Headline

Pemerintah merevisi berbagai aturan untuk mempermudah investasi.

Fokus

Hingga April 2024, total kewajiban pemerintah tercatat mencapai Rp10.269 triliun.

Taliban dan Antropologi Feminis Perempuan Muslim

Farid Muttaqin Kandidat PhD Antropologi, State University of New York (SUNY) Binghamton, New York, Amerika Serikat; Pendiri LETSS Talk
07/10/2021 05:15
Taliban dan Antropologi Feminis Perempuan Muslim
Pejuang Taliban(AFP)

KEBERHASILAN Taliban mengambil alih kekuasaan di Afghanistan, membangunkan ingatan masyarakat internasional tentang kebrutalan mereka menangani kelompok-kelompok yang menjadi musuh dan ancamannya. Yang dianggap musuh dan ancaman bukan saja kelompok yang menjadi lawan politik mereka secara langsung. Taliban juga menjadikan warga negaranya, yang dipandang memiliki perilaku dan haluan pemikiran sosial-keagamaan yang tidak sesuai dengan pandangan sosial-keislaman mereka sebagai musuh dan ancaman. Taliban melakukan berbagai teror dan kekerasan hingga pembunuhan terhadap mereka.

Perempuan serta kelompok gender dan seksual minoritas, seperti para bacha posh, tidak lepas menjadi target enemisasi-Taliban. Gender dan seksualitas menjadi skema politik penundukan tersendiri bagi Taliban. Kita tidak bisa melupakan kisah Aisha yang dipotong hidungnya oleh suami hasil perkawinan paksa, semasa Taliban berkuasa pertama kali. Hanya beberapa minggu merebut kekuasaan yang kedua ini, anggota Taliban melakukan kekerasan seksual dan memutilasi seorang gay, yang membuat memori kita tentang kebrutalan Taliban semakin kuat.

Gender dan seksualitas menjadi target politik sendiri bagi Taliban, tidak hanya sebagai alat teror terhadap para musuh dan mereka yang berbeda haluan politik dan keagamaan. Taliban ingin menegaskan klaim atas ideologi dan norma gender serta seksual yang dinilainya paling benar, atau kebenaran tunggal tentang relasi gender dan seksual atas dasar tradisionalisme dan tentang heteronormativisme.

Taliban ingin meresonansi ideologi gender dan seksualnya pada mereka yang mengampanyekan keadilan dan kesetaraan gender serta respek terhadap keragaman seksual. Taliban ingin menunjukkan pada Barat, pada Amerika, hanya norma dan ideologi gender dan seksual tradisional-Islam versi Taliban yang benar dan boleh hidup di Afghanistan.

Di awal-awal Amerika menginvasi Afghanistan, 20 tahun silam, pemerintah dan media di sana mem-blow up retorika bahwa invasi ialah jalan, meminjam ilustrasi elok Spivak, saving brown women from brown men; invasi dibutuhkan untuk menyelamatkan perempuan-perempuan Afghanistan dari para patriarki Islam ala Taliban, yang dikategorikan sebagai teroris.

Emansipasi perempuan menjadi retorika untuk melegitimasi war against Islamic terrorism, gerakan dendam atas traged 9/11. First Lady Barbara Bush sangat sering menyampaikan retorika itu di berbagai wawancara. Bagi politisi dan media Amerika, norma gender dan seksualitas Barat harus menjadi bagian tidak terpisahkan dari war against Islamic terrorism sekaligus civilizing Islam, seiring dengan nilai Barat lainnya, seperti liberalisme, demokrasi, dan hak asasi manusia.

Antropolog feminis merespons retorika politik gender dan seksualitas yang dikumandangkan politisi dan media Barat sebagai artikulasi neokolonialisme. Retorika tersebut tidak lepas dari perspektif kolonialisme dan orientalisme yang berkembang dan menguat secara dominan di kalangan politisi dan media Barat pasca-9/11.

Pandangan ini menegaskan posisi Barat sebagai masyarakat dengan nilai-nilai peradaban luhur, termasuk kesetaraan dan keadilan gender dan mengklaim diri sebagai the savior. Itu karena 9/11 melibatkan komunitas muslim, yang paling menjadi target kolonialisme dan orientalisme pasca-9/11 ialah masyarakat muslim.

Antropolog feminis, seperti Lila Abu Lughod dan Julie Billaud, mengkritik sikap kolonial dan orientalis Barat dengan retorika emansipasi perempuan dan kesetaraan gender ini. Retorika ini menyiratkan tuduhan tentang situasi perempuan-perempuan muslim yang secara seragam berada dalam opresi patriarkisme, konservatisme, tradisionalisme, fundamentalisme, bahkan terorisme Islam.

Para feminis antropolog membuat studi untuk membuktikan dinamika dan heterogenitas relasi gender dan seksual dalam masyarakat muslim serta menjadikan Afghanistan sebagai salah satu lokasi penelitian paling atraktif. Studi ini menegaskan posisi perempuan serta minoritas gender dan seksual dalam relasi gender dan seksual yang tidak selalu dalam situasi sebagai korban lemah tak mampu bersuara (powerless victim).

Sebaliknya, perempuan serta kelompok gender dan seksual minoritas muslim memiliki kemampuan negosiasi dan adaptasi yang dikonseptualisasi sebagai kapasitas agency. Studi antropologi feminis tentang agensi sangat penting untuk men-challenge retorika kolonial dan orientalis yang menyeragamkan situasi gender, dan seksualitas dalam Islam, sebagai legitimasi invasi Barat atas masyarakat Islam, yang dianggap sebagai ancaman utama pasca-9/11.

 

Ancaman kekerasan

Sejauh mana sesungguhnya analisis tentang agensi, benar-benar membantu mereka yang berada di posisi lemah dalam relasi gender dan seksual di Afghanistan dan masyarakat muslim lainnya, mampu meng-exercise power dan mengartikulasikannya?

Saat ini, hari-hari di Afghanistan yang baru beberapa minggu kembali dikuasai Taliban dipenuhi berbagai trauma opresi. Meski juru bicara Taliban menyampaikan pesan damai tentang negara Islam Afgnaistan di bawah Taliban 2.0 yang lebih ‘milenial’, tak lagi terlalu berorientasi teror dan kekerasan, nyatanya tidak sedikit anggota Taliban yang terlibat teror gender dan seksual. Itu termasuk kasus kekerasan seksual dan mutilasi seorang gay itu.

Meski kajian antropologi feminis di atas penting dalam menghadirkan aspek, narasi lain situasi gender dan seksualitas dalam masyarakat muslim di luar versi kolonial, dan orientalis Barat, studi-studi tersebut tidak boleh melenakan kita tentang masifnya ancaman kekerasan dan opresi gender dan seksual di bawah Taliban, dan kelompok-kelompok Islam sealiran di masyarakat muslim lain.

Berbagai studi dan kajian, termasuk dari feminist scholar sekali pun, harus didekati sebagai bagian dari memperkaya informasi tentang situasi sosial yang tidak tunggal dan dinamis serta perlu selalu ditempatkan pada posisi terbuka, tidak menutup temuan dan analisis lain. Bagaimanapun kekerasan dan opresi gender dan seksual dalam masyarakat muslim, seperti Afghanistan di bawah Taliban ialah sebuah realitas, meski dimanipulasi politisi dan media Barat sebagai legitimasi neokolonialisme.

Pasca-9/11 kita juga menghadapi tren politik syariat Islam—termasuk di Indonesia--dengan hukum keluarga, gender, dan seksualitas Islam tradisional sebagai agenda sentral, menguatkan lagi domestikasi perempuan dan kriminalisasi gender dan seksualitas nonofisial.

Memahami adanya opresi gender dan seksual ini, termasuk atas nama politik syariat, membuat kita bisa terus kritis terhadap struktur patriarki dalam Islam dan mendorong gerakan advokasi lebih intensif.

Akhirnya, yang terpenting dari kajian dan studi tentang gender dan seksualitas, khususnya dalam konteks multikultural, bukan pada kesimpulan finalnya, melainkan pada proses membangun berbagai argumen yang sering kali dibarengi data dan informasi yang kaya tentang realitas sosial.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya