Headline

Presiden Prabowo berupaya melindungi nasib pekerja.

Fokus

Laporan itu merupakan indikasi lemahnya budaya ilmiah unggul pada kalangan dosen di perguruan tinggi Indonesia.

Sudahkah Pendidikan Kita Merdeka?

MAHYUDIN Direktur Riset dan Publikasi Yayasan Sukma
16/8/2021 05:05
 Sudahkah Pendidikan Kita Merdeka?
MAHYUDIN Direktur Riset dan Publikasi Yayasan Sukma(Dok.Pribadi)

PADA perayaan Hari Guru 25 November 2019, Mas Menteri Nadiem menyampaikan pidato yang sangat menggugah hati dan pikiran para guru di Indonesia. Bagaimana tidak? Di tengah ketidakjelasan kualitas pendidikan, tuntutan profesionalitas, dan jebakan urusan administratif yang membebani guru, Mas Menteri mengembuskan gagasan merdeka belajar, sekolah merdeka, guru merdeka, siswa merdeka. Apakah sekolah, guru, siswa sudah benar-benar merdeka? Atau hanya sebatas jargon?

 

Janji merdeka

Dalam pidatonya, Nadiem Makarim setidaknya mengucapkan dua janji. Pertama, tugas-tugas administratif guru akan dikurangi. Salah satu tugas administratif yang paling banyak menyita waktu guru ialah menyusun rencana pelaksanaan pembelajaran (RPP). RPP yang sebenarnya bertujuan baik, tereduksi menjadi urusan administratif belaka. Tidak sedikit guru yang hanya copy-paste RPP yang tersedia secara daring di internet. Untuk janji yang satu ini sudah terealisasi. RPP sekarang jauh lebih ringkas, hanya satu halaman yang memuat tiga komponen pokok, yaitu berisi tujuan, kegiatan, dan penilaian, meskipun administrasi yang lainnya masih banyak juga.

Kedua, penyederhanaan kurikulum dan penilaiannya. Sampai sejauh ini, kurikulum masih belum sederhana. Acuan kurikulum yang digunakan masih Kurikulum 2013 (K13). Secara sifat, K13 sangat sentralistik. Dari mulai metodenya, kompetensi inti dan kompetensi dasarnya sudah ditentukan. Selain itu, cara belajar K13 adalah secara tematik, berbeda dengan kurikulum sebelumnya, KTSP, yang cara belajarnya terstruktur dan sistematis.

Dalam sebuah penelitian yang dilakukan oleh Amanda Beatty, Emile Berkhout, Luhur Bima, Menno Pradhan, dan Daniel Suryadarma, Schooling Progress, Learning Reversal: Indonesia’s Learning Profiles between 2000 and 2014, International Journal of Educational Development (2021), ditemukan adanya kesenjangan yang cukup besar antara kemampuan siswa dan standar yang ditetapkan oleh kurikulum nasional. Kemampuan matematika siswa kelas 7 pada 2014 sama dengan kemampuan siswa kelas 4 pada 2000.

Salah satu penyebabnya ialah perubahan kurikulum dari kurikulum tingkat satuan pendidikan (KTSP) menjadi K13. Belajar matematika harus dilakukan secara terstruktur dan runtut. Penguasaan ilmu-ilmu dasar sangat dianjurkan sebelum mempelajari ilmu-ilmu lanjutannya. Sementara dalam K13 belajar secara tematik, penguasaan materi-materi dasar jadi sangat lemah karena siswa belajar melompat-lompat dari tema satu ke tema lainnya sesuai dengan 'petunjuk' dalam buku panduannya. Selain itu, perubahan lain yang mendasar ialah jumlah jam yang berkurang untuk pelajaran matematika dan bahasa, serta metode pengajarannya.

Perubahan kurikulum ini juga kemudian berimplikasi pada perubahan penilaian. Penilaian dalam K13 lebih 'komplet', ada kompetensi inti keterampilan, pengetahuan, sosial, dan spiritual. Bentuk nilainya ada dua, yaitu nilai kualitatif dalam bentuk komentar dan nilai kuantitatif dalam bentuk nilai-nilai angka dan huruf. Penilaian yang diniatkan untuk memberikan penilaian autentik terhadap capaian siswa justru menjebak guru pada tambahan tugas administratif yang tidak sederhana. Hal ini kemudian disiasati dengan rapor yang diinput dengan program-program berbasis Excel yang dibuat secara otomatis mengisi komentar, ketika guru mengisi nilai A, B, dan sebagainya. Semua anak yang mendapatkan nilai A akan mendapatkan komentar yang sama. Padahal nilai A yang dicapai satu anak berbeda dengan nilai A yang dicapai anak yang lain. Alih-alih membuat sederhana, malah menambah rumit.

 

Sekolah merdeka ala Sukma Bangsa 

Jika indikator minimal sekolah merdeka adalah pidato Mas Menteri saat peringatan Hari Guru, Sekolah Sukma Bangsa patut bersyukur. Karena, dua indikator di atas sudah kami laksanakan sejak sekolah mulai operasional pada Juli 2006. Bahkan sejak konsep sekolah ini digagas dan menjadi cetak-biru (blueprint) Sekolah Sukma Bangsa. Dengan penuh kesadaran, kami mencanangkan konsep kurikulum KBK-plus dalam cetak-biru tersebut sebagai kurikulum resmi Sekolah Sukma Bangsa, yang juga merupakan kurikulum resmi nasional.

Selain itu, ada tiga kurikulum lain juga diterapkan di Sekolah Sukma Bangsa, yaitu kurikulum operasional yang merupakan bagian dari kurikulum resmi yang diajarkan kepada siswa dan menjadi basis untuk mengukur pencapaian siswa. Berikutnya ada hidden curriculum, yaitu kurikulum yang mencakup pengalaman dan pemahaman yang diajarkan kepada siswa selama di sekolah, seperti norma, nilai, peranan, dan otoritas. Terakhir adalah extra curriculum, yaitu desain pengalaman belajar untuk siswa di luar materi pelajaran sekolah di mana siswa dapat belajar kepemimpinan, fair play, kompetisi, dan kegiatan non-akademis lain. Lantas bagaimana konsep di atas diimplementasikan dan membuat guru merdeka?

 

Tiga bulan menjelang sekolah akan dibuka untuk pertama kalinya pada 2006, calon-calon guru mengikuti pelatihan dan persiapan sekolah selama tiga bulan. Materi pelatihan meliputi pendalaman subjek, keterampilan komunikasi, kepemimpinan, manajemen konflik berbasis sekolah, dan sebagainya. Di samping itu, para calon guru ini juga harus menyiapkan bahan ajar, dari mulai RPP, alat-alat bantu, lingkungan kelas, dan sebagainya. Itu dilakukan semua untuk menyambut calon siswa mereka kelak. RPP dibuat seideal mungkin dengan metode, strategi, dan bahkan ice-breaking disiapkan sedemikian rupa untuk memecahkan kebuntuan jika dalam proses mereka mengalami stagnasi.

Namun, apa yang terjadi saat siswa datang dari berbagai daerah Aceh ke sekolah? Semua rencana yang dipersiapkan tidak dapat berjalan sebagaimana mestinya. Penyebabnya ialah mereka belum memahami profil siswa mereka meskipun sudah diberitakan sejak awal bahwa siswa yang direkrut adalah korban bencana gempa dan tsunami, dan/atau korban konflik dan/atau korban sosial ekonomi (miskin). Mereka direkrut tanpa tes akademik. Sulit dibayangkan kondisi siswa SMA tidak bisa menyebutkan alfabet dengan benar; tidak bisa melakukan operasi hitung pertambahan yang lebih kompleks; tidak mengerti kata shampoo saat diajarkan materi kimia; dan masih banyak lagi hambatan yang seharusnya tidak perlu terjadi jika dalam kondisi normal.

Dalam kondisi demikian, ada tiga hal mendesak segera dilakukan guru. Pertama, membuat siswa nyaman berada di sekolah dan di asrama; kedua, melakukan baseline test untuk memetakan kemampuan berbahasa dan berhitung siswa, dan ketiga, merevisi RPP sesuai dengan kapasitas siswa. Artinya, guru diberi kepercayaan dan kebebasan penuh untuk mendesain pembelajaran di kelas, termasuk mendesain kurikulum dan penilaian sesuai dengan potensi dasar yang dimiliki siswa di kelas. Di situlah makna plus yang dimaksud dengan KBK-Plus, terstruktur tapi tidak kaku; berbasis kompetensi yang lebih terbuka dan menekankan pada keterampilan berpikir, di samping penguasaan pengetahuan. Di situlah makna merdeka bagi guru, tidak memaksakan materi harus tuntas pada siswa yang kemampuannya beragam. Wallahu a’lam bishawab.



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya
Opini
Kolom Pakar
BenihBaik