Headline

Ketegangan antara bupati dan rakyat jangan berlarut-larut.

Banjir Proyek Banjir

Tasroh, Ahli Pengadaan Barang-Jasa Pemkab Banyumas,Tim Penataan Aset Daerah Pemkab Banyumas,Alumnus Ritsumeikan Asia Pacific University, Japan
13/2/2015 00:00
Banjir Proyek Banjir
()
BENCANA banjir yang kini masih melanda Ibu Kota dan daerah di Indonesia ternyata tidaklah dipandang sebagai sebuah 'bencana'. Para birokrat, mulai dari pusat hingga daerah justru telah sekian lama 'bersahabat' dengan bencana banjir seperti ini. Hal itu terlihat dari langgengnya 'proyek' pemerintah yang 'diatasnamakan' sebagai upaya mengatasi bencana banjir.

Sejak era HM Soeharto hingga Joko Widodo, proyek untuk dan atas nama 'mengatasi' banjir sudah berjibun di mana-mana. Lihat saja data Bappenas RI sejak lima tahun terakhir (2009-2014), terpampang jelas besaran alokasi anggaran negara untuk membiayai proyek-proyek infrastruktur guna mengatasi bencana banjir di seluruh Indonesia.

Setidaknya tak kurang dari Rp291 triliun sudah dialokasikan untuk perbaikan, pemeliharaan, dan pembangunan infrastruktur terkait penanganan banjir selama lima tahun terakhir melalui proyek-proyek yang tersebar mulai dari pusat hingga daerah. Bahkan, seiring dengan agenda pemerintahan baru, Jokowi-JK, dalam APBN-P 2015 yang baru saja disetujui DPR RI, seperti disampaikan Presiden Jokowi ketika membahas banjir 'baru' di Istana Negara dengan Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok), telah disediakan anggaran untuk mengatasi banjir di Ibu Kota mencapai Rp2,9 triliun (Kompas, 11/2/).

Anggaran untuk dan atas nama mengatasi banjir tersebut bukanlah anggaran tunggal karena jauh sebelum bencana banjir langganan di Ibu Kota dan sekitarnya, hampir setiap tahun sebelumnya pemerintah pusat dan daerah sekitar Ibu Kota juga sudah menganggarkan belanja untuk mengatasi banjir di daerah masing-masing.

Untuk menegaskan tekad pemerintah dalam mengatasi banjir demikian, sebenarnya dari aspek 'ketersediaan anggaran' sudah lebih dari cukup. Belanja Pemprov DKI di era Ahok saja, misalnya proyek untuk mengatasi banjir sudah membanjiri pos-pos anggaran lainnya. Belanja riset dan kerja sama penanganan banjir Ibu Kota antara Pemprov DKI dan lembaga riset antibanjir Belanda atau pengadaan alat-alat berat pompa air seharga Rp180 miliar, serta keterlibatan berbagai konsultan infrastruktur antibanjir dari dalam dan luar negeri telah menghabiskan APBD DKI dan APBN Kementerian PU mencapai Rp1,7 triliun (2014). Ironisnya, itu justru seolah kian memperburuk geoteritorial landscape kawasan DKI Jakarta, sehingga pakar perkotaan Supriatna menyebutnya sebagai perusakan morfologi tanah kawasan DKI Jakarta.

Atas dasar fakta tersebut, bencana banjir yang seolah telah membuat pemerintah dan warga korban bencana kalut, harus kembali diaudit secara lebih kritis dan tuntas agar tak hanya solusi mengatasi banjir yang dapat dituntaskan, tetapi juga paralel dengan besaran anggaran negara atau daerah yang harus dikeluarkan untuk dan atas nama mengatasi banjir. Pada titik inilah, banjirnya proyek banjir karena maraknya banjir di mana-mana harus disikapi tanpa emosional, apalagi dimanfaatkan untuk sekadar mengeruk keuntungan finansial dalam proyek banjir selama ini.

Dikendalikan
Harus diakui bahwa pendekatan mengatasi banjir di setiap pemerintahan selama ini hanyalah pendekatan 'proyek'. Ketika banjir datang bertubi-tubi dan seolah tak mampu lagi dikendalikan dengan berbagai perangkat material yang tersedia di Indonesia, pemerintah (pusat-daerah) justru terus mengulang kesalahan yang sama, yakni hanya menyediakan 'anggaran' negara atau daerah untuk kepentingan tersebut.

Debat dan masukan dari berbagai pihak pun seolah mengamini apa yang sedang dan telah dilakukan para birokrat yang bertugas mengatasi banjir di berbagai instansi atau lembaga, yakni mengatasi banjir dengan menyediakan anggaran semaksimal mungkin.

