Headline

Koruptor mestinya dihukum seberat-beratnya.

Fokus

Transisi lingkungan, transisi perilaku, dan transisi teknologi memudahkan orang berperilaku yang berisiko.

Guru-Pendidik dan Kepahlawanan

Fuad Fachruddin Dewan Pengawas Yayasan Sukma
25/10/2021 05:00
Guru-Pendidik dan Kepahlawanan
Fuad Fachruddin Dewan Pengawas Yayasan Sukma(Dok. Pribadi)

TIGA hari lagi kita akan merayakan Sumpah Pemuda. Pada hari itu, 93 tahun yang lalu, para pemuda dari seluruh penjuru Nusantara berkumpul di Batavia untuk menghadiri Kongres Pemuda II yang menghasilkan Sumpah Pemuda. Pada saat itu mereka berikrar bertumpah darah yang satu, tanah air Indonesia; berbangsa yang satu, bangsa Indonesia; dan menjunjung bahasa persatuan, bahasa Indonesia. Menghadiri kongres pada masa itu bukan hal yang mudah. Memerlukan keberanian luar biasa untuk mengadiri acara tersebut.

Dari kejadian tersebut, kita dapat menggali banyak isu penting untuk pelajaran dan bahan kajian, seperti kepahlawanan, patriotisme, dan nasionalisme. Tulisan ini akan difokuskan pada kepahlawanan dalam perspektif pendidikan. Sebagai pendidik, kita perlu mempromosikan nilai-nilai dan konsep kepahlawanan agar dapat menumbuhkembangkan nilai-nilai kepahlawanan kepada siswa kita.

 

Dari kurun ke kurun

Kepahlawanan merupakan topik terbuka yang nyata-nyata memengaruhi individu dan kelompok dengan cara yang luar biasa. Bahkan, pahlawan digambarkan sebagai bantuan terhadap seluruh kehidupan manusia dan menjadi inspirasi bagi filsafat, puisi dan seni, serta berfungsi sebagai kendaraan untuk pembelajaran moral dan metafisik secara mendalam (Campbell, 1949). Ia menjadi bagian dari proses pembangunan bangsa dilihat dari konsep nasionalisme abad 19 (Mathers, Kitchen, 2019).

Karya-karya kepahlawanan dapat membangun masyarakat politik, yaitu komunitas atau gerakan masyarakat yang memiliki tujuan politik tertentu. Kepahlawanan dan narrative heroic bisa membantu menginspirasai masyarakat politik di luar tatanan negara (Kitchen, 2019). Restorasi dan pengakuan akan pentingnya kepahlawanan pada abad 21 ialah signifikan atau penting dalam konteks menakrif ulang konsep kesejahteran dalam budaya kontemporer. Pengembangan kerangka pikir tentang kesejahteraan secara integratif untuk memberdayakan seseorang atau kelompok melalui kepahlawanan dalam keseharian dan cerita kehidupan menjadi penting bagi agenda umum dalam memperbaiki kesehatan mental, fisik, dan spiritual masyarakat pada abad 21 (Efthimiou, Allison & Franco, 2018).

Dengan kata lain, konsep kepahlawanan berkembang secara dinamis sejalan dengan perkembangan kehidupan atau berubah dari generasi ke generasi. Tulisan-tulisan yang bagus tentang pahlawan menyebutkan pentingnya psikologi kepahlawanan dan peran yang dimainkan pahlawan dalam pergerakan, institusi, rezim politik, periode-periode sejarah, dan setiap kehidupan untuk individu dan kelompok. Namun sayang, sampai sekarang, riset yang sistematik dalam literatur ilmu sosial tentang hal ini masih belum banyak (Elaine L, Timothy D; Eric R, 2017)

 

Kepahlawanan dan pahlawan

Pertanyaan yang sering muncul ialah ‘siapa pahlawan dan apa kepahlawanan? Bisakah setiap orang menjadi pahlawan?' Dalam literatur disebutkan bahwa kata ‘pahlawan’ berasal dari bahasa Yunani, hero, yang secara harfiah berarti pelindung atau penjaga. Pandangan historis tentang heroisme menekankan urgensi kemartabatan dari tujuan atau prinsip yang melatari tindakan heroik. Takrif kepahlawanan telah berubah atau berkembang dari generasi ke generasi.

Pahlawan dilukiskan dengan orang-orang yang merefleksikan nilai masyarakat, yang memberikan standar perilaku dan merepsentasikan citra diri ideal dalam pengertian pencapaian atau prestasi dan tindakan altruistik atau keberanian seseorang mengambil tindakan meskipun berisiko fisik. Pahlawan digambarkan dengan sosok yang memiliki perhatian kuat terhadap kesejahteraan generasi ke depan.

Pahlawan merupakan individu-individu yang menunjukkan kebijakan dan keinginan atau hasrat kuat berbuat baik untuk kepentingan orang banyak dan kemampuan melakukan sesuatu yang benar dalam situasi apa pun (kritis). Kepahlawanan menunjuk kepada tingkat risiko yang tinggi dalam pengorbanan diri. Para pahlawan merupakan individu-individu yang memilih suatu tindakan yang penuh tantangan (Kinsella, Richie, Igou, 2017).

 

Menakrif kepahlawanan

Ada dua pendekatan besar dalam menakrifkan pahlawan, yaitu pendekatan objektif dan pendekatan subjektif. Para cendekiawan yang menganut pendekatan objektif menakrifkan kepahlawan dengan merujuk kepada beberapa ide pokok. Pertama, kepahlawanan ialah melakukan satu atau beberapa tindakan yang secara moral baik atau diarahkan kepada menerapkan prinsip-prinsip yang bermartabat atau kebaikan (kemaslahatan) yang lebih besar. Kedua, tindakan baik yang dilakukan mesti luar biasa.

Ketiga, kepahlawanan melakukan pengorbanan yang signifikan. Keempat, heroisme berarti berani mengambil risiko besar. Heroisme ialah kesediaan berkorban atau mengambil risiko untuk kepentingan orang lain atau mempertahankan moral. Pahlawan merupakan individu-individu yang memiliki daya tahan dalam menghadapi kegagalan, mengambil risiko besar, dan mengatasi serta melakukan hal-hal tersebut untuk berkhidmat kepada publik (Allison, Goethals, Kramerm, 2017).

Para promotor atau pendukung pendekatan subjektif berpandangan tidak ada standar atau kriteria absolut dalam menetapkan suatu ambang batas untuk tingkatan kebaikan, keluarbiasaan, pengorbanan atau risiko yang dapat dijadikan dasar untuk menilai nama atau julukan heroik. 'Heroisme berdasar kepada cara pandang seseorang' atau social constructionism. Akademisi atau cendekiawan kelompok ini tidak menakrifkan heroisme berdasarkan cara pandang mereka. Namun, mereka menanya atau meminta dengan sangat baik peserta riset (masyarakat) untuk memberi pendapat tentang beberapa sikap yang dapat menggambarkan pahlawan. Studi tersebut menghasilkan delapan kategori karakter yang menggambarkan pahlawan, yaitu cerdas, kukuh, amanah/dapat dipercaya, tangguh, perhatian, karismatik, tidak ego atau tidak anani, dan memberi inspirasi.

Ritchie & Igou (2015) memperbaiki metodologi menggunakan pendekatan analitik prototipe terhadap konsep karakteristik heroik. Berdasarkan analisis, mereka menemukan 12 karakter utama (pokok), yaitu berani, integritas moral, berprinsip, keberanian, siap berkorban, siap melindungi, jujur, tidak anani, berpikiran kuat, menyelamatkan orang lain, memberi inspirsi, dan ringan tangan, serta 13 karakter minor, yaitu proaktif, rendah hati, kukuh, mau atau berani mengambil resiko, tidak pengecut/penakut, penuh perhatian, kukuh, sayang, memiliki kemampuan memimpin, cerdas, pandai, berbakat, dan hangat/menarik/tidak membosankan.

Kelemahan pendekatan itu ialah secara potensial setiap orang bisa mengeklaim heroisme meski perilakunya hampir dikenal setiap orang yang dekatnya sebagai tindakan yang menyakitkan (Allison, Goethals, Kramerm, 2017). Ada tiga kategori fungsi pahlawan, yaitu mengangkat dan memperbaiki kehidupan orang, mempromosikan moral dan kebajikan, serta melindungi orang lain dari ancaman fisik atau psikologis.

Kepahlawanan bisa dilihat dari perilaku dan karakteristik serta kegiatan heroik seperti disebut di muka. Sebagai penutup, apakah setiap orang bisa menjadi pahlawan? Menurut Kinsella, Ritchie, and Igou (2012), setiap orang merupakan pahlawan dalam kehidupan keseharian. Wallahualam



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik