Headline

Presiden Prabowo berupaya melindungi nasib pekerja.

Fokus

Laporan itu merupakan indikasi lemahnya budaya ilmiah unggul pada kalangan dosen di perguruan tinggi Indonesia.

Peran Diaspora NU di Negeri Gingseng

Muchamad Muchlas Pengurus PCINU Korea Selatan, Mahasiswa Doktoral Chonnam National University
17/7/2021 04:00
Peran Diaspora NU di Negeri Gingseng
Muchamad Muchlas Pengurus PCINU Korea Selatan, Mahasiswa Doktoral Chonnam National University(Dok.Pribadi)

AKSI tragis bom bunuh diri sepasang suami istri yang meledakkan tubuhnya di depan Gereja Katedral Makassar dan serangan seorang teroris perempuan di Markas Besar Polri beberapa bulan lalu masih menyisakan sebuah trauma. Kejadian memilukan tersebut menambah deretan panjang kasus terorisme di Indonesia.

Terorisme ini sering dikaitkan dengan mereka yang mengaku beragama Islam dan mereka menganggap tindakannya merupakan wujud dari jihad fisabilillah. Runtutan aksi terorisme di Indonesia yang mengatasnamakan agama di mulai sejak 2000 dengan terjadinya Bom Bursa Efek Jakarta. Maraknya aksi terorisme menimbulkan opini negatif bagi umat Islam, khususnya di Indonesia yang merupakan negara berpenduduk Islam terbesar di dunia.

Terorisme menjadi kerikil dalam membangun national branding

 yang baik. Itu karena terbentuknya opini Indonesia sebagai negara sarang terorisme. The World Economic Forum 2012 juga menyatakan faktor keamanan dan keselamatan, berkaitan dengan tingginya kejahatan terorisme di Indonesia masih menjadi faktor penghambat daya saing pariwisata dan investasi di Indonesia.

Faktor tersebut sangat berpengaruh terhadap citra Indonesia di dunia Internasional. Realita itu menjadi sebuah pekerjaan rumah bagi kita warga negara Indonesia untuk menunjukkan jati diri sesungguhnya bangsa Indonesia.

Gema dakwah santri

Indonesia sebagai negara mayoritas beragama Islam memiliki ciri khas pendidikan agamanya, yakni kurikulum pendidikan agama Islam yang disebut pesantren. Sejarah mencatat, pesantren sudah ada sejak Indonesia belum merdeka dan santrinya sudah dikenal sebagai pejuang dalam proses melawan penjajah untuk memperjuangkan kemerdekaan Indonesia.

Pada 22 Oktober 1945, para santri di Surabaya berkumpul bersama KH Hasyim Asyi'ari menyuarakan sebuah resolusi jihad untuk berjuang merebut dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Sejak saat itu, 22 Oktober ditetapkan sebagai Hari Santri. Selain itu, para pelajar di Mesir pada masa kemerdekaan juga turut berdiplomasi, mencari pengakuan dari negara lain atas kemerdekaan Indonesia.

Santri An Nahdiyin yang tersebar di berbagai belahan dunia, tidak ingin menghilangkan jati dirinya sebagai santri. Para santri ini memperluas jaringan internasional dengan membuka Pengurus Cabang Istimewa (PCI) NU di sejumlah negara, baik eropa, Amerika, Asia, maupun Timur Tengah. Gerakan dakwah santri An Nahdiyin ini bahkan berupaya berkontribusi pada persoalan dunia internasional, seperti penanggulangan terorisme, resolusi konflik, isu radikalisme, isu lingkungan, dan perdamaian dunia.

Peran ini semakin membuktikan bahwa Nahdlatul Ulama (NU) sebagai organisasi keagamaan terbesar di dunia yang memiliki watak global. Posisi PCI NU di sejumlah negara tersebut secara tidak langsung juga menjadi kunci dalam pembangunan nation branding

 bangsa Indonesia. PCI NU di seluruh dunia menjadi wadah santri Nahdatul Ulama menjadi pelopor dalam rangka menampilkan Islam rahmatan lil alamin

 ramah dengan prinsip yang tawasut, tawazun, dan tasamuh yang selalu memberikan peran walaupun sekecil apa pun kepada lingkungan di mana pun berada.

Selain itu, kegiatan PCI NU ini tidak hanya tentang dakwah. Namun, memberikan kesempatan juga untuk mempromosikan bahwa Indonesia merupakan negeri yang aman dan agama Islam merupakan agama yang cinta damai. Mencitrakan muslim Indonesia 8alah muslim dengan pemikiran yang moderat, mencegah pemikiran ektrimis, atau radikal dan mampu menunjukkan karakter muslim yang selalu berimbang (tawazun) dan toleran (tasamuh). Hal ini merupakan sebuah komunikasi halus dalam menjalin kerja sama dan menarik investasi yang saat ini sangat penting dalam masa pemulihan ekonomi dari pandemi covid-19.

An Nahdiyin, dan Penguatan Nation Branding di Negeri Gingseng

Korea Selatan dan Indonesia memiliki nasib sejarah yang hampir sama yang mana pada 1945 menyerukan kemerdekaan dari kolonialisasi Jepang, pada tanggal 15 Agustus dan 17 Agustus. Memiliki sejarah yang hampir sama membuat kedua negara telah menjalin hubungan diplomatik yang erat, sejak tahun 1973, dan kini telah berkembang menjadi kemitraan strategis khusus.

Indonesia dan Korea Selatan memiliki banyak kerja sama yang telah dilakukan untuk memberikan dampak ekonomi yang positif bagi kedua negara. Salah satunya membuat Perjanjian Kemitraan Ekonomi Komprehensif (CEPA) CEPA setara dengan perjanjian perdagangan bebas. Selain bidang pendidikan, salah satu kerja sama bilateral G to G ialah pengiriman pekerja migran Indonesia (PMI) ke Korea Selatan setiap tahunnya yang dimulai pada 2004.

Berdasarkan data Kementerian Ketenagakerjaan, sepanjang 2019 terdapat 2.222 pekerja migran Indonesia (PMI) yang dikirim ke Korea Selatan dari total 57 ribu PMI yang saat ini berada di Korea Selatan.

Pekerja migran Indonesia yang merantau di Korea Selatan sebagian besar ialah muslim. Karena itu, keberadaannya juga turut memengaruhi perkembangan Islam di Korea Selatan. Selain melalui perkawinan campuran, dakwah Islam disebarkan juga melalui kegiatan keislaman yang di dilakukan organisasi dakwah Islam yang di bentuk masyarakat Indonesia di 'Negeri Gingseng'. Salah satunya, Pengurus Cabang Istimewa Nahdlatul Ulama (PCINU) Korea Selatan yang dibentuk pada 2012 oleh para santri An Nahdiyin untuk berdakwah di Korea Selatan.

Berdasarkan data statistik Korea Selatan pada Maret 2020, jumlah penduduk terdaftar di Korea Selatan mencapai 51,84 juta jiwa dengan sebagian penduduknya mengaku tidak memiliki agama atau belum percaya Tuhan sebesar 56%. Penduduk yang memiliki kepercayaan sebesar 45% ialah Kristen Prostestan, 35% ialah Budha, 18% Kristen Katolik, 2% lain-lain, dan agama Islam menjadi bagian ini.

Saat ini, Islam di Korea Selatan masih menjadi agama minoritas, tapi terus berkembang. Menurut Federasi Muslim Korea, jumlah muslim di Korea telah tumbuh secara signifikan menjadi 260 ribu, termasuk 60 ribu muslim Korea dan 200 ribu muslim asing jika dibandigkan pada tahun 1964 yang hanya sekitar tiga ribu orang.

Federasi Islam di Korea juga mencatat saat ini memiliki 16 masjid dan 80 musala tersebar di Semenangjung Korea Selatan. Populasi Muslim diperkirakan akan terus meningkat seiring dengan semakin beragamnya anggota masyarakat Korea. Perkembangan muslim di Korea Selatan tersebut juga memiliki banyak tantangan karena masih banyak persepsi negatif terhadap muslim, seperti terorisme, propaganda ofensif, dan seksisme.

Lee Hee-soo, seorang Profesor Antropologi Budaya di Universitas Hanyang, mengatakan masyarakat Korea masih menguniversalkan citra semua muslim di dunia Islam sebagai teroris serta diskriminasi terhadap perempuan. Terdapat persepsi bahwa Islam ialah agama dengan diskriminasi berat terhadap perempuan. Jilbab atau kerundung yang dikenakan oleh wanita muslim untuk menutupi kepala dan leher dianggap representasi dari gambaran penindasan terhadap perempuan.

Pada isu tersebut, (PCINU) Korea Selatan memiliki peran penting sebagai pusat mempromosikan dialog antaragama dan menawarkan konsep Islam yang damai di Korea Selatan. Posisi strategis inilah, menjadikan Nahdlatul Ulama di Korea Selatan berperan dalam membangun national branding Indonesia di Negeri Gingseng.

Proyeksi Islam Indonesia, yang rahmatan lil alamin di Korea Selatan gencar dilakukan dengan menggelar kegiatan seperti tablig akbar, kajian-kajian yang meramaikan masjid, hingga penyaluran zakat sedekah dan infak kepada orang yang membutuhkan. Kegiatan-kegiatan keagamaan ini bertujuan untuk membuka wawasan masyarakat setempat tentang Islam agar semakin berkembang.

Pada 2021, KMF kembali mencatat sudah 60 masjid dikelola warga negara Indonesia (WNI) yang pada 2012 tercatat baru 12 masjid dan musala yang dikelola WNI. Krena itu, dalam kurun waktu delapan tahun pertumbuhan masjid kini sudah hampir empat kali lipat. Pertumbuhan jumlah masjid di Korea Selatan tersebut juga disambut baik pemerintah Korea karena juga membantu pemerintah memfasilitasi tempat peribadatan bagi muslim dari negara lain.

Fenomena ini ialah sebuah usaha sedikit demi sedikit Gerakan An Nahdiyin Korea Selatan dalam membangun citra bangsa Indonesia atau national branding

 sebagai negara muslim yang damai.

Pada kondisi global saat ini, akibat pandemi coronavirus disease

 2019 (covid-19) Nahdatul Ulama di Korea Selatan sebagai agen diplomasi Indonesia turut menguatkan perannya dalam konteks hubungan antarwarga, yang kompak bersama, dalam penanggulangan pandemi mengajarkan prinsip persaudaraan. Meliputi persaudaran umat Islam (ukhuwah islamiyah), persaudaran kebangsaan (ukhuwah wathaniyah)

, maupun persaudaraan kemanusiaan (ukhuwah insaniyah)

.PCINU Korea Selatan juga bekerja sama dengan Kedutaan Indonesia di Seoul dalam diseminasi informasi mengenai isu perlindungan WNI/pekerja migran Indonesia di masa covid-19 melalui berbagai platform, seperti webinar, Live Facebook

 maupun media online

 lainnya. Sejumlah kolaborasi dilakukan PCINU dan Badan Otonom NU, seperti Pemuda Anshor, Banser, Fatayat, dan Muslimat, serta PCI Muhammadiyah ikut mendistribusikan puluhan ribu paket sembako kepada WNI dan distribusi masker kepada anggota masyarakat yang membutuhkan di Korea Selatan.

Peranan stratergis ini menunjukkan dalam diplomasi publik selain menjadi cermin Islam yang moderat. Akan tetapi, juga santri An Nahdliyin sebagai cermin manusia Indonesia yang maju, beradab, dan berilmu pengetahuan.

 



Cek berita dan artikel yg lain di Google News dan dan ikuti WhatsApp channel mediaindonesia.com
Berita Lainnya