Headline
Presiden Prabowo berupaya melindungi nasib pekerja.
Laporan itu merupakan indikasi lemahnya budaya ilmiah unggul pada kalangan dosen di perguruan tinggi Indonesia.
SEPANJANG pandemi covid-19, pemerintah berkali-kali mengeluarkan peraturan tentang penanggulangan dan penanganan pandemi. Namun, sudah dua kali Lebaran, jangankan mendapat bayangan pandemi bergeser menjadi endemi, pemerintah malah makin gamang menyiasati pertambahan angka positif covid-19. Termasuk membeludaknya pasien yang tidak terlayani di rumah sakit serta bergugurannya tenaga kesehatan dan rakyat.
Sejak kemunculan korona di Wuhan, Hubei, Tiongkok, pada 1 Desember 2019, kemudian dua pasien pertama diumumkan Presiden Joko Widodo (2/3/2020), tindakan pertama pemerintah memerintahkan Kedutaan Indonesia di Tiongkok memberi perhatian khusus kepada WNI di Wuhan. Kemudian, menyiagakan rumah sakit di pusat dan daerah, pemasangan alat pendeteksi suhu tubuh di 135 bandara dan pelabuhan internasional. Selain itu, juga menerbitkan pedoman kesiapsiagaan khusus menghadapi virus korona dengan mengacu pada WHO.
Pada 13 Maret 2020, Presiden menandatangani Keppres Nomor 7 Tahun 2020 tentang Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19 yang dipimpin Kepala BNPB Doni Monardo. Kemudian, pada 10 Maret 2020, Dirjen WHO Tedros Adhanom Ghebreyesus menulis surat kepada Presiden Jokowi agar pemerintah Indonesia meningkatkan mekanisme tanggap darurat menghadapi covid-19 melalui deklarasi Darurat Nasional.
Sejumlah aturan pun muncul setelah itu, termasuk mengeluarkan PP Nomor 21 Tahun 2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB). Selain itu, ada Keputusan Presiden No 11 Tahun 2020 tentang Penetapan Kedaruratan Kesehatan Masyarakat Covid-19. DKI Jakarta menjadi provinsi pertama yang memperoleh keputusan menteri kesehatan mengenai PSBB pada 7 April 2020.
Hingga Juli 2021, pemerintah telah mengeluarkan berbagai aturan dan kebijakan sebagai upaya menekan laju penularan. Tak dimungkiri banyak kritik menyertai kebijakan dan aturan itu, termasuk pelanggaran terhadap larangan yang sudah diatur dalam berbagai aturan pemerintah. Menjawab semua kritik itu, Presiden menekankan keputusan diambil tak boleh grasah-grusuh (terburu-buru), tidak hanya cepat, tapi juga harus tepat.
Terkait bidang ekonomi, pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) di Jawa dan Bali mulai 11-25 Januari 2021 yang diklaim berbeda dari PSBB pun tak lepas dari kritik. Ada yang menganggap hal ini cuma upaya silat lidah saja.
Sebelumnya, Presiden sudah mengelurkan Inpres No 6 Tahun 2020 tentang Peningkatan Disiplin dan Penegakan Hukum Protokol Kesehatan dalam Pencegahan dan Pengendalian Covid-19. Pemerintah juga mengeluarkan Peraturan Presiden No 50 Tahun 2021 tentang Perubahan Atas Peraturan Presiden No 99 Tahun 2020 tentang Pengadaan Vaksin dan Pelaksanaan Vaksinasi dalam Rangka Penanggulangan Pandemi Covid-19. Pemerintah juga kembali memperpanjang pemberlakuan PPKM mikro pada 22 Juni hingga 5 Juli menjadi PPKM darurat Jawa dan Bali sampai dengan 20 Juli 2021.
Komunikasi hukum pemerintah
Dalam sejarahnya, komunikasi hukum dipakai sebagai bahasa perundang-undangan di Indonesia, sesuai pasal 143 UUD 1949, yakni tentang 'pengumuman' atau istilah publication dan promulgation. Konteksnya menurut Gray (1963:162) persis seperti sejarah Romawi tentang pengajuan suatu usul UU dan mengeluarkan UU promulgare. Bila dikaitkan, ia akan menunjukkan suatu tindakan yang harus dilakukan sebagai syarat mengikatnya peraturan meskipun UU 1949 tidak berlaku lagi. Namun, napas tentang bagaimana suatu UU dan peraturan lainnya diumumkan kepada rakyat tetap ada di UUD 1945. Konteksnya ada dua hal yang harus dipisahkan, yakni kekuatan, mengingat suatu UU atau peraturan dan mengumumkannya kepada rakyat.
Dalam kasus ini, komunikasi hukum pemerintah yang berkaitan dengan berbagai aturan dan kebijakan PPKM darurat untuk Jawa dan Bali, akhir akhir ini memang dipermasalahkan sejumlah masyarakat, yakni adanya peraturan yang berubah-ubah dan diumumkan secara dadakan. Padahal, Fuller (1971:39) pernah menyatakan, "... ialah tidak bermoral untuk menuntut dan mengharapkan rakyat untuk melakukan suatu perbuatan tanpa memberitahu kepada mereka perbuatan apa yang harus dilakukan." Barangkali Fuller memang membaca bahwa pemerintah mengeluarkan aturan, tapi tidak perduli apakah aturan itu perlu dan butuh disosialisasikan secara masif lebih dahulu atau tidak.
Intinya, UU dan peraturan itu harus diumumkan kepada rakyat terlebih dahulu sebelum sampai pada persoalan tentang siapakah yang sebenarnya diharapkan untuk mengetahui isi peraturan itu. Seperti juga yang diduga Bentham dan dikutip Fuller (1971:49) bahwa 'setiap' warga negara harus diusahakan untuk mengetahui makna yang lengkap dari suatu peraturan dan perundangan. Karena itu, Fuller pun mewanti-wanti "... 'pengumuman' tentang suatu peraturan dan perundangan haruslah didasarkan pada prinsif marginal utility. Meskipun hanya ada satu orang dari 100 yang berusaha untuk mengetahui isi dari peraturan itu, jumlah itu saja sudah cukup."
Urgensi dari komunikasi hukum itu ialah bagaimana menjaga agar masyarakat mendapatkan pelayanan sebagaimana mestinya. Karena itu, jika ada masyarakat yang tidak mengetahui, 'pengumuman' secara luas dengan berbagai kanal komunikasi merupakan cara pemecahannya. Orang-orang yang secara langsung menerima pengumuman itulah yang akan menjadi 'komunikator' yang akan meneruskan mengumumkan peraturan yang diketahuinya kepada orang di sekelilingnya.
kebanyakan orang menaati hukum dan peraturan bukanlah karena ia membaca secara langsung, melainkan lebih pada bagaimana ia mengikuti pola perilaku yang ditunjukkan orang lain yang dilihatnya memang lebih paham tentang aturan itu. Karena itulah Chambliss dan Seidman (1971: 258) bahkan melihat hukum sebagai 'kebiasaan' masyarakat yang kemudian mengalami pelembagaan kembali sebagai hukum.
Saat ini pemerintah seharusnya melepaskan adagium 'setiap orang dianggap mengetahui UU' karena dalam situasi pandemi ini perbedaannya terletak pada kompleksitas persoalan yang dialami masyarakat dalam berbagai segi kehidupan, baik karena kehilangan pekerjaan, terpapar covid-19, tidak terlayani oleh fasilitas kesehatan, maupun karena hilangnya anggota keluarga yang dicintai karena pandemi.
Sosialisasi masih bisa dipilih sebagai pijakan bagi pemerintah untuk memutus rantai ketidaktahuan dan kesiapan masyarakat terhadap berbagai aturan yang harus mereka jalani. Karena itulah untuk keperluan hukum, komunikasi hukum pemerintah harus bisa memilih dan melihat apa saja jalur komunikasi yang selama ini telah menjadi tempat di masyarakat untuk memperoleh informasi.
Hukum sebenarnya tidak memerlukan penyampaian khusus agar dapat diketahui masyarakat. Namun, dilihat dari konteks kemasyarakatan, terutama di masa pandemi ini, masalah penyampaian 'komunikasi hukum' tentang peraturan kepada rakyat ialah suatu keharusan dan tidak sekadar memenuhi sah atau tidaknya suatu aturan.
Dengan demikian, saluran yang dipakai dalam komunikasi hukum berupa 'pengundangan atau pengumuman' ialah syarat utama dan urgensinya perlu dilakukan berulang-ulang sehingga menetap dalam memori publik. Seperti kata Gifford (1971:409) bahwa usaha untuk menanamkan konsepsi dan pengertian yang digunakan dalam UU dan peraturan itu juga merupakan bagian dari komkunikasi hukum.
Di masa pandemic, komunikasi hukum kompleksitasnya juga terbebani untuk menyebarkan pengertian, symbol, dan pelaksanaan di lapangan berupa protokol kesehatan yang ketat. Peraturan itu bisa saja dilihat sebagai preskripsi-preskripsi formal yang harus dikonkretkan. Karena itu, konsekuensi dalam bentuk hukuman terhadap pelanggaran prokes juga harus 'diumumkan' kepada publik sehingga hukum dan peraturan itu bisa bekerja. Bukan sekadar sebagai perangkap bagi pelanggarnya.
Kita tidak pernah tahu kapan pandemi akan berakhir. Sepanjang ketidaktahuan itu pula pemerintah juga tidak tahu peraturan semacam apalagi yang akan dikeluarkan. Terlepas dari semua ketidaktahuan itu, komunikasi hukum harus menjadi pijakan pemerintah untuk mengatur rakyatnya agar keluar dari situasi pandemi dengan selamat.
Copyright @ 2025 Media Group - mediaindonesia. All Rights Reserved