Memang tidak salah bahwa untuk mengatasi banjir diperlukan anggaran untuk proyek-proyek mengatasi banjir secara memadai (kuantitas). Namun, jika belajar dari pengalaman penggarapan, perbaikan, pemeliharaan, dan pembangunan proyek-proyek untuk mengatasi banjir secara kualitas belum merefleksikan semangat dan tekad pemerintah mengatasi banjir sejujurnya. Yang terjadi justru sebaliknya, yakni proyek antibanjir dianggarkan berlebihan, tetapi banjir tetaplah datang, bahkan kian mengenaskan.

Misalnya, lihat data Kementerian PU (2014) usia bangunan jalan, drainase, dan jembatan hasil proyek infrastruktur secara nasional justru menunjukkan 55% proyek infrastruktur malah dinilai 'mengundang' bencana banjir. Betapa tidak, tercatat dari 3.831 jenis proyek infrastruktur (pusat-daerah), khususnya jalan dan jembatan umurnya selalu di bawah target usia wajar infrastruktur yang semestinya untuk setiap periode infrastruktur minimal mampu bertahan kuat selama 10 tahun. Ironisnya, daya tahan infrastruktur khususnya terkait pencegahan banjir, longsor, ambles, dan retakan hasil karya proyek-proyek pemerintah (pusat-daerah) rata-rata hanya dua tahun. Bahkan, banyak terjadi proyek infrastruktur yang menyedot dana triliunan rupiah setiap tahun justru hanya seumur jagung, tak ada angin, tak ada banjir, hancur jauh sebelum waktunya.

Pegiat Fitra Uchok Sky Khadafi menyebutkan, bahwa bukan tidak mungkin sebagian anggaran infrastruktur antibanjir justru mengalir ke kantong-kantong birokrat atau kontraktor busuk sehingga mengurangi kualitas infrastruktur antibanjir. Anggaran negara yang semestinya dialokasikan untuk belanja proyek antibanjir justru disunat. Perilaku birokrat demikian harus diwaspadai.

Di sisi lain, secara teknis jika kita saksikan sehari-hari, proyek-proyek infrastruktur demikian secara langsung menerima aneka beban tanpa kendali sekaligus menghadapi dinamika pergerakan dan pergeseran tanah, baik karena evolusi tanah maupun beban berat setiap saat, seiring dinamika pembangunan fisik di berbagai bidang.

Atas dasar 'beban' dan 'ancaman' perusakan infrastruktur demikian, banyak negara maju seperti Jepang yang rela berkorban untuk mendesain dan membangun infrastruktur terbaik dari hasil teknologi terbaik. Tujuannya tak hanya mampu menghadirkan infrastruktur yang dapat dinikmati kenyamanan dan keamanannya bagi manusia pengguna, tetapi juga jauh lebih substantif ialah ramah terhadap aneka bencana, termasuk banjir. Maka, proyek infrastruktur yang menyedot anggaran dan teknologi terbaik pun menjadi keniscayaan.

Untuk alasan tersebut, belajar dari pengalaman selama ini, fakta menunjukkan bahwa banyak atau besarnya anggaran pemerintah untuk dan atas nama mengatasi banjir, atau proyek-proyek antibanjir belumlah paralel dengan kualitas infrastruktur yang benar-benar mencegah bencana banjir. Bahkan, terdapat kecenderungan dalam mengatasi banjir, justru 'banjir proyek banjir' di mana-mana, yakni semua berlomba mengajukan anggaran untuk dan atas nama banjir, nyaris tanpa kendali dan tata kelola yang jujur dan tuntas sehingga yang tersisa hanya kerugian materi dan keuangan negara dari 'proyek' banjir tersebut.

Oleh karena itu, ke depan, pemerintah Jokowi melalui proyek-proyek di sejumlah kementerian dan pemerintah daerah, hemat penulis, harus dikendalikan lebih agresif untuk dihemat, khususnya terkait dengan besarnya anggaran yang harus disediakan. Perbaikan, pemeliharaan, dan pembangunan proyek-proyek infrastruktur harus integral dengan upaya antibanjir dengan memanfaatkan teknologi terbaik serta diuji lebih ketat.

Pada titik ini, pengendalian mutu infrastruktur tidak sekadar dihitung dari target serapan anggaran atau keuangan proyek an sich, tetapi justru dihitung dari kekuatan fisik, daya tahan, dan fasilitas antibencana lainnya. Percuma saja presiden mengeluarkan Instruksi Presiden No 2/2015 tentang Langkah-Langkah Penghematan Anggaran Negara/Daerah, jika faktanya pemerintah sendiri tak mampu mengerem belanja proyek banjir itu sendiri. Jadi, proyek banjir yang kini sengaja dikampanyekan berbagai birokrat di Tanah Air, bukan tidak mungkin sekadar mengeruk rente di tengah penderitaan rakyat dan akhirnya bencana banjir tetaplah rutin dirasakan rakyat sendiri.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya