Headline

. AS kembali memundurkan waktu pemberlakuan tarif resiprokal menjadi 1 Agustus.

Fokus

Penurunan permukaan tanah di Jakarta terus menjadi ancaman serius.

Long Covid-19 dan Bekerja Kembali

Palupi Agustina Djayadi Dokter Spesialis Kedokteran Okupasi, Pengurus Perdoki Jabar
05/11/2021 05:00
Long Covid-19 dan Bekerja Kembali
(MI/Seno)

PANDEMI masih belum usai dan terus memicu berbagai isu di masyarakat. Salah satunya ialah keluhan kesehatan terkait dengan covid-19 yang berkepanjangan. Banyak penyintas covid-19 yang telah dinyatakan sembuh. Namun, masih terus memiliki berbagai keluhan dalam periode bervariasi antara dua pekan dan lebih dari tiga bulan. Hal ini dikenal sebagai long covid-19.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menyatakan satu dari 10 penyintas covid-19 mengalami long covid-19 syndrome. Jumlah ini cukup besar. Davis dkk dalam sebuah studi yang melibatkan lebih 3.000 responden dari 56 negara menyatakan keluhan terbanyak yang dialami penderita long covid-19 ialah keluhan kelelahan atau fatiguemalaise/lemas, dan gangguan fungsi kognitif.

Selain itu, terdapat pula gejala lain, seperti nyeri kepala, nyeri dada, nyeri otot, gangguan tidur, dan sesak napas. Sejumlah hipotesis dikemukakan sebagai penyebab long covid-19. Salah satunya masih adanya pengaruh inflamasi, trombosis, dan autoimun yang terus bereaksi terhadap sejumlah organ dan sistem dalam tubuh.

 

Evaluasi

Long covid-19 berdampak serius pada kualitas hidup seseorang, termasuk kehidupan sosial dan kemampuan untuk kembali ke dunia kerja. Padahal, karena alasan finansial dan psikologis, penyintas covid-19 berharap untuk segera kembali bekerja. Mereka butuh aktualisasi diri, dukungan psikologis, dan tentu saja pendapatan.

Semua hal ini dapat difasilitasi dengan ‘kembali bekerja’. Namun, isu kembali bekerja tentu bukan isu sederhana karena terkait dengan beberapa dilema. Di antaranya apakah penyintas sudah siap secara fisik ataupun psikis untuk kembali melakukan pekerjaannya semula. Lalu, adakah kemungkinan pekerjaannya dapat memperburuk kondisi kesehatannya dan apakah kondisinya akan membahayakan lingkungan kerja serta rekan kerjanya?

Untuk menjawab pertanyaan di atas, diperlukan suatu penilaian atau evaluasi detail kondisi kesehatan pekerja yang disebut sebagai return to work assessment (RTW). Secara sederhana, RTW ialah penilaian kelaikan kerja pada seseorang yang akan kembali bekerja, setelah orang tersebut mengalami sakit/cedera yang signifikan sehingga diharapkan dapat bekerja secara efektif dan efisien, tanpa risiko yang signifikan.

Tentu saja kelaikan kerja di sini ialah kelaikan kerja dalam sudut pandang medis. Untuk RTW, harus dilakukan suatu penilaian, bukan hanya terhadap aspek kesehatan pekerja, melainkan juga tuntutan atau beban kerja yang dihadapi (baik fisik, psikis, maupun sosial). Kondisi khusus yang dihadapi pekerja, kendala yang dihadapi saat kembali bekerja, tingkat penerimaan perusahaan dan kolega, serta peraturan atau regulasi terkait dengan RTW yang berlaku pada suatu negara dan perusahaan. Jadi, tentu saja ini bukan merupakan proses sederhana.

Penilaian RTW merupakan salah satu kompetensi dokter spesialis kedokteran okupasi. Saat melakukan evaluasi RTW, dokter okupasi akan mengacu pada konsensus Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Okupasi (Perdoki) terkait langkah penilaian laik kerja.

Secara garis besar, dalam penentuan kelaikan seseorang untuk kembali bekerja melalui tahap berikut. Pertama, apakah dengan kondisi kesehatannya saat ini, seseorang dapat memenuhi tuntutan tugas yang diberikan perusahaan pemberi kerja? Kedua, apakah terdapat suatu impairment/keterbatasan atau bahkan disabilitas dalam menjalankan tugasnya? Ketiga, apabila terdapat suatu kondisi kesehatan yang menyebabkan seseorang belum/tidak mampu memenuhi beberapa tuntutan tugasnya, adakah upaya toleransi dari perusahaan ataupun individu itu sendiri?

Untuk menjawab pertanyaan: ‘apakah seorang penderita covid-19 telah dapat bekerja kembali?’, dokter okupasi biasanya mensyaratkan sejumlah hal, tergantung pada keadaan kesehatan pasien, jenis pekerjaan dan beban kerja yang akan dilakukan, serta regulasi yang berlaku. Salah satu syarat yang harus dipenuhi terkait dengan kondisi kesehatan ialah pekerja itu sudah tidak memiliki keluhan seperti batuk, demam, dan sesak napas.

Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Departemen Kesehatan Amerika Serikat (CDC) merekomendasikan waktu untuk kembali bekerja bagi tenaga kesehatan penyintas covid-19 berkisar 10-20 hari sejak pertama kali timbul gejala dan atau hasil tes positif covid-19. Syarat lain, hasil tes usap PCR pekerja sudah negatif. Meski telah memenuhi kedua syarat di atas, sebagian perusahaan meminta pekerja untuk juga menjalani pemeriksaan kesehatan lengkap (full medical check up) sebelum kembali bekerja.

Selanjutnya, dokter okupasi akan melakukan evaluasi kesehatan pekerja dan implikasi terhadap kemampuan pekerja dalam memenuhi syarat-syarat tertentu, sebelum menentukan pekerja fit untuk kembali bekerja. Tentu saja, syarat-syarat ini berbeda antara satu pekerja dan pekerja lain, antarindustri satu dengan industri lainnya.

Mengapa syarat-syarat ini bisa berbeda, dari satu pekerja ke pekerja lain? Alasannya, setiap pekerja mengalami tingkat keparahan berbeda serta jenis dan tuntutan pekerjaan yang juga berbeda. Ada pekerja yang tingkat keparahannya sangat minimal dan pekerjaannya tidak menuntut kondisi fisik yang sangat prima. Pada kondisi ini persyaratan RTW lebih sederhana.

Ini tentu berbeda dengan kasus seorang pekerja penyintas covid-19 yang masih mengalami keluhan exercise intolerance, yang jenis dan beban kerjanya mengharuskannya berjalan kaki jauh dan menaiki tangga. Mungkin secara klinis, kondisi kesehatan individu ini sudah dapat memenuhi tuntutan tugas yang diberikan. Namun, tidak menutup kemungkinan akan terdapat suatu impairment/keterbatasan dalam menjalankan proses tersebut. Artinya, bila memang benar pekerja harus kembali bekerja, diperlukan toleransi dari perusahaan untuk mengakomodasi hambatan ini. Misalnya, pengurangan jam kerja atau modifikasi waktu kerja. Diharapkan toleransi ini dapat memberikan sejumlah waktu istirahat untuk individu itu hingga kondisi kesehatannya benar-benar prima.

Contoh lain, seorang pekerja dengan tuntutan keterlibatan dalam pengambilan keputusan strategis dalam tugasnya. Sementara itu, di sisi lain, ia mengalami keluhan covid-19 berupa penurunan fungsi kognitif dan kesulitan berkonsentrasi. Meski kondisi kesehatannya secara umum baik, karena tuntutan pekerjaan, pekerja ini dipertimbangkan belum laik untuk kembali melakukan pekerjaannya.

Dari kedua contoh di atas, dapat kita lihat bahwa komunikasi dan kerja sama yang baik antara individu pekerja, manajemen, dan dokter pemeriksa diperlukan dalam penentuan kelaikan kerja ini. Individu berhak menyampaikan keluhan kesehatannya kepada dokter pemeriksa. Begitu pula manajemen, berhak menyampaikan tuntutan pekerjaan yang harus diselesaikan pekerja itu kepada dokter pemeriksa. Jadi, dokter pemeriksa akan menjembatani kondisi yang dihadapi berupa pemberian rekomendasi bagi kedua belah pihak.

 

Parameter kelaikan

Terkait dengan long covid-19 syndrome, banyak isu yang harus diselisik, sebelum mengizinkan pekerja masuk kerja kembali. Salah satunya bahwa meskipun pekerja penyintas covid-19-19 telah dinyatakan sembuh dari covid-19 dan hasil tes usap PCR negatif, pada pekerja yang masih memiliki keluhan klinis yang berkepanjangan, hasil tes PCR saja belum cukup untuk dijadikan parameter kelaikan seseorang untuk kembali ke dunia kerja.

Dari rekomendasi yang diberikan CDC di atas, kita bisa melihat bahwa perbaikan gejala klinis menjadi salah satu syarat penentuan waktu yang tepat untuk kembali bekerja bagi penyintas covid-19. Artinya, pada individu yang mengalami long covid-19 syndrome, yakni gejala seperti nyeri kepala, rasa cepat lelah, napas yang pendek, nyeri otot, gangguan fungsi kognitif yang menetap hingga berbulan-bulan lamanya, memerlukan perhatian tersendiri.

Pekerja dengan long covid-19 syndrome baru dapat kembali bekerja jika mampu memenuhi tuntutan pekerjaannya dengan kondisi kesehatannya saat ini, tanpa risiko yang membahayakan kondisi kesehatannya maupun rekan kerja dan lingkungan kerjanya. Sejatinya long covid-19 syndrome merupakan kondisi reversible, selama tidak ada kelainan organik. Tetap semangat dan tetap produktif bagi penyintas covid-19.

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik