Headline
. AS kembali memundurkan waktu pemberlakuan tarif resiprokal menjadi 1 Agustus.
. AS kembali memundurkan waktu pemberlakuan tarif resiprokal menjadi 1 Agustus.
Penurunan permukaan tanah di Jakarta terus menjadi ancaman serius.
TANPA terasa 2021 akan segera berakhir. Memasuki kuartal keempat tahun ini, dinamika seputar perekonomian global semakin menarik dicermati. Itu karena mau tidak mau, suka tidak suka, apa pun yang terjadi pada ekonomi dunia, akan berdampak pada perekonomian Indonesia.
Salah satu peristiwa yang menuai perhatian masyarakat global, tentu berkaitan dengan lonjakan harga komoditas batu bara. Mengacu pada pasar ICE Newcastle, Australia, harga batu bara pada Jumat, 15 Oktober 2021 mencapai US$240/ton. Nilai itu memang turun 2,04% jika dibandingkan dengan sehari sebelumnya, yang tercatat US$245/ton. Kendati demikian, selama sebulan terakhir, harga ‘emas hitam’ sudah melesat lebih dari 35%. Adapun sejak akhir 2020, harga batu bara telah melesat lebih dari 200%.
Melalui ulasan ini, penulis mencoba menganalisis dampak fenomena itu terhadap anggaran pendapatan dan belanja negara (APBN). Selain itu, penulis juga ingin memberikan sumbang saran kebijakan agar kenaikan harga batu bara tidak hanya ‘numpang lewat’.
Dampak terhadap APBN
Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) versi daring milik Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemendikbud-Ristek) mengartikan batu bara sebagai arang yang diambil dari dalam tanah, berasal dari tumbuhan darat, tumbuhan air, dan sebagainya yang telah menjadi batu.
Kita semua sama-sama mengetahui kalau batu bara sudah lama digunakan masyarakat Tanah Air. Penggunaannya beragam, misalnya, untuk memasak (kompor berbahan bakar briket batu bara) atau sebagai sumber energi listrik (melalui PLTU). Lainnya, batu bara memiliki nilai tambah melalui gasifikasi sehingga menghasilkan produk turunan macam urea (bahan baku pupuk), podimethylether (bahan baku elpiji), dan polypropylene (bahan baku plastik).
Berbekal segala manfaat itu, tidak mengherankan bila nilai manfaat ekonomi batu bara begitu besar terhadap negara. ‘Emas hitam’ juga memiliki peran besar dalam APBN yang dikelola pemerintah, terutama dari sisi pendapatan negara. Mengutip dari APBN Kita edisi September 2021, realisasi pendapatan SDA nonmigas hingga 31 Agustus 2021 mencapai Rp28,64 triliun atau 98,39% dari target APBN 2021.
Kenaikan itu disumbang sektor pertambangan minerba, yang menghasilkan Rp24,39 triliun atau tumbuh 84,27% (yoy). Porsi terbesar berasal dari royalti minerba yang hingga Agustus 2021 menyumbang Rp23,48 triliun.
Semua itu dipengaruhi tingginya harga batu bara acuan (HBA) rata-rata Januari sampai Agustus 2021, sebesar US$96,40 per ton, lebih tinggi 59,92% jika dibandingkan dengan periode sama 2020, yang tercatat US$60,28 per ton.
Harga batu bara yang melonjak ini dipicu semakin tingginya harga gas alam di Eropa. Gas alam yang mahal membuat ongkos pembangkit listrik dengan bahan baku itu menjadi lebih mahal dan mulai beralih ke batu bara. Faktor lain ialah permintaan batu bara yang melonjak tajam, khususnya dari Tiongkok.
Dalam kurun waktu Januari hingga Agustus 2021, volume produksi batu bara mencapai 403,32 juta ton, lebih tinggi 7,13% jika dibandingkan dengan periode sama 2020 yang tercatat 376,49 juta ton. Mengingat 2021 tersisa tiga bulan, sudah pasti volume produksi masih akan meningkat.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menargetkan produksi batu bara tahun ini 625 juta ton. Hal itu tertuang dalam Keputusan Menteri ESDM Nomor 66.K/HK.02/MEM.B/2021.
Imbas lain ialah pendapatan negara melalui pendapatan SDA nonmigas berpotensi pula mengalami peningkatan. Sesuatu yang krusial di tengah tekanan lesunya pendapatan negara dari sektor pajak dalam APBN tahun ini.
Pajak tambahan
Sebagaimana dijelaskan di awal, penulis menilai pemerintah perlu menerapkan pajak tambahan di tengah lonjakan harga komoditas macam batu bara. Mengapa ini penting? Sebab pendapatan negara dari batu bara selama ini masuk kategori penerimaan negara bukan pajak (PNBP). Ia tidak signifikan bagi kas negara lantaran jenis-jenis PNBP diatur dalam wujud iuran tetap, royalti, dan lain-lain.
Penerapan pajak tambahan juga bermanfaat kelak di saat pendapatan negara tertekan lagi. Penjelasan sederhananya ialah salah satu faktor yang menyebabkan kenaikan harga batu bara itu krisis energi di Tiongkok. Di saat pertumbuhan ekonomi ‘Negeri Tirai Bambu’ melesat, diperlukan pasokan energi besar, terutama di sektor kelistrikan.
Tak dinyana, Tiongkok kekurangan pasokan batu bara untuk PLTU. Jadi, terjadi pemadaman di sejumlah provinsi.
Tak hanya aktivitas masyarakat, perekonomian pun terganggu. Pemicunya antara lain perang dagang dengan Australia, meskipun kabar terakhir menyebut kalau batu bara asal ‘Negeri Kanguru’ mulai tiba di ‘Negeri Tirai Bambu’. Itu bisa menjadi pertanda kalau tensi negara mulai mendingin. Krisis energi pun bisa-bisa berakhir lebih cepat.
Alasan lain di balik urgensi pengenaan pajak tambahan ialah fenomena lonjakan harga batu bara ini tidak terjadi setiap saat. Beberapa tahun lalu fenomena serupa pernah terjadi. Begitu harga batu bara terjun bebas, pengusaha teriak kesulitan dan memohon perlindungan pemerintah.
Adapun negara karena tiada kebijakan pajak tambahan, tak mendapat tambahan pendapatan. Hal itu jangan sampai terulang kembali kali ini.
Usulan lain masih berkaitan dengan perpajakan. Beberapa tahun lalu, Kementerian Keuangan saat dipimpin Menteri Keuangan Bambang Brodjonegoro menelusuri transaksi aset properti mahal di Jakarta. Usut punya usut, para pembeli bukanlah orang Jakarta dan sekitar, melainkan jutawan baru dari daerah-daerah penghasil batu bara di Tanah Air.
Patut diduga fenomena serupa kembali terjadi kali ini. Untuk itu, petugas pajak perlu saksama mencermati jika ada transaksi pembelian aset properti mahal di Ibu Kota. Kerja sama dengan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dapat dilakukan demi memudahkan kerja-kerja itu. Jika para pembeli sukses ditelusuri, profiling terhadap kewajiban perpajakan mereka bisa dilakukan. Apabila mereka sudah taat pajak, potensi pajak lain dari mereka dapat dikejar. Jika mereka belum tercatat sebagai wajib pajak (WP), di sinilah pemerintah harus berperan menegakkan keadilan dari sisi perpajakan.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved