprokal menjadi 1 Agustus.
Penurunan permukaan tanah di Jakarta terus menjadi ancaman serius.
KETIKA publik bergunjing soal geopolitik strategis AUKUS (aliansi militer 3 negara: Australia, Inggris, dan AS), tetiba sebuah pepatah klasik teringat kembali. Lengkapnya berbunyi: ketika gajah berkelahi dengan gajah, pelanduk mati di tengah.
Ekspresi ini merujuk kepada keadaan manakala ada dua kekuatan yang kuasa berseteru, pihak yang lemah menjadi korban. Metafora itu dikait-padankan dengan kemungkinan implikasi politik AUKUS terhadap negara-negara di kawasan Asia Pasifik, termasuk Indonesia.
Terbersit kekhawatiran, AUKUS berpotensi memicu perlombaan senjata di kawasan Asia Pasifik, terutama di Laut China Selatan. Tak mustahil terjadi konflik terbuka. Jika itu terjadi, negara-negara yang lebih lemah di kawasan itu justru merugi. Jadi korban. Bagai pelanduk mati terjepit di tengah ketika dua gajah saling tak mau kalah. Menjadi pertanyaan, bagaimana agar pelanduk tak mati di tengah?
Para pengamat geopolitik internasional nyaris sepakat. Niat terselubung di balik pembentukan aliansi militer AUKUS untuk menghadapi kebangkitan ekonomi dan militer Tiongkok di Laut China Selatan. Sejak ditahbiskan oleh Bank Dunia sebagai ekonomi terbesar kedua di dunia setelah AS pada 2010, pandai benar Tiongkok mengapitalisasi status itu untuk kepentingan ekonomi dan militer strategisnya di berbagai belahan dunia, termasuk di Laut China Selatan.
AS, sebagai kekuatan yang sudah lama bercokol di Asia Pasifik (resident power), tentu gusar dengan kebangkitan ekonomi dan militer Tiongkok (emerging power) ini. Sepertinya AS tak begitu yakin, aliansi militernya dengan Jepang dan Korea Selatan cukup efektif menghadang Tiongkok. Dalam konteks rivalitas AS-Tiongkok inilah, persepsi strategis Indonesia dan ASEAN mestinya diformulasikan.
Dalam perspektif geopolitik, pembentukan AUKUS membetot perhatian dan membuhulkan kekhawatiran ASEAN dan Indonesia. Sebab, pertama, beberapa anggota ASEAN (Filipina, Vietnam, Malaysia, dan Brunei) sedang bersengketa dengan Tiongkok terhadap kepemilikan Spratly Island. Filipina dan Vietnam pernah terlibat ketegangan kecil dengan Tiongkok, di wilayah perairan tsb. Andai saja kedua belah pihak, aliansi AUKUS dan Tiongkok, miskalkulasi dalam menangani potensi konflik di wilayah itu, bukan tidak mungkin ASEAN terseret dalam perebutan teritori yang mengarah pada konflik terbuka.
Kedua, bagi Indonesia sendiri, agresivitas Tiongkok di Laut China Selatan riskan bersenggolan dengan kepentingannya di ZEE di utara Natuna. Dengan dalih, berhak atas wilayah perairan sekitar Natuna berdasar klaim sepihak nine-dash line-nya, nelayan Tiongkok (dengan dikawal oleh coast guard) mencuri ikan diperairan ZEE Natuna. Perilaku ilegal seperti ini jika tidak ditangani dengan bijak oleh kedua belah pihak bisa menjadi impetus konflik di kawasan.
Ketiga, The Economist (25 September 2021) pernah melansir persepsi ancaman Tiongkok terhadap AUKUS. Diungkapkan, berdasar data Center for Strategic and Budgetary Assessment (CSBC), lembaga think tank AS, kapal selam nuklir Australia mampu melakukan patroli sampai Samudra Hindia, Laut China Selatan, dan Okinawa (selatan Jepang). Berbeda dengan kapal selam konvensional yang hanya bisa on station di bawah laut selama 2 minggu, kapal selam nuklir mampu sampai 2,5-3 bulan.
Banyak hal bisa dilakukan dalam jangka waktu itu, seperti pengumpulan data intelijen dan penggelaran pasukan khusus. Ini yang dikhawatirkan Tiongkok. Pembentukan AUKUS dengan kapal selam nuklir Australia yang daya jelajahnya mampu merangsek sampai ke Laut China Selatan jelas menggoda Tiongkok meningkatkan kemampuan militer lautnya. Pada titik ini, perlombaan senjata dan penggunaan kekuatan sangat mungkin terjadi. Salah kalkulasi, bisa dengan mudah memantik konflik terbuka. Kemungkinan situasi seperti ini yang mesti diantisipasi Indonesia dan ASEAN.
Namun, seberapa besar kemungkinan perang terbuka? Agak sulit membayangkan perang terbuka frontal antara Tiongkok dan aliansi AUKUS di kawasan Asia Pasifik, khususnya di Laut China Selatan. Setidaknya dalam jangka pendek. Pengamat Australia berpandangan, pembentukan pakta militer AUKUS di Asia Pasifik, dalam perspektif geopolitik, tak ubahnya seperti aliansi militer negara Barat untuk menghadapi Rusia di Eropa (Joe Wheatley, Fear, Honour and AUKUS in the Indo-Pacific, The Strategy Bridge, November 2021).
Secara teoretik dan praksis, stabilitas di Eropa terjamin selama ini karena ada perimbangan kekuatan di sana. Rusia tak berani macam-macam karena di sana ada aliansi militer NATO. Dalam konstruksi pemikiran seperti ini, banyak pihak melihat keberadaan AUKUS sebagai faktor pengimbang kebangkitan militer Tiongkok. Keseimbangan seperti ini yang dipercaya dapat menjaga stabilitas kawasan, sedemikian sehingga dapat menekan kemungkinan konflik terbuka.
Ada pepatah lama: rich man does not go to war. Maksudnya, jika orang sudah kaya, mereka tak mau berperang. Metafora ini cocok dengan keadaan Tiongkok sekarang. Tiongkok sedang menikmati kejayaan ekonominya. Perang di halaman sendiri, hanya akan menghancurkan segala kenikmatan itu. Adapun, tiga negara AUKUS kecil kemungkinan mau berkonflik langsung dengan Tiongkok secara militer. Jikapun terjadi konflik, paling hanya berupa proxy war, menggunakan negara ketiga.
Dalam konteks inilah, ASEAN harus bijak dalam mengambil posisi. Salah langkah, hanya akan membenamkan negara anggotanya ke dalam kenistaan locus of proxy war. Hanya menjadi ajang pertarungan kekuatan negara lain. Dalam konflik Laut China Selatan, boleh jadi AS dan sekutuya menggunakan tangan Vietnam dan Filipina. Sebab, Filipina terang-terangan mendekat ke AS dan mendukung AUKUS, sementara antara AS dan Vietnam sudah ada tanda-tanda rapproachment.
Negara lemah (secara ekonomi) di ASEAN rentan sekali untuk menjadi locus of proxy war. Ingat saja, bagaimana mudahnya Tiongkok menekan Kamboja untuk tidak memasukkan isu Laut China Selatan dalam Komunike Bersama Menlu ASEAN di Kamboja, Juli 2012. Ini hanya menegaskan betapa sulitnya posisi negara yang lebih lemah untuk menolak keinginan negara kuat.
Sulit benar pelanduk ambil posisi mandiri ketika gajah berkelahi. Menjadi penting: bagaimana agar pelanduk tidak terjepit mati? Pertama, ASEAN dan Indonesia harus terus mempertahankan konsep ASEAN Centrality. Artinya, Indonesia harus ambil peran melibatkan ASEAN dalam setiap forum regional yang membahas masa depan Asia Pasisfik agar suara dan kepentingannya ikut dipertimbangkan. Kerja sama ekonomi regional intra-ASEAN harus diperdalam, terutama dalam membangun konektivitas dan infrastruktur maritim.
Kedua, Indonesia harus melakoni equal distance strategy dalam berhubungan dengan negara-negara yang berkepentingan dengan kawasan Asia Pasifik dan Laut China Selatan. Mengundang investor dari Tiongkok, Jepang, Korea Selatan dan AS untuk mengembangkan pulau-pulau terluar bisa menekan potensi konflik ke level minimum. Menggeliatnya ekonomi pulau terluar akan meneguhkan effective occupation dan menegaskan kehadiran negara.
Berkembangnya ekonomi Natuna berkat investasi berjemaah Tiongkok, Jepang, Korea Selatan dan AS , menjadi faktor penekan terjadinya konflik terbuka di Natuna. Jikapun terjadi konflik terbuka di Spratly Island, Natuna insya Allah aman. Sebab, rasionalitas ekonomi mengajarkan, mana ada negara yang mau merugi dan mengorbankan investasinya hanya gara-gara konflik yang terjadi di tempat lain.
Strategi equal distance dalam pembangunan Natuna di satu sisi dapat menegaskan kehadiran negara. Di sisi lain, menekan konflik terbuka antara gajah-gajah. Dengan mengajak para gajah ikut investasi berjemaah, pelanduk tak kan mati di tengah.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